BAB IV
TANTRA, YANTRA, DAN MANTRA
A.
Ajaran Tantra, Yantra, dan Mantra
Dalam
melaksanakan puja bhakti kepada Brahman, umat Hindu diberikan kebebasan untuk
dapat mewujudkan bentuk Śraddhā tersebut. Secara umum bentuk bhakti umat Hindu
dapat dilakukan dengan melibatkan aspek: yantra, tantra, mantra, yajña, dan
yoga. Yantra adalah alat atau simbol-simbol keagamaan yang diyakini mempunyai
kekuatan spiritual untuk meningkatkan kesucian. Tantra adalah kekuatan suci
dalam diri yang dibangkitkan dengan cara-cara yang ditetapkan dalam kitab suci.
Mantra adalah doa-doa yang harus diucapkan oleh umat kebanyakan, pinandita,
pandita sesuai dengan kewenangan dan tingkatannya. Ketiga aspek itu dilaksanakan
secara terpadu dengan berbasiskan “ketulus-ikhlasan” sehingga membangun satu
aktifitas yang disebut yajña. Yajña yaitu persembahan yang tulus ikhlas atas
dasar kesadaran untuk dipersembahkan sehingga dapat meningkatkan kesucian. Jika
hal ini dilaksanakan secara intens maka akan mempengaruhi gelombang- gelombang
pikiran menjadi stabil dan kuat. Dan Yoga adalah mengendalikan gelombang-gelombang
pikiran dalam alam pikiran untuk dapat berhubungan dengan Tuhan, yang dapat
dilakukan melalui Astangga Yoga (yama, niyama, asana, pranayama, prathyahara,
dharana, dhyana, dan samadhi (Titib, I Made. 2003).
1.
Tantra
Kata
tantra berasal dari
bahasa Sansekerta yang memiliki
makna “memperluas”. Tantra merupakan
salah satu dari
sekian banyak konsep pemujaan
kehadapan Ida Sanghyang Widhi
Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, di mana manusia kagum pada sifat-sifat ke-Maha-
Kuasaan-Nya sehingga memiliki keinginan untuk
mendapatkan kesaktian. Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 2003:1141 menjelaskan tantra ‘tantrisme’ adalah
ajaran dalam Agama Hindu yang mengandung
unsur mistik dan magis. Mistik dapat dipahami sebagai
eksistensi tertinggi kesadaran manusia, di mana ragam perbedaan (“kulit”) akan
lenyap, eksistensi melebur ke dalam kesatuan mutlak hal ikhwal, nilai universalitas,
alam kesejatian hidup, atau ketiadaan. Kesadaran tertinggi ini terletak di
dalam batin atau rohaniah, mempengaruhi perilaku batiniah (bawa) seseorang, dan
selanjutnya mewarnai pola pikirnya. Atau sebaliknya, pola pikir telah dijiwai
oleh nilai mistisisme yakni eksistensi kesadaran batin. Meskipun demikian,
eksistensi mistik yang sesungguhnya tidaklah berhenti pada perilaku batin
(bawa) saja, lebih utama adalah perilaku jasad (solah). Artinya, mistik
bukanlah sekedar teori namun lebih kearah manifestasi atau mempraktikkan
perilaku batin ke dalam aktivitas hidup sehari-harinya dalam berhubungan dengan
sesama manusa dan makhluk lainnya.
Secara umum tantra
dapat diartikan yaitu kekuatan suci dalam diri yang
dibangkitkan dengan cara-cara yang ditetapkan dalam kitab suci. Tantra adalah
konsep pemujaan Ida Sanghyang Widhi Wasa di mana manusia kagum pada sifat-sifat
kemahakuasaan-Nya, sehingga ada keinginan untuk mendapatkan sedikit kesaktian.
Tantra adalah ilmu
pengetahuan kerohanian yang untuk pertama kalinya diajarkan di India 7000 tahun
silam. Tan barasal dari akar kata Sansekerta yang
berarti “perluasan”, dan Tra berarti “pembebasan”. Dengan demikian
Tantra merupakan latihan rohani yang mengangkat manusia ke dalam suatu proses
yang memperluas pikirannya. Tantra menghantar manusia dari suatu keadaan tidak
sempurna menjadi sempurna, dari keadaan kasar menjadi halus, dari kemelekatan
menjadi terbebaskan.
Mistik merupakan tindakan atau perbuatan yang
adiluhung, penuh keindahan, atas dasar dorongan dari budi pekerti luhur atau
akhlak mulia. Mistik
sarat akan pengalaman-pengalaman spiritual. Yakni bentuk pengalaman-pengalaman halus,
terjadi sinkronisasi antara
logika rasio dengan “logika” batin. Pelaku mistik dapat memahami
fenomena atau eksistensi di luar diri (gaib) sebagai kenyataan yang logis atau
masuk akal. Sebab akal telah mendapat informasi secara runtut, juga memahami
rumus- rumus yang terjadi di alam gaib. Subramuniyaswami, Satguru
Úivaya 1997, mengatakan
bahwa “Tantra adalah bagian dari
çaktisme, yaitu pemujaan kepada Ibu semesta. Dalam proses pemujaannya, para
pemuja ‘çakta’ tersebut menggunakan mantra, yantra, tantra, yoga, dan puja
serta melibatkan kekuatan alam semesta
dan membangkitkan kekuatan kundalini.” Disebut çaktiisme karena yang dijadikan
obyek persembahannya adalah çakti. Çakti dilukiskan sebagai Devi, sumber
kekuatan atau tenaga. “Çakti is the symbol of bala or strength” Çakti adalah
simbol dari bala atau kekuatan. Pada sisi lain çakti juga disamakan dengan energi
atau kala ”this sakti or energi is also regarded as ‘Kala’ or time” (Das Gupta,
1955).
Terdapat
berbagai definisi Tantra yang
berasal dari sudut
pandang yang berbeda. Tantra merupakan ajaran filosofis yang pada
umumnya mengajarkan pemujaan kepada çakti sebagai obyek utama pemujaan, dan
memandang alam semesta sebagai permainan atau kegiatan rohani
dari çakti dan Siwa.
Tantra adalah cabang
dari Agama Hindu. Ajaran tantra mengacu kepada kitab-kitab yang pada
umumnya berhubungan dengan pemujaan kepada çakti (Ibu semesta; Devi Durga, Devi
Kali, Parwati, Laksmi, dan sebagainya), sebagai aspek Tuhan yang tertinggi dan
sangat erat kaitannya dengan praktek spiritual dan bentuk-bentuk ritual
pemujaan, yang bertujuan membebaskan seseorang dari kebodohan, dan mencapai
pembebasan. Dengan demikian tantrisme lebih sering dinyatakan sebagai suatu
paham kepercayaan yang memusatkan pemujaan pada bentuk çakti yang berisi
tentang tata cara upacara keagamaan, filsafat, dan cabang ilmu pengetahuan
lainnya, yang ditemukan dalam percakapan antara Deva Siwa dan Devi Parwati.
Tantra bukan merupakan sebuah sistem filsafat yang bersifat padu (koheren),
tantra merupakan akumulasi dari berbagai praktek dan gagasan yang memiliki ciri
utama penggunaan ritual, ditandai dengan pemanfaatan sesuatu yang bersifat
duniawi, untuk menggapai dan mencapai sesuatu yang bersifat rohani, serta
penyamaan atau pengidentikan antara unsur mikrokosmos dengan unsur makrokosmos.
Praktisi tantra memanfaatkan prana (energi semesta) yang mengalir di seluruh
alam semesta (termasuk dalam badan manusia)
untuk mencapai tujuan
yang diharapkan. Tujuan itu bisa berupa tujuan material, bisa
pula tujuan spiritual, atau gabungan keduanya. Para penganut tantra meyakini
bahwa pengalaman mistis adalah merupakan suatu keharusan yang menjamin
keberhasilan seseorang dalam menekuni tantra. Beberapa jenis tantra membutuhkan
kehadiran seorang guru yang mahir untuk membimbing kemajuan siswa tantra.
Tantra dalam perkembangannya sering menggunakan
simbol-simbol material termasuk simbol-simbol erotis. Tantra sering
diidentikkan dengan ajaran kiri yang mengajarkan pemenuhan nafsu seksual,
pembunuhan dan kepuasan makan daging. Padahal beberapa perguruan tantra yang
saat ini mempopulerkan diri sebagai tantra putih menjadikan; mabuk-mabukan,
makan daging dan hubungan seksual sebagai sadhana dasar pantangan dalam meniti
jalan tantra. Konsep ini berpangkal pada percakapan Devi Parwati dengan Deva
Siva yang menguraikan turunnya Devi Durga ke Bumi pada zaman Kali untuk
menyelamatkan dunia dari kehancuran moral dan
perilaku. Dalam beberapa
sumber Devi Durga juga disebut
“Candi”. Mulai saat itulah pada mulanya muncul istilah candi ‘candikaghra’
untuk menamai bangunan suci sebagai tempat memuja Deva dan arwah yang telah
suci. Peran Devi Durga dalam menyelamatkan dunia dari kehancuran moral dan
perilaku disebut kalimosada ‘kali-maha- usada’ yang artinya Devi Durga adalah
obat yang paling mujarab dalam zaman kekacauan moral, pikiran dan perilaku;
sedangkan misi beliau turun ke bumi disebut Kalika-Dharma.
Menurut Maurice Winernitz, meskipun teks-teks
kitab tantra tidak menunjukkan permusuhan secara nyata terhadap ayat-ayat atau
ajaran Veda, namun menegaskan bahwa ajaran-ajaran Veda dianggap terlalu sulit
untuk dipraktikkan oleh beberapa kalangan pengikut tantra. Karena alasan
itulah, cara yang lebih mudah dan praktis diberikan dalam kitab-kitab tantra.
Prinsip- prinsip tantra terdapat dalam buku bernama Nigama, sedangkan praktik-
praktiknya dalam buku Agama. Sebagian buku-buku kuno itu telah hilang dan
sebagian lagi tak dapat dimengerti karena tertulis dalam tulisan rahasia untuk menjaga
kerahasiaan tantra terhadap mereka yang tak memperoleh inisiasi. Setidaknya
terdapat 64 jenis kitab yang memuat ajaran Tantrayana, antara lain: Maha
nirwana tantra, Kularnawa tantra, Tantra Bidhana, Yoginirdaya tantra, Tantra
sara, dan sebagainya.
Dalam perkembangan selanjutnya, praktik ajaran
tantra dinyatakan selalu mewarnai kebudayaan dan keagamaan yang berkembang di
nusantara. Hal ini dapat dilihat dari berbagai jenis peninggalan seperti;
prasasti, candi dan arca-arca yang bercorak tantrisme. Kebanyakan isi
kitab-kitab tantra masih dirahasiakan dari arti yang sebenarnya dan yang sudah
diketahui masih merupakan teka-teki. Orang-orang Hindu, termasuk para sarjana
besar pada umumnya tidak mendiskusikan tantra. Berbeda dengan Agama Hindu pada
umumnya, sebagian dari tantra percaya kepada kenikmatan hidup material. Tidak
seorangpun mengetahui secara tepat kapan ajaran tantra dimulai atau Mahareshi siapa
yang memulainya. Bukti
menunjukkan bahwa tantrisme ada selama zaman veda. Bahkan
Sankara menyebut keberadaannya dalam bukunya
Saundarya Lahari. Ada sekitar
seratus delapan buku
mengenai tantra. Tantrisme dan Saktiisme hampir satu dan sama. Dalam
Tantrisme, IstaDeva yang dipuja adalah Siwa-Sakti, kombinasi dari Siwa dan
saktinya Parwati. Tantra adalah satu sistem dari praktek-praktek yang
dipergunakan untuk meningkatkan spiritual. Ajaran terbaik dari tantra adalah
pengetahuan mengenai energi kundalini yang luas yang belum dimanfaatkan di
dalam tubuh manusia. Tantra juga melakukan penelitian mengenai ilmu kimia,
astrologi, astronomi, palmistry “ilmu meramal melalui rajah tangan”, cosmologi
“ilmu tentang alam semesta, awal perkembangan dan akhirnya” bahkan teori atom.
Mantra-mantra Hindu yang ada sampai saat ini banyak bernapaskan ajaran tantra.
Yantra dan bentuk-bentuk geometral yang dihubungkan dengan mantra, juga
merupakan ajaran yang sama pentingnya dari tantra untuk kemanusiaan.
Disepanjang
Sushumna, ada tujuh
pusat-pusat bathin ‘psychic
centers’; mulai dari muladhara chakra. Elemen ini tidak dapat dilihat
dengan mata telanjang, namun harus
dipercaya berbentuk seperti bunga teratai dengan warna-warna yang berbeda dan
masing-masing mengendalikan kegiatan dari organ indriya yang berbeda. Muladhara
Chakra berada pada dasar dari tulang belakang, memiliki empat daun bunga dan
mengendalikan indra penciuman. Swadishthana Chakra berada pada dasar kelamin,
memiliki enam daun bunga dan mengendalikan indra perasa. Manipura Chakra
berposisi di seberang pusar, mempunyai sepuluh daun bunga dan mengendalikan
pandangan. Anahata Chakra posisinya sejajar dengan hati, mempunyai dua-belas
daun bunga dan mengendalikan indra peraba. Wisuddha Chakra berada pada jakun
kerongkongan, memiliki enam belas daun bunga dan mengendalikan indra pendengaran.
Ajna Chakra berkedudukan di antara alis, memiliki dua daun bunga dan
mengendalikan pikiran. Sahasrara Chakra terletak di atas titik paling atas dari
kepala, mempunyai seribu daun bunga. Seorang Yogi yang mendalami ajaran
kundalini dengan memiliki posisi chakra seperti tersebut di atas dapat
dinyatakan telah meperoleh ‘kesadaran Kosmis’.
Menurut
Kitab-kitab Tantra, ada
kekuatan hebat yang
sangat rahasia di dalam tubuh manusia yang disebut kekuatan
Kundalini atau kekuatan ular. Ia berbaring seperti seekor ular dalam gulungan
atau bentuk yang tidak aktif pada dasar dari tulang belakang di Muladhara
chakra. Tiga dari saraf yang paling penting dari tubuh manusia, Sushumna, Ida
dan Pinggala, juga berawal dari titik yang sama disebut Muladhara chakra.
Menurut Tantra, karena kekuatan yang hebat ini tetap tidur ‘dormant’ selama
kehidupan seseorang maka kebanyakan orang tidak menyadari keberadaannya.
Dipercayai bahwa ketika manusia mengembangkan spiritualitas dengan meditasi
atau latihan pranayama, kekuatan ini bangkit ke atas perlahan-lahan melalui
saraf Sushumna. Bergeraknya ke atas secara perlahan dari kekuatan Kundalini ini
dikenal sebagai kebangkitan dari Kundalini. Kekuatan ini begerak ke atas secara
perlahan-lahan dan mantap dalam satu garis lurus. Ketika melewati setiap pusat
batin ‘psychic center’ orang itu akan memiliki kendali penuh atas organ-organ
indriyanya. Misalnya, bila ia mencapai Manipura Chakra di seberang pusar, orang
itu akan mempunyai kendali penuh atas pandangan. Tidak ada Samadhi “persatuan
dengan Tuhan” yang dapat dilakukan tanpa kebangkitan kekuatan kundalini. Dikatakan
bahwa kekuatan kundalini melewati keenam chakra dan akhirnya bersatu dengan
Sahasrara di atas “tiara, crown” dari kepala. Ketika ini terjadi orang tersebut
telah mencapai kesadaran kosmis, bentuk tertinggi dari pengejawantahan Tuhan.
2. Yantra
Yantra adalah
bentuk “niyasa” (= simbol = pengganti yang sebenarnya) yang diwujudkan oleh
manusia untuk mengkonsentrasikan baktinya ke hadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa,
misalnya dalam perpaduan warna, kembang, banten, gambar, arca, dan lain-lain.
Dalam kamus Sanskerta, kata yantra memiliki
arti mengikat, menyimpulkan sebuah peralatan, instrumen, mesin dan sebuah jimat
(Surada, 2007: 257). Yantra umumnya berarti alat untuk melakukan sesuatu guna
mencapai tujuan. Di dalam pemujaan yantra adalah sarana tempat memusatkan
pikiran. Yantra merupakan aspek dalam dari bentuk penciptaan. Sifat dasar dari
manusia dan binatang, seperti halnya para Devata yang diekspresikan melalui
yantra. Yantra adalah garis-garis lurus, lengkung yang dipadukan yang merupakan
basis dari energi alam semesta yang merupakan perwujudan Devata (Titib,
2003:469- 470). Selain itu yantra adalah suatu lukisan geometri dari tipe
tertentu yang mempunyai makna serta mempunyai bentuk yang berbeda-beda sehingga
pada masing-masing bentuk memiliki struktur dan komposisi dari suatu Deva
tertentu (Tim Penyusun, 1987:6). Yantra merupakan hal yang sangat penting bagi
seseorang dalam hal melakukan pemujaan serta persembahan kehadapan Tuhan.
Yantra dilihat dari
struktur memiliki bentuk yang
beragam serta disusun
sesuai dengan si penggunanya.
Hal senada dijelaskan pula dalam kamus jawa Kuno oleh
L. Mardiwarsito (dalam
Wiana 2004:189), kata yantra dinyatakan berasal dari bahasa Sanskerta
yang artinya sarana untuk memuja Deva, sedangkan dalam kamus Sanskerta-Indonesia,
kata yantra diartikan harta kekayaan, bantuan, alat perlengkapan dan lain-lain.
Yantra merupakan kebutuhan dasar untuk menggambarkan semua simbol- simbol,
semua wujud suci, altar, pura dan mudra. Yantra dipergunakan dalam upacara pemujaan,
Devata dihadirkan dengan menggambar melalui yantra dan memanggil nama yang
gaib. Yantra dapat diekspresikan ke dalam aspek internal dari setiap bentuk
ciptaan. Sifat alami manusia dan binatang-binatang, seperti halnya Deva-Deva
dapat diekspresikan melalui yantra (Titib, 2003:469). Yantra dapat berbentuk
diagram, dilukis atau dipahatkan di atas logam, kertas atau benda-benda lain
dan disucikan seperti menyucikan pretima, kemudian dilakukan pemujaan melalui
sarana yantra tersebut, seperti pemujaan melalui pratima, arca (patung), dan
sebagainya. Mantra yang berbeda digunakan untuk melakukan pemujaan yang
berbeda, demikian pula halnya dengan penggunaan yantra-yantra. Menurut
Ensiklopedi Hindu, yantra merupakan simbol seperti banten atau alat-alat
upacara (Tim Penyusun, 2011:619). Yantra adalah dipergunakan oleh seseorang
yang telah suci (pribadi, pemangku, pendeta atau sulinggih) dalam memuja Ida
Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasi-Nya. Selain itu,
yantra lebih banyak mengejawantah ke dalam berbagai lambang-lambang atau simbol
beserta peralatan, sarana dan prasarana ritual bersangkutan.
Yantra, umumnya berarti alat untuk melaksanakan
sesuatu guna mencapai tujuan. Di dalam pemujaan, yantra adalah sarana tempat
memusatkan pikiran. Dalam Yogini Tantra dikatakan bahwa Devi harus dipuja di
dalam pratima, mandala atau yantra. Pada tingkat tertentu, kemajuan spiritual
sadhaka diperkenankan memusatkan bhaktinya melalui yantra. Siddha-yogi di dalam
proses pemujaan internal yang dilakukannya (antarpuja) memulainya dengan
melakukan pemujaan melalui
yantra, yang merupakan
perlambang dari Brahma-vijnana.
Sebagaimana halnya mantra adalah lambang dari perwujudan devata. Dinamakan
yantra karena sarana itu juga mencegah timbulnya ni- yantrana (nafsu,
kemarahan, dan kekeruhan lain) dari jiwa dan mencegah penderitaan yang
diakibatkan oleh kekeruhan jiwa tersebut.
Yantra biasanya berbentuk diagram, di lukis
atau dipahatkan di atas logam, kertas
atau benda-benda yang
lain, dan disucikan
seperti menyucikan pratima, kemudian
dilakukan pemujaan melalui
sarana yantra tersebut, seperti pemujaaan melalui pratima,
arca (patung) dan sebagainya. Mantra yang berbeda digunakan untuk melakukan
pemujaan yang berbeda, demikian pula halnya dengan penggunaan yantra-yantra
itu. Terdapat berbagai jenis lukisan di dalam yantra, tergantung dari tujuan
pemujaan (Avalon, 1997: 93). Demikian sehingga dalam waktu singkat makna yantra
sebagai simbol sesuatu yang dikenakan oleh setiap pemakai dapat dirasakan
hasilnya.
3.
Mantra
Secara etimologi Mantra berasal
dari suku kata Man (Manana) dan kata Tra (Trana) yang
berarti pembebasan dari ikatan samsara atau dunia fenomena ini. Dari
kombinasi Man dan Tra itulah disebut mantra
yang berarti dapat memanggil datang (Amantrana). Mantra merupakan
sebuah kata atau kombinasi beberapa buah kata yang sangat kuat atau ampuh, yang
didengar oleh orang bijak dan yang dapat membawa seseorang yang mengucapkannya
melintasi lautan kelahiran kembali.
Kata mantra berasal dari bahasa Sanskerta dari
kata “Man” artinya pikiran dan “Tra” artinya menyeberangkan. Mantra adalah
media untuk menyeberangkan pikiran dari yang tidak suci atau tidak benar
menjadi semakin suci dan semakin benar (Wiana, 2004:184). Mantra memiliki
tujuan untuk melindungi pikiran dari jalan sesat menuju jalan yang benar dan
suci. Menurut Danielou (dalam Titib 2003:437) bahasa yang benar yang merupakan
ucapan suci yang digunakan dalam pemujaan disebut dengan mantra. Kata mantra
berarti “bentuk pikiran”, sehingga seseorang yang mampu memahami makna yang
terkandung di dalam mantra dapat merealisasikan apa yang digambarkan di dalam
mantra tersebut. Mantra adalah kumpulan dari pada kata-kata yang mempunyai arti
mistik, serta umumnya berasal dari bahasa Sanskerta dan dinamai Bijaksara (Tim
Penyusun, 1987:6). Mantra disusun dengan menggunakan aksara-aksara tertentu
yang diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk bunyi, sedangkan
huruf-huruf itu sebagai perlambang dari bunyi tersebut. Mantra mempunyai
getaran atau suara tersendiri sehingga untuk menghasilkan pengaruh yang
dikehendaki mantra harus disuarakan dengan cara yang tepat, sesuai dengan
“suara” atau ritme, dan warna atau bunyi. Apabila mantra tersebut diterjemahkan
ke dalam bahasa lain, mantra itu tidak memiliki warna yang sama, sehingga
terjemahannya hanya sekedar kalimat (Avalon dalam Titib, 2003:439). Kamus Besar
Bahasa Indonesia menjelaskan, mantra adalah merupakan susunan kata yang
berunsur puisi, seperti ritme dan irama yang dianggap mengandung kekuatan gaib,
biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang
lain. Mantra sebagai sebuah pola gabungan kata-kata bahasa Veda yang
diidentikkan dengan Deva atau Devi tertentu. Mantra digunakan dalam sadhana
tantra atau berbagai ritual, diucapkan atau diulang-ulang dalam berbagai
kombinasi atau konteks yang kemudian membuat pola vibrasi tertentu.
Mantra-mantra yang ada sekarang adalah warisan dari para maharsi, orang suci,
orang sadhu dan yogi yang telah mempraktekkan berbagai mantra selama ribuan
tahun (Chawdhri, 2003:97). Dalam pengucapan mantra, ada hal-hal yang perlu
dicermati seperti: susunan kata-kata, ritme/intonasi serta pengucapan yang
tepat yang diikuti dengan suasana lingkungan yang baik sehingga akan
menciptakan suatu kesucian. Mantra adalah sebuah kata-kata atau kalimat suci
yang bersumber dari kitab suci veda, khususnya dalam teks dharma pemujaan
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa beserta dengan berbagai
macam manifestasi- Nya pada saat pelaksanaan Panca Yajna dalam kehidupan dan
penerapan ajaran Hindu.
Mantra adalah catur Veda yaitu: Åg veda, Yayur
veda, Sama veda, dan Atharwa veda. Mantra merupakan bunyi, suku kata, kata,
atau sekumpulan kata-kata yang dipandang mampu “menciptakan perubahan” seperti
misalnya perubahan spiritual. Penggunaan mantra sekarang tersebar melalui
berbagai gerakan spiritual yang berdasarkan atau cabang dari berbagai praktik
dalam tradisi dan agama ketimuran. Mantra Aum atau Om dalam aksara Devanagari.
Mantra merupakan sebuah kata atau kombinasi
beberapa buah kata yang sangat
kuat atau ampuh,
yang didengar oleh orang bijak dan dapat membawa seseorang yang
mengucapkannya melintasi lautan kelahiran kembali, inilah yang merupakan arti
mantra yang tertingi. Mantra adalah rumusan gaib untuk melepaskan berbagai
kesulitan atau untuk memenuhi bermacam-macam keinginan duniawi, tergantung dari
motif pengucapan mantra tersebut. Mantra sebagai sebuah kekuatan kata yang
dapat dipergunakan untuk mewujudkan keinginan spiritual atau keinginan material,
yang dapat dipergunakan untuk kesejahteraan ataupun penghancuran diri
seseorang. Mantra seperti suatu tenaga yang bertindak sesuai dengan rasa bakti
seseorang yang mempergunakannya. Sabda adalah Brahman, karena itu Ia menjadi
penyebab Brāhmanda (Svami Rama: 1984: 24). Khanna (2003: 21) menyatakan
hubungan mantra dan yantra dengan manifestasi mental energi sebagai berikut:
Mantra-mantra, suku kata Sanskerta yang tertulis pada yantra, sejatinya
merupakan ‘perwujudan pikiran’ yang merepresentasikan keilahian atau kekuatan
kosmik, yang menggunakan pengaruh mereka dengan getaran suara. Mantra juga
dikenal masyarakat Indonesia sebagai rapalan untuk maksud dan tujuan tertentu
“maksud baik maupun maksud kurang baik”. Dalam dunia sastra, mantra adalah
jenis puisi lama yang mengandung daya magis. Setiap daerah di Indonesia umumnya
memiliki mantra, biasanya mantra di daerah- daerah tertentu
menggunakan bahasa daerah
masing-masing. Mantra di dalam bahasa Minangkabau disebut juga
sebagai manto, jampi-jampi, sapo- sapo,
kato pusako, kato, katubah, atau capak baruak. Sampai saat ini mantra masih
bertahan di tengah-tengah masyarakat di Minangkabau. Isi mantra di Minangkabau
saat ini berupa campuran antara bahasa Minangkabau lama “kepercayaan animisme
dan dinamisme”, Melayu, bahasa Arab sebagaimana pengaruh Islam dan bahasa
Sanskerta sebagai wujud dari pengaruh Hindu Budha (Djamaris E. : 2001).
Sebagian masyarakat tradisional khususnya di Nusantara biasanya menggunakan
mantra untuk tujuan tertentu. Hal tersebut sebenarnya bisa sangat efektif bagi
para penggunanya. Selain merupakan salah satu sarana komunikasi dan permohonan
kepada Tuhan, mantra dengan kata yang berirama memungkinkan orang semakin
rileks dan masuk pada keadaan kerasukan/ kesurupan. Dalam kalimat mantra yang
kaya metafora dengan gaya bahasa yang hiperbola tersebut membantu perapal
melakukan visualisasi terhadap keadaan yang diinginkan dalam tujuan mantra.
Kalimat mantra yang diulang-ulang menjadi afirmasi, pembelajaran di level tidak
sadar dan membangun apa yang para psikolog dan motivator menyebutnya sebagai
sugesti diri. Sedangkan Prapancha Sara
menyatakan bahwa: “Brāhmanda diresapi oleh sakti, yang terdiri atas Dhvani,
yang juga disebut Nada, Prana, dan sebagainya”. Manifestasi dari Sabda menjadi
wujud kasar (Sthūla) itu tidak bisa terjadi terkecuali Sabda itu ada dalam
wujud halus (Suksma).
Mantra disusun dengan menggunakan aksara-aksara
tertentu, diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk bunyi,
sedangkan huruf-huruf itu sebagai perlambang-perlambang dari bunyi tersebut.
Untuk menghasilkan pengaruh yang dikehendaki, mantra harus disuarakan dengan
cara yang tepat, sesuai dengan svara ‘ritme’ dan varna ‘bunyi’. Huruf-huruf
penyusunannya pada dasarnya ialah mantra sastra, karena itu dikatakan sebagai
perwujudan Śastra dan Tantra. Mantra adalah Paramātma., Veda sebagai Jivātma,
Dharsana sebagai indriya, Puraóa sebagai jasad, dan Småti sebagai anggota.
Karena itu Tantra merupakan Śākti dan kesadaran, yang terdiri atas mantra.
Mantra tidak sama dengan doa-doa atau kata-kata untuk menasehati diri
‘Ātmanivedana’. Dalam Nitya Tantra, disebutkan berbagai nama terhadap mantra
menurut jumlah suku katanya. Mantra yang terdiri dari satu suku kata disebut
Pinda. Mantra tiga suku kata disebut Kartari, yang terdiri dari empat suku kata
sampai sembilan suku kata disebut Vija Mantra, sepuluh sampai duapuluh suku
kata disebut Mantra, dan yang terdiri lebih dari duapuluh suku kata disebut
Mālā. Tetapi istilah Vija juga diberikan kepada mantra yang bersuku kata
tunggal.
Dalam melaksanakan Tri Sandhya, sembahyang dan
berdoa setiap umat Hindu sepatutnya menggunakan mantra, namun bila tidak
memahami makna mantra, maka sebaiknya menggunakan bahasa hati atau bahasa ibu,
bahasa yang paling dipahami oleh seseorang yang dalam tradisi Bali disebut
“Sehe” atau “ujuk-ujuk” dalam bahasa Jawa. Penggunaan mantra sangat diperlukan
dalam sembahyang. Mantra memiliki makna sebagai alat untuk mengikatkan pikiran
kepada obyek yang dipuja. Pernyataan ini tidak berarti bahwa setiap orang harus
mampu mengucapkan mantra sebanyak-banyaknya, melainkan ada mantra-mantra yang
merupakan ciri atau identitas seseorang penganut Hindu yang taat, yakni setiap
umat Hindu paling tidak mampu mengucapkan mantra sembahyang Tri Sandhya,
Kramaning Sembah dan doa-doa tertentu, misalnya mantra sebelum makan, sebelum
bepergian, mohon kesembuhan dan lain-lain.
Umumnya umat Hindu di seluruh dunia mengenal
Gayatri mantra, mantra- mantra subhasita ‘yang memberikan rasa bahagia dan
kegembiraan’ termasuk mahamrtyunjaya ‘doa kesembuhan/mengatasi kematian’,
sanyipatha ‘mohon ketenangan dan kedamaian’ dan lain-lain. Mantra pada umumnya
adalah untuk menyebutkan syair-syair yang merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa,
yang disebut dengan sruti. Dalam pengertian ini yang termasuk mantra adalah
seluruh syair dalam
kitab-kitab Samhita (Ågveda, Yajurveda, Samaveda, Atharvaveda), Brahmana (Sathapatha,
Gopatha dan lain-lain), Aranyaka (Taittiriya, Brhadaranyaka, dan lain-lain) dan
seluruh Upanisad (Chandogya, Isa, Kena, dan lain-lain).
Di samping pengertian mantra seperti tersebut
di atas, syair-syair untuk pemujaan yang tidak diambil dari kitab Sruti,
sebagian diambil dari kitab-kitab Itihasa, Purana, kitab-kitab Agama dan Tantra
juga disebut mantra, termasuk pula mantra para Pandita Hindu di Bali.
Mantra-mantra ini digolongkan ke dalam kelompok stuti, stava, stotra dan puja.
Selanjutnya yang dimaksud dengan sutra adalah kalimat-kalimat singkat yang
mengandung makna yang dalam seperti kitab Yogasutra oleh Maharsi Patanjali,
Brahmasutra oleh Badarayana dan lain-lain, sedangkan syair-syair yang dipakai
dalam kitab- kitab Itihasa dan Purana, termasuk seluruh kitab-kitab sastra
agama setelah kitab-kitab Itihasa dan Purana disebut dengan nama Sloka.
B.
Fungsi dan Manfaat Tantra, Yantra, dan Mantra dalam Kehidupan dan Penerapan
Ajaran Hindu
Dalam totalitas
kehidupan manusia sebagai insan yang beragama dan berbudaya
sangat membutuhkan tuntunan dan perlindungan dari Sang Penciptanya guna dapat
meujudkan cita-cita hidupnya. Ajaran agama dapat menuntun umat manusia untuk
mewujudkan semuanya itu dengan baik dan damai. Tantra, Yantra, dan Mantra
sebagai bagian dari ajaran agama memiliki kontribusi yang bermanfaat untuk
mewujudkan semuanya itu oleh umat sedharma. Adapun fungsi dan manfaat ajaran
Yantra, Tantra dan Mantra dalam kehidupan dan penerapan ajaran Hindu dapat
dipaparkan sebagai berikut;
1.
Tantra
Menurut ajaran tantra disebutkan ada tiga urat
saraf manusia yang paling penting, yaitu; Sushumna, Ida dan Pinggala.
Keberadaannya dimulai dari muladhara chakra, yang bertempat didasar tulang
belakang. Sushumna adalah yang paling penting dari semua saraf atau nadi. Urat
saraf atau nadi manusia tidak kelihatan secara kasat mata karena bersifat
sangat halus. Ia bergerak melalui jaringan pusat dari tulang belakang dan
bergerak jauh sampai titik paling atas dari kepala. Ida dan Pinggala bergerak
paralel dengan Sushumna di sebelah kiri dan kanan dari saraf tulang belakang.
Ida dan Pinggala bertemu dengan sushumna di ajna chakra, titik yang terletak
diantara alis mata. Mereka berpisah lagi dan mengalir melalui sisi kiri dan
kanan hidung
Tantra adalah suatu kombinasi yang unik antara
mantra, upacara dan pemujaan secara total. Ia adalah agama dan juga philosopy,
yang berkembang baik dalam Hinduisme maupun Budhisme. Definisi tantra
dijelaskan dalam kaliamat ini; shasanat tarayet yastu sah shastrah
parikirtitah, yang berarti” yang menyediakan petunjuk jelas memotong dan oleh
karena itu menuntun ke jalan pembebasan spiritual dan pengikutnya disebut
sastra”. Akar Kata ”trae” diikuti oleh saffix “da” menjadi “tra” yang berarti
“yang membebaskan”. Kita melihat penggunaan yang sama dari akar kata “tra” Di
dalam kata mantra. Definisi mantra adalah:
mamanat tarayet yastu sah mantrah parikirtitah:”Suatu proses yang ketika
diulang-ulang terus menerus di dalam pikiran, membawa pembebasan, disebut
mantra. Beberapa sarjana mencoba membagi tantra menjadi dua bagian utama, yaitu
“jalan kanan” dan “ jalan kiri”. Bernet Kemper berpendapat, tantra “jalan
kanan” (menghindari praktek ekstrem, mencari-cari pengertian yang mendalam, dan
pembebasan melalui asceticism) harus dibedakan dari “jalan kiri”(black magic
dan ilmu sihir). Ia kemudian menegaskan, di dalam “jalan kanan”, bhakti atau
penyerahan diri memegang peranan yang sangat penting. Lebih dari itu, bhakti
cenderung menolak dunia material. Sedangkan “jalan kiri” mempunyai
kecenderungan yang sangat berbeda. Ia berusaha keras untuk menguasai
aspek-aspek kehidupan yang menggangu dan mengerikan seperti kematian dan
penyakit. Untuk mengatasi hal tersebut eksistensi dari kekuatan keraksasaan
(demonic) “jalan kiri” membuat kontak langsung di tempat-tempat yang mengerikan
seperti di pekuburan.
Pandangan kalangan akademis ini sangat berbeda
dengan pandangan dari praktisi
tantra. Para praktisi
tantra pada umumnya
menolak pembagian tantra atas
tantra positif dan negatif dan menekankan pada metode untuk mentransformasoikan
keinginan. Lama Thubten Yeshe, seorang praktisi tibetan mengatakan tantra menggunakan
energi dari khyalan seperti keterikatan kepada keinginan adalah sumber dari
penderitaan dan oleh karena itu harus di atasi namun ia juga mengajarkan
keahlian untuk menggunakan energi dari khayalan tersebut untuk memperdalam
kesadaran kita hingga mengahasilkan kemajuan spiritual. Seperti mereka yang
dengan keahliannya mampu mengangkat racun tumbuh-tumbuhan dan menjadikan obat
yang mujarab, seperti itu pula seorang yang ahli dan terlatih dalam praktek
tantra, mampu memanipulasi energi keinginan bahkan kemarahan menjadi mapan. Ini
sungguh-sungguh sangat mungkin dilakukan.
Dalam arti tertentu tantra merupakan suatu
teknik untuk mempercepat pencapaian tujuan agama atau realisi sang diri dengan
menggunakan berbagai medium seperti mantra, yantra, mudra, mandala pemujaan
terhadap berbagai Deva-Devi termasuk pemujaan kepada mahluk setengah Deva dan
mahluk- mahluk lain, meditasi dan berbagai cara pemujaan, serta praktek yoga
yang kadang-kadang dihubungkan dengan hubungan seksual. Elemen-elemen tersebut
terdapat dalam tantra Hindu maupun Buddha. Kesamaan teologi ini menjadi faktor
penting yang memungkinkan tantra menjadi salah satu medium penyatuan antara
Sivaisme dan Buddhisme di Indonesia. Hubungan seksual dalam tantra, seperti
dinyatakan oleh Dasgupta; merupakan
penyimpangan dari konsep awal tantra. Konsep awal tantra meliputi elemen-elemen seperti yang
disebutkan di atas, yakni; mantra, yantra, mudra dan yoga. Penyimpanan tersebut
terjadi karena pnggunaan “alat-alat praktis” dalam tantra Buddha yang berdasarkan
prinsip-prinsip Mahayana dimaksudkan untuk merealisasikan tujuan tertinggi baik
tantra Hindu maupun Buddha, adalah tercapainya keadaan sempurna dengan
penyatuan antara dua praktek serta merealisasikan sifat non dualis dari
realitas tertinggi.
H.B. Sarkar menyatakan hubungan seksual dalam
tantra lebih diarahkan untuk mengontrol kekuatan alam dan bukan untuk mencapai
kebebasan. Ia mengatakan secara umum tradisi Indonesia membagi tujuan hidup
manusia menjadi dua; pragmatis dan Idealistis.
Mengontrol kekuatan alam adalah salah satu tujuan pragmatis. Hal ini
biasanya dilakukan oleh raja yang mempraktikan sistem kalacakrayana dalam usaha
melindungi rakyatnya, memberikan keadilan, kesejahteraan dan kedamaian.
Di Indonesia dikenal ada tiga jenis tantra
yaitu; Bhairava Heruka di Padang Lawas, Sumatera Barat; Bhairava Kalacakra yang
dipraktikkan oleh Raja Kertanegara
dari Singasari dan
Adtityavarman dari Sumatera
yang se- zaman dengan Gajah Mada
di Majapahit; dan Bharavia Bhima di Bali. Arca Bharavia Bima terdapat di Pura
Edan, Bedulu, Gianyar Bali. Menurut prasasti Palembang, Tantrayana masuk ke
Indonesia melalui kerajaan Srivijaya di Sumatera pada adab ke-7.
Kalacakratantra memegang peranan penting dalam unifikasi Sivaisme dan
Buddhaisme, karena dalam tantra ini Siva dan Buddha, diunifikasikan menjadi
Siva-budha. Konsep Ardhanarisvari memegang peranan yang sangat penting dalam
Kalacakratantra. Kalacakratantra mencoba menjelaskan penciptaan dan kekuatan
alam dengan penyatuan Devi Kali yang mengerikan, tidak hanya dengan Dhyani
Buddha, melainkan juga dengan adi Buddha sendiri. Kalacakratantra mempunyai
berbagai nama dalam sekta tantra yang lain seperti; Hewarja, Kalacakra, Acala,
Cakra Sambara, Vajrabairava, Yamari, Candama harosama dan berbagai bentuk Heruka.
Di dalam tantrayana ritual adalah elemen utama
untuk merealisaikan kebenaran Tertinggi. John Woodroffe mengatakan, ritual
adalah sebuah seni keagamaan. Seni adalah bentuk luar materi sebagai ekspresi
dari ide-ide yang berdasarkan intelektual dan dirasakan secara emosional. Seni
ritual berhubungan dengan ekspresi ide-ide dan perasaan tersebut yang secara
khusus disebut religius. Sebagai suatu cara, mana kebenaran religius
ditampilkan, dan dapat dimengerti dalam bentuk material dan simbol-simbol oleh
pikiran. Ini berhubungan dengan semua manifestasi alam dalam wujud
keindahan, dimana untuk beberapa alasan,
Tuhan memperlihatkan diri Beliau sendiri. Tetapi ini tidak terbatas hanya untuk
tujuan itu semata-mata. Artinya, dengan seni religius sebagai alat pikiran yang
ditransformasikan dan di sucikan.
Masab siva-buddha dengan pengaruh khusus
Kalacakratantra dapat dilihat pada peninggalan-peninggalan arkeologi seperti di
Candi Jawi. Prapanca dalam Nagarakertagama Bab 56 ayat 1 dan 2 melukiskan
monumen ini dengan sangat indah. Bagian bawah Candi yaitu bagian dasar dan bagian badan candi
adalah Sivaitis dan bagian atas atau
atap, adalah Buddhistis, sebab di dalam kamar terdapat Arca Siva dan di atasnya
di langit-langit terdapat sebuah Arca Aksobhya. Inilah alasannya mengapa Candi
Jawi sangat tinggi dan oleh karena itu disebut sebuah Kirthi. Dalam tantra
Hindu prinsip metafisika Siva-Shakti dimanifestasikan di dunia material ini
dalam wujud laki-laki dan perempuan sedangkan dalam tantra Buddha pola sama
diikuti dimana prinsip-prinsip metaphisik Prajna dan Upaya termanifestasikan
dalam wujud perempuan dan laki-laki. Tujuan tertinggi dari kedua masab tantra
ini adalah penyatuan sempurna yaitu penyatuan antara dua aspek dari realitas
dan realisasi dari sifat-sirat non-dualis dari roh dan non-roh.
2.
Yantra
Fungsi dan manfaat Yantra, dalam kehidupan dan
penerapan ajaran Hindu bagi umat sedharma adalah:
a. Simbol
sesuatu yang dihormati/dipuja.
b. Sarana
atau media mewujudkan tujuan hidup dan tujuan agama yang diyakininya.
c.
Media memusatkan pikiran.
Yantra adalah bentuk “niyasa” (simbol,
pengganti yang sebenarnya) yang diwujudkan oleh manusia untuk
mengkonsentrasikan baktinya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, seperti
misalnya dalam perpaduan warna, kembang, banten, gambar, arca, dan lain-lain.
Setiap yantra baik dari segi bentuk maupun goresan yang tertera pada yantra
tersebut mempunyai arti yang berbeda serta tujuan yang berbeda pula. Karena
yantra mempunyai tujuan dan manfaat yang berbeda sehingga bentuk-bentuk yantra
dikembangkan dan diberi sentuhan artistik modern. Yantra tidak lagi kelihatan
seperti barang seni atau seperti sebuah perhiasan tertentu. Bentuk yantra sudah
disesuaikan dengan kebutuhan si pemakainya. Dengan berkembangnya zaman seperti
sekarang ini, banyak sekali yantra dibentuk kecil, misalnya dalam bentuk
kalung, gelang dan cincin. Memang sebaiknya yantra tersebut diusahakan selalu
dekat dengan si pemakainya. Dengan kedekatan itu, maka energi yang ada dalam
yantra dan energi si pemakai menjadi saling menyesesuaikan. Yantra dapat
diibaratkan sebagai polaritas energi positif yang secara terus menerus
mempengaruhi si pemakainya.
3.
Mantra
Berdasarkan sumbernya “veda” ada bermacam-macam
jenis mantra yang secara garis besar dapat dipisahkan menjadi; Vedik mantra,
Tantrika mantra, dan Puranik mantra. Sedangkan berdasarkan sifatnya mantra
dapat terbagi menjadi; Śāttvika mantra (mantra yang diucapkan guna untuk
pencerahan, sinar, kebijaksanaan, kasih sayang Tuhan tertinggi, cinta kasih dan
perwujudan Tuhan), Rājasika mantra (mantra yang diucapkan guna kemakmuran
duniawi serta kesejahteraan anak-cucu), Tāmasika mantra (mantra yang diucapkan
guna mendamaikan roh-roh jahat, untuk menghancurkan atau menyengsarakan orang
lain, ataupun perbuatan-perbuatan kejam lainnya/Vama marga/Ilmu Hitam).
Disamping itu mantra juga dapat diklasifikasikan menjadi sebutan antara lain:
Mantra: yang berupa sebuah daya pemikiran yang diberikan dalam bentuk beberapa
suku kata atau kata, guna keperluan meditasi dari seorang guru (Mantra Diksa);
Stotra: doa-doa kepada para devata, Stotra ada yang bersifat umum, yaitu; yang
dipergunakan untuk kepentingan umum yang harus datang dari Tuhan sesuai dengan
kehendakNya, misalnya doa-doa yang diucapkan oleh para rohaniawan ketika memimpin
persembahyangan, sedangkan Stotra yang bersifat khusus adalah doa-doa dari
seorang pribadi kepada Tuhan untuk memenuhi beberapa keinginan khususnya,
misalnya doa memohon anak, dan sebagainya; Kāvaca Mantra: mantra yang
dipergunakan untuk benteng atau perlindungan dari berbagai rintangan.
Sedangkan berdasarkan cara pengucapannya, cara
pengucapan mantra dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu :
1.
Vāikari, yaitu mengucapkan mantra dengan mengeluarkan
suara dan dapat didengar oleh orang lain, kekuatan mantra yang diucapkan dengan
cara ini akan mampu memecah guna tāmas (kelambanan), ketakutan yang ada pada
diri seseorang. Cocok dipakai bagi para sadhaka pemula dan dapat menghancurkan
energi negatif yang ada di sekitar pengucapnya.
2.
Upaṁsu, yaitu mantra yang diucapkan yang hanya didengar
oleh orang yang mengucapkannya saja (berbisik-bisik), kekuatan mantra
yang diucapkan dengan teknik ini dapat memurnikan guna rājas (nafsu). Jika
mantra ini diucapkan dengan cara ini juga dapat memberikan perlindungan (kāvaca) dari
berbagai gangguan (lingkungan, energi negatif, roh jahat, dan sebagainya).
3.
Mānasika, yaitu mantra yang diucapkan dalam hati, bermeditasi
pada jiwa dari mantra serta arti dari kata-kata suci tersebut tanpa
menggerakkan lidah ataupun bibir. Kekuatan mantra ini akan dapat menumbuhkan
kesadaran illahi pada diri yang mengucapkannya, sedangkan yang bermeditasi pada
irama pernapasan dengan menggunakn mantra disebut Ajapajapa.
Adapun makna mantra ataupun maksud pengucapan
mantra, dapat dirinci sebagai berikut:
a. Untuk
mencapai kebebasan;
b.
Memuja manifestasi Tuhan yang Maha Esa;
c.
Memuja para devata dan roh-roh;
d.
Berkomunikasi dengan para Deva;
e.
Memperoleh tenaga dari manusia super (Purusottama);
f.
Menyampaikan persembahan kepada roh leluhur dan para devata;
g.
Berkomunikasi dengan roh-roh dan hantu-hantu;
h.
Mencegah pengaruh negatif;
i.
Mengusir roh-roh jahat;
j.
Mengobati penyakit;
k.
Mempersiapkan air yang dapat menyembuhkan (air suci);
l.
Menghancurkan tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang dan manusia;
m.
Menetralkan pengaruh bisa atau racun dalam tubuh manusia;
n.
Memberi pengaruh lain terhadap pikiran dan perbuatan;
o. Mengontrol
manusia, binatang-binatang buas, Deva-Deva dan roh-roh jahat;
p. Menyucikan badan manusia (Majumar,
1952, 606).
Fungsi dan manfaat mantra dalam kehidupan dan
penerapan ajaran Hindu bagi umat sedharma adalah:
a. Memuja
Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam
ajaran Agama Hindu, Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai
pencipta semua yang ada ini. Beliaulah menyebabkan semua yang ada ini menjadi
hidup. Tanpa bantuan beliau semuanya ini tidak akan pernah ada. Kita patut
bersyukur kehadapan-Nya dengan memuja-Nya, sebagaimana diajarkan oleh agama
yang tersurat dan tersirat dalam kitab suci ‘veda’
b. Memohon
kesucian.
Tuhan
Yang Maha Esa bersifat Mahasuci. Bila kita ingin memperoleh kesucian itu,
dekatkanlah diri ini kepada-Nya. Dengan kesucian hati menyebabkan seseorang
memperoleh kebahagiaan, menghancurkan pikiran atau perbuatan jahat. Orang yang
memiliki kesucian hati mencapai surga dan bila ia berpikiran jernih dan suci
maka kesucian akan mengelilinginya. Kesucian atau hidup suci diamanatkan
sebagai sarana untuk mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa.
c. Memohon
keselamatan.
Mendekatkan
diri kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk memohon keselamatan dan kebahagiaan
melalui berbagai jalan yang telah ditunjukkannya dalam kitab suci menjadi
kewajiban umat sedharma. Keselamatan dalam hidup ini merupakan sesuatu yang
sangat penting. Dalam keadaan selamat kita dapat melaksanakan pengabdian hidup
ini menjadi lebih baik. Tuhan Yang Maha Esa , pengasih dan penyayang selalu
menganugerahkan pertolongan kepada orang-orang-Nya. Orang- orang yang bijaksana
sesudah kematiannya memperoleh keselamatan dan kebahagiaan yang sejati.
d. Memohon
Pencerahan dan kebijakan.
Dalam
kitab Nirukta Vedangga, mantra dapat dibagi menjadi 3 sesuai dengan tingkat
kesukarannya, seperti:
·
Paroksa Mantra, yaitu mantra yang memiliki
tingkat kesukaran yang paling tinggi. Hal ini disebabkan mantra jenis ini hanya
dapat dijangkau arti dan maknanya kalau diwahyukan oleh Tuhan. Tanpa sabda
Tuhan mantra ini tidak mungkin dapat dipahami;
·
Adyatmika Mantra, yaitu mantra yang memiliki tingkat
kesukaran yang lebih rendah dari Paroksa Mantra. Mantra ini dapat dicapai
maknanya melalui proses pensucian diri. Orang yang rohaninya masih kotor, tidak
mungkin dapat memahami arti dan fungsi jenis mantra ini;
·
Pratyāksa Mantra, yaitu mantra yang lebih mudah
dipahami dibandingkan dengan Paroksa Mantra dan Adyatmika Mantra. Untuk
menjangkau makna mantra ini dapat hanya mengandalkan ketajaman pikiran dan
indriya.
e. Melestarikan
ajaran “dharma”.
Sumber
ajaran Agama Hindu adalah Veda. Veda adalah wahyu Tuhan yang diterima oleh para
Maharsi baik secara langsung, maupun berdasarkan ingatannya. Diyakini bahwa
pada awalnya veda diajarkan secara lisan, hal ini memungkinkan karena pada saat
itu manusia masih mempolakan dirinya secara sederhana dan polos. Setelah
kebudayaan manusia semakin berkembang, peralatan tulis-menulis telah ditemukan
maka berbagai jenis mantra yang sudah ada dan yang baru diterima dituliskan
secara baik dalam buku, kitab, lontar yang disebut Varnātmaka Sabda, yang
terdiri dari suku kata, kata ataupun kalimat. Sedangkan mantra yang diucapkan
disebut Dhvanyātma Sabda, yang merupakan nada atau perwujudan dari pikiran
melaui suara tertentu, yang dapat berupa suara saja atau kata-kata yang
diucapkan ataupun dilagukan dan setiap macamnya dipergunakan sesuai dengan
keperluan, kemampuan serta motif pelaksana.
C.
Bentuk-bentuk Tantra, Yantra, dan Mantra yang dipergunakan dalam
Praktik Kehidupan Sesuai Ajaran Agama Hindu.
1. Tantra
Tantra adalah konsep pemujaan Ida Sanghyang
Widhi Wasa di mana manusia kagum pada sifat-sifat kemahakuasaan-Nya, sehingga
ada keinginan untuk mendapatkan sedikit kesaktian. Tantra adalah suatu
kombinasi yang unik antara mantra, upacara dan pemujaan secara total. Ia adalah
agama dan juga philosopy, yang berkembang
baik dalam Hinduisme maupun Budhisme. Tantra adalah cabang dari Agama
Hindu. Kebanyakan kitab-kitab Tantra masih dirahasiakan dari arti sebenarnya
dan yang sudah diketahui masih merupakan teka-teki. Ada baiknya diantara kita
mulai belajar mendiskusikan ajaran tantra berlandaskan makna ajaran tersebut
yang sesungguhnya, dengan demikian kita akan dapat mengetahui dan melaksanakan
dengan bentuknya yang baik dan benar.
Secara umum dapat dinyatakan bahwa yantra dan
mantra adalah bentuk- bentuk ajaran tantra yang sudah dilaksanakan oleh
masyarakat pengikutnya guna memuja kebesaran Tuhan sebagai pencipta, pemelihara
dan pelebur semua yang ada ini. Namun demikian pelaksanaannya masih perlu
disesuaikan dengan kemampuan dan keadaan pelaksananya, sehingga mereka dapat
terhindar dari sesuatu yang tidak kita inginkan bersama.
2. Yantra
Di dalam pemujaan yantra adalah sarana tempat
memusatkan pikiran. Yantra adalah sebuah bentuk geometrik. Bentuk yantra yang
paling sederhana adalah sebuah titik (Bindu) atau segi tiga terbalik. Disamping
ada bentuk yantra yang sederhana, ada juga bentuknya yang sangat rumit
(simetris dan non-simetris) yang semuanya itu dapat disebut Yantra. Semua
bentuk-bentuk ini didasarkan atas bentuk-bentuk matematika dan metode-metode
tertentu. Yantra tersebut dipergunakan untuk melambangkan para Deva seperti
Siwa, Wishnu, Ganesha, dan yang lainnya termasuk Sakti. Keadaan mantra dan
yantra adalah saling terkait. Pikiran dinyatakan dalam bentuk halus sebagai
satu mantra dan pikiran yang sama dinyatakan dalam bentuk gambar sebagai sebuah
Yantra. Dinyatakan terdapat lebih dari sembilan ratus Yantra. Salah satu dari
Yantra yang terpenting adalah Sri Yantra, atau Navayoni Chakra, melambangkan
Siwa dan Sakti. Yantra itu dapat dicermati dari berbagai praktik aliran atau
pengikut Sakti. Adapun bentuk-bentuk yantra yang dapat dikemukakan dalam
tulisan ini adalah;
1. Banten
Banten
adalah salah satu bentuk Yantra, sebagaimana dinyatakan dalam Lontar Yadnya
Prakerti. Banten itu memiliki arti yang demikian dalam dan
universal. Banten dalam upacara agama Hindu adalah wujudnya sangat lokal, namun
di dalamnya terkandung nilai-nilai yang
universal. Banten itu adalah bahasa untuk menjelaskan ajaran Agama Hindu
dalam bentuk simbol. Banten menurut Lontar Yadnya Prakerti menyatakan sebagai
simbol ekspresi diri manusia. Misalnya; banten caru sebagai lambang
penetralisir kekuaan negatif, banten peras sebagai lambang permohonan untuk
hidup sukses dengan menguatkan Tri Guna
2. Susastra
Dalam
tradisi Hindu, yantra umumnya digunakan untuk melakukan upakara puja dengan
mengikut-sertakan bija mantra sesuai yantra tersebut. Banyaknya jenis puja dan
setiap puja menggunakan yantra maka penggunaan mantra juga menjadi berbeda.
Adapun bentuk-bentuk yantra dalam kesusteraan Hindu antara lain:
a. Bhu
Pristha yantra; adalah yantra yang biasanya dibuat secara timbul atau dipahat
pada suatu bahan tertentu. Bhu Pristha yantra biasanya hanya ditulis pada
selembar kertas atau kain.
b. Meru
Pristha yantra; adalah yantra yang berbentuk seperti gunung atau piramid dimana
di bagian dasar penampangnya dibuat lebar atau besar semakin keatas semakin
mengecil misalnya bentuk meru pada bangunan pelinggih yang ada di Bali.
c. Meru
parastar yantra; adalah bentuk yantra yang dipotong sesuai garis yantra
tersebut atau dipotong bagian tertentu.
d. Ruram
Pristha yantra; adalah yantra dimana bagian dasarnya membentuk mandala segi
empat dan diatasnya dibentuk sebuah bentuk tertelungkup atau seperti pundak
kura-kura.
e. Patala
yantra: adalah yantra yang di bagian atas bentuknya lebih besaran dari pada
bentuk bagian bawahnya yang ‘kecil’. Bentuk ini kebalikan dari meru Pristha
yantra
Setiap
Yantra baik dari segi bentuk maupun goresan yang tertera pada Yantra tersebut
akan mempunyai arti yang berbeda serta tujuan yang berbeda pula. Karena yantra
mempunyai tujuan dan manfaat yang berbeda. Bentuk-bentuk yantra dikembangkan
dan diberi sentuhan artistik modern sehingga yantra tidak lagi kelihatan
seperti barang seni atau sebuah perhiasan belaka, tetapi disesuaikan dengan
makna dan ciri yantra serta kebutuhan si pemakainya. Sesuai perkembangan jaman
sekarang banyak sekali yantra dibentuk kecil, misalanya dalam bentuk kalung,
gelang dan cincin. memang sebaiknya yantra tersebut diusahakan selalu dekat
dengan si pemakainya, dengan kedekatan itu maka energi yang ada dalam yantra
dan energi pemakai menjadi saling menyesuaikan. Yantra dapat diibaratkan
sebagai polaritas energi positif yang secara terus menerus mempengaruhi si
pemakainya sehingga dalam waktu singkat fungsi yantra yang dikenakan dapat
dirasakan manfaatnya atau hasilnya.
Siwa
lingga adalah bagian dari Tantrisme. Dewasa
ini hampir di
semua tempat suci (Pura)
seseorang dapat melihat Siwalingga
yang diwujudkan dengan lingga
– yoni. Menurut
Siwa Purana, itu melambangkan
ruang di mana alam semesta menciptakan dan melenyapkan dirinya berulang-kali.
Sedangkan menurut Tantra mewujudkannya dengan phalus dan yoni sebagai
perlambang dari sifat laki-laki dan wanita. Ia juga melambangkan prinsip-
prinsip kreatif dari kehidupan. Siwalingga bisa bersifat Chala (bergerak) atau
Achala (tidak bergerak). Chala Lingga dapat ditempatkan di Pura atau rumah atau
dapat dibuat secara sementara dari tanah liat atau adonan atau nasi. Achala
Linga biasanya ditempatkan di Pura,
terbuat dari batu.
Bagian
terbawah dari Siwalingga disebut Brahmabhaga yang melambangkan Brahma, bagian
tengah yang berbentuk segi delapan disebut Wishnubhaga yang melambangkan
Wishnu, dan bagian menonjol yang berbentuk silinder disebut Rudrabhaga, serta
pemujaan kepadanya disebut Pujabhaga.
Mandala
artinya “lingkaran.” Ia sesungguhnya bentuk yantra yang paling rumit. Ia
berwujud dalam segala bentuk dan sifatnya sangat artisitik. Dalam agama Hindu,
mandala digunakan sebagai alat bantu meditasi.
Keindahan dari tempat-tempat suci (Pura) Hindu terletak dalam jumlah
mandala yang dipahat di batu-batu di dinding Pura. Sebuah mandala terdiri dari
satu pusat titik, garis-garis dan lingkaran-lingkaran yang diletakkan secara
geometrik di sekeliling lingkaran. Pusatnya biasanya adalah sebuah titik
(Bindu). Kita juga dapat melihat mandala di Wihara Buddha. Dibalik setiap
mandala terdapat sejumlah besar pikiran-pikiran.
Sri
Chakra adalah satu dari yantra yang paling
kuat dalam ajaran
agama Hindu, yang biasanya
digunakan oleh penganut sakti Devi ibu, dalam pemujaan-Nya.
Sri Chakra adalah simbol
dari Lalitha aspek dari Ibu Suci. Ia terdiri dari sebuah
titik (Bindu) pada pusatnya, yang dikelilingi oleh sembilan Trikona, lima dari
padanya dengan puncak menghadap ke bawah dan empat yang lain
menghadap ke atas.
Interseksi atau persinggungan dari sembilan segi tiga ini menghasilkan
empat puluh tiga segi tiga secara total. Ini dikelilingi oleh lingkaran
konsentris dari delapan daun bunga teratai dan juga oleh tiga lingkaran
konsentris. Akhirnya pada sisi paling luar, ada sebuah segi empat (Chaturasra)
yang dibuat dari tiga garis, garis yang
satu ada di dalam garis yang lain, membuka ditengah-tengahnya masing-masing
sisi sebagai empat gerbang.
Mandala dalam
konsep Agama Hindu adalah
gambaran dari alam semesta. Secara harafiah mandala berarti “lingkaran.”
Mandala ini terkait dengan kosmologi
India kuno yang berpusatkan Gunung Mahameru, sebuah gunung yang diyakini
sebagai pusat alam semesta. Di
dalam Tantrayana mandala
juga menggambarkan alam kediaman
para makhluk suci, yang
sangat penting bagi ritual
atau sadhana Tantra.
Saat berlangsungnya sadhana,
sadhaka akan menyusun ulang mandala ini baik secara nyata ataupun
visualisasi. Sesungguhnya semua orang diantara kita setiap hari telah menyusun
mandalanya masing-masing. Mandala
adalah melambangkan cakupan karya dan medan pemikiran seseorang.
Menurut ajaran Vajrayana, mandala hendaknya disusun secara cermat. Ini menandakan
bahwa dalam berkarya seseorang hendaknya cermat dan melakukan yang
sebaik-baiknya.
3. Doa (Mantra)
Maharsi
Manu yang disebut sebagai peletak dasar hukum yang digambarkan sebagai orang
yang pertama memperoleh mantra. Beliau mengajarkan mantra itu kepada umat
manusia dengan menjelaskan hubungan antara mantra dengan objeknya. Demikianlah
mantra merupakan bahasa ciptaan yang pertama. Mantra-mantra digambarkan dalam
bentuk yang sangat halus dari sesuatu, bersifat abadi, berbentuk formula yang
tidak dapat dihancurkan yang merupakan asal dari semua bentuk yang tidak abadi.
Bahasa yang pertama diajarkan oleh Manu adalah bahasa awal dari segalanya,
bersifat abadi, penuh makna. Bahasa Sansekerta diyakini sebagai bahasa yang
langsung barasal dari bahasa yang pertama, sedang bahasa-bahasa lainnya
dianggap perkembangan dari bahasa Sansekerta (Majumdar, 1916, p.603). Sebagai
asal dari bahasa yang benar, merupakan ucapan suci yang digunakan dalam
pemujaan disebut mantra. Kata mantra berarti “bentuk pikiran”. Seseorang yang
mampu memahami makna yang terkandung di dalam mantra dapat merealisasikan apa
yang digambarkan di dalam mantra itu (Danielou, 1964, 334).
Bentuk
abstrak yang dimanifestasikan itu berasal dan diidentikkan dengan para deva
(devata). Mantra merupakan sifat alami dari deva-deva dan tidak dapat
dipisahkan (keduanya) itu. Kekuasaan para Deva merupakan satu kesatuan dengan
nama-Nya. Aksara suci dan mantra, yang menjadi kendaraan gaib para deva dapat
menghubungkan penyembah dengan devata yang dipuja. Dengan mantra yang memadai
mahluk-mahluk halus dapat dimohon kehadirannya. Mantra, oleh karenanya
merupakan kunci yang penting dalam aktivitas ritual dari semua agama dan juga
digunakan dalam aktivitas bentuk-bentuk kekuatan gaib. Pustaka Yamala Tantra
menjelaskan sebagai berikut; “sesungguhnya, tubuh devata muncul dari mantra
atau bijamantra”. Masing-masing devata digambarkan dengan sebuah mantra yang
jelas, dan melalui bunyi-bunyi yang misterius. Arca dapat disucikan dengan
mantra dan arca tersebut menjadi ‘hidup’. Demikianlah kekuatan sebuah mantra
yang menghadirkan devata dan masuk ke dalam arca, sebagai jembatan penghubung
dunia yang berbeda, dimana, mantra-mantra sebagai instrumen, sehingga dapat
dicapai sesuatu di luar kemampuan logika manusia. “Sebuah mantra; dinamakan
demikian karena membimbing pikiran (manana) dan hal itu merupakan pengetahuan
tentang alam semesta dan perlindungan (trana) dari perpindahan jiwa, dapat
dicapai” (Pingala Tantra) “Disebut sebagai sebuah mantra karena pikiran
terlindungi” (Mantra Maharnava, dikutip oleh Devaraja Vidya Vacaspati) Sumber:
http://ngarayana.web.ugm.ac.id/2010/10/ tantra/.
Persepsi
yang pertama tentang sebuah mantra selalu ditandai sebagai hubungan langsung
antara umat manusia dengan deva. Mantra, diperoleh pertama kali oleh seorang
rsi. “karenanya seorang rsi adalah yang pertama merapalkan mantra”
(Sarvanukramani). Selanjutnya, mantra ditegaskan dengan karakter matrik (irama)
dihubungkan dengan karakter garis-garis lurus berkaitan denga yantra;
kenyataannya ini merujuk kepada sesuatu yang dimiliki oleh mantra. Mantra
menggambarkan devata tertentu yang dipuja dan dipuji; “mantra itu membicarakan
devata” (Sarvanukramani). Selanjutnya pula, seseorang melakukan tindakan dan
untuk mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan mantra itu.
Unsur-unsur
bunyi digunakan dalam semua bahasa untuk membentuk “ucapan suku kata” atau
varna-varna yang dibatasi oleh kemampuan alat-alat wicara manusia kecerdasan
membedakannya melalui pendengaran. Unsur-unsur ini adalah umum dalam setiap bahasa,
walaupun umumnya bahasa-bahasa itu adalah sebuah bagian dari padanya.
Unsur-unsur bunyi dari bahasa sifatnya sungguh-sungguh permanen, bebas dari
evolusi atau perkembangan bahasa, dan dapat diucapkan sebagai sesuatu yang
tidak terbatas dan abadi. Kitab- kitab Tantra melengkapi hal itu sebagai
eksistensi yang bebas dan digambarkan sebagai yang hidup, kekuatan kesadaran
bunyi, disamakan dengan deva-deva. Kekuatan dasar dari bunyi (mantra)
berhubugan dengan semua lingkungan dari manifestasinya. Setiap bentuk dijangkau
oleh pikiran dan indria yang seimbang dengan pola-pola bunyi, sebagai sebuah
nama yang alami. Dasar mantra satu suku kata disebuat sebagai bijamantra atau
vijamantra (benih atau bentuk dasar dari pikiran) Danielou, 1964: 335.
Mantra disusun dengan menggunakan
aksara-aksara tertentu, diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu
bentuk bunyi, sedang huruf-huruf itu sebagai perlambang-perlambang dari bunyi
tersebut. Untuk menghasilkan pengaruh yang dikehendaki, mantra harus disuarakan
dengan cara yang tepat, sesuai dengan “svara” atau ritme, dan varna atau bunyi.
Mantra mempunyai getaran atau suara tersendiri, karena itu apabila
diterjemahkan ke alam bahasa lain, mantra itu tidak memiliki warna yang sama,
sehingga terjemahannya itu hanya sekedar kalimat (Avalon, 1997: 85).
Mantra
itu mungkin jelas dan mungkin pula tidak jelas artinya. Vijra (vijaksara)
mantra seperti misalnya Aim, Klim, Hrim, tidak mempunyai arti dalam bahasa
sehari-hari. Tetapi mereka yang sudah menerima inisiasi mantra mengetahui bahwa
artinya itu terkandung dalam perwujudnnya itu sendiri (svarupa) yang adalah
perwujudan devata yang sedemikian itulah mantra-Nya, dan bahwa vija mantra itu
adalah dhvani yang menjadikan semua aksara memiliki bunyi dan selalu hadir di
dalam apa yang diucapkan dan yang didengar, karena itu setiap mantra merupakan
perwujudan (rupa) dari Brahman. Dari manana atau berpikir didapatkan pengertian
terhadap kesejatian yang bersifat Esa, bahwa substansi Brahman dan Brahmanda
itu satu dari man yang sama, dan mantra datang dari suku pertama manana,
sedangkan tra berawal dari trana, atau pembebasan dari ikatan samsara atau
dunia fenomena ini. Dari kombinasi man dan tra itulah disebut mantra yang dapat
memanggil datang (matrana) catur varga atau empat tujuan dari mahluk-mahluk
luhur. Mantra adalah daya kekuatan yang mendorong, ucapan berkekuatan (yang
buah dari padanya disebut mantra-siddhi) dan karena itu sangat efektif untuk
menghasilkan catur varga, persepsi kesejatian tunggal, dan mukti. Karena itu
dikatakan bahwa siddhi merupakan hasil yang pasti dari Japa. Dengan mantra
devata itu dicapai (Sadhya).
Dengan siddhi yang
terkandung di dalam
mantra itu terbukalah visi tri bhuvana. Tujuan dari suatu puja (pemujaan), patha (pembacaan), stava
(himne), homa (pengorbanan), dhyana (kontemplasi) dan dharana (konsentrasi)
serta Samadhi adalah sama. Namun yang terakhir yaitu diksa mantra, sadhana
sakti bekerja bersama-sama dengan mantra. Sakti yang memiliki daya revelasi dan
api dengan demikian lalu memiliki kekuatan yang luar biasa. Mantra khusus yang
diterima ketika diinisiasi (diksa) adalah vija mantra, yang ditabur di dalam
tanah nurani seorang sadhaka. Terkait dengan ajaran tantra seperti sandhya,
nyasa, puja dan sebagainya merupakan pohon dari cabang-cabang, daun-daunnya
ialah stuti, vandana bunganya, sedangkan kavaca terdiri atas mantra adalah
buahnya (Avalon, 1997: 86).
Nitya
Tantra menyebutkan berbagai nama terhadap mantra menurut jumlah suku katanya.
Mantra yang terdiri dari satu suku kata disebut Pinda, tiga suku kata disebut
Kartari. Mantra yang terdiri dari empat sampai sembilan suku kata disebut Vija
mantra. Sepuluh sampai dua puluh disebut mantra, dan mantra yang terdiri lebih
dari 20 suku kata disebut Mala. Tetapi biasanya istilah Vija diberikan kepada
mantra yang bersuku kata tunggal. Mantra-mantra Tantrika disebut Vija mantra,
disebut demikian karena mantra-mantra itu merupakan inti dari sidhhi, dan
mantra-mantra Tantrika itu adalah saripatinya mantra. Mantra-mantra Tantrika
pada umumnya pendek, tidak dapat dikupas lagi secara etimologi, seperti
misalnya Hrim, Srm, Krim, Hum, Am, Phat dan sebagainya.
Setiap
devata memiliki vija. Mantra primer satu devata disebut mula mantra. Kata mula
berarti jasad sangat halus dari devata yang disebut Kamakala. Mengucapkan
mantra dengan tidak mengetahui artinya atau mengucapkan tanpa metode tidak
lebih dari sekedar gerakan-gerakan bibir. Matra itu tidur. Beberapa proses
harus dilakukan sebelum
mantra itu diucapkan
secara benar, dan proses-proses itu kembali menggunakan mantra-mantra,
seperti usaha penyucian mulut ‘mukhasodhana’, penyucian lidah ‘jihvasodhana’, dan
penyucian terhadap mantra-mantra itu sendiri ‘asaucabhanga’, kulluka,
nirvana, setu, nidrabhanga
‘menbangunkan mantra’, mantra
chaitanya atau memberi daya hidup kepada mantra dan mantrarthabhavana,
yaitu membentuk bayangan mental terhadap devata yang menyatu di dalam mantra
itu. Terdapat 10 samskara terhadap mantra itu. Mantra tentang devata adalah
devata itu sendiri. Getaran-getaran ritmis dari bunyi yang dikandung oleh
mantra itu bukan
sekedar bertujuan mengatur
getaran yang tidak
teratur dari kosa-kosa seorang pemuja, tetapi lebih jauh lagi dari irama
mantra itu muncul perwujudan devata, demikianlah kesejatiannya. Mantra sisshi
ialah kemampuan untuk mebuat mantra itu menjadi efektif dan mengasilkan buah,
dalam hal itu mantra itu disebut siddha (Avalon. 1997: 87).
D.
Cara Mempraktikkan Ajaran Tantra, Yantra, dan Mantra.
1. Tantra
Tantra atau yang sering disebut tantrisme
adalah ajaran dalam Agama Hindu yang mengandung unsur mistik dan kekuatan gaib.
“Tantra adalah bagian dari Saktisme, yaitu pemujaan kepada Ibu Semesta. Dalam
proses pemujaannya, para pemuja Sakta tersebut menggunakan mantra, yantra, dan
tantra, yoga, dan puja serta melibatkan
kekuatan alam semesta dan membangkitkan kekuatan kundalini. Bagaimana
praktik ajaran tantra, berikut ini dapat dipaparkan, antara lain;
·
Memuja shakti
Tantra disebut Saktiisme, karena yang dijadikan
obyek persembahannya adalah shakti. Shakti dilukiskan sebagai Devi, sumber
kekuatan atau tenaga. Shakti adalah simbol dari bala atau kekuatan ‘Shakti is
the symbol of bala or strength’ Pada sisi lain shakti juga disamakan dengan
energi atau kala ‘This sakti or energi is also regarded as “Kala” or time’ (Das
Gupta, 1955 : 100).
Tantra merupakan ajaran filosofis yang pada
umumnya mengajarkan pemujaan kepada shakti sebagai obyek utama pemujaan, dan
memandang alam semesta sebagai permainan atau kegiatan rohani dari Shakti dan Siwa. Tantra juga mengacu
kepada kitab-kitab yang pada umumnya berhubungan dengan pemujaan kepada Shakti
(Ibu Semesta, misalnya Devi Durga, Devi Kali, Parwati, Laksmi, dan sebagainya),
sebagai aspek Tuhan Yang Tertinggi dan sangat erat kaitannya dengan praktek
spiritual dan bentuk-bentuk ritual
pemujaan, yang bertujuan membebaskan seseorang dari kebodohan, dan
mencapai pembebasan. Dengan demikian Tantrisme lebih sering didefinisikan
sebagai suatu paham kepercayaan yang memusatkan pemujaan pada bentuk shakti
yang berisi tentang tata cara upacara keagamaan, filsafat, dan cabang ilmu
pengetahuan lainnya, yang ditemukan dalam percakapan antara Deva Siwa dan Devi
Parwati, maupun antara Buddha dan Devi Tara.
·
Meyakini pengalaman mistis
Tantra bukan merupakan sebuah sistem filsafat
yang bersifat padu (koheren),
tetapi tantra merupakan
akumulasi dari berbagai
praktek dan gagasan yang memiliki ciri utama penggunaan ritual, yang
ditandai dengan pemanfaatan sesuatu yang bersifat duniawi (mundane). Untuk
menggapai dan mencapai sesuatu yang rohani (supra-mundane), serta penyamaan
atau pengidentikan antara unsur mikrokosmos dengan unsur makrokosmos perlu
diupayakan. Praktisi tantra memanfaatkan prana (energi semesta)
yang mengalir di
seluruh alam semesta
(termasuk dalam badan manusia) untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Tujuan itu bisa berupa tujuan material, bisa pula tujuan spiritual, atau
gabungan keduanya.
Para penganut tantra meyakini bahwa pengalaman
mistis adalah merupakan suatu keharusan yang menjamin keberhasilan seseorang
dalam menekuni tantra. Beberapa jenis tantra membutuhkan kehadiran seorang guru
yang mahir untuk membimbing kemajuan siswa tantra.
·
Simbol-simbol erotis
Dalam perkembangannya dimana tantra sering
menggunakan simbol- simbol material termasuk simbol-simbol erotis. Tantra
sering kali diidentikkan dengan ajaran kiri yang mengajarkan pemenuhan nafsu
seksual, pembunuhan dan kepuasan makan daging. Padahal beberapa perguruan
tantra yang saat ini mempopulerkan diri sebagai tantra putih menjadikan
pantangan mabuk-mabukan, makan daging dan hubungan seksual sebagai sadhana
dasar dalam meniti jalan tantra. Beberapa orang Indolog beranggapan bahwa ada
hubungan antara Konsep-Devi (Mother- Goddes) yang bukti-buktinya terdapat dalam
suatu zeal di Lembah Sindhu (sekarang ada di Pakistan), dengan Konsep
Mahanirwana Tantra. Konsep ini berpangkal pada percakapan Devi Parwati dengan
Deva Siva yang menguraikan turunnya Devi Durga ke Bumi pada zaman Kali untuk
menyelamatkan dunia dari kehancuran moral dan perilaku.
·
Penyelamat dunia dari kehancuran
Dalam beberapa sumber Devi Durga juga disebut
“Candi”. Dari sinilah pada mulanya muncul istilah “candi” (candikaghra) untuk
menamai bangunan suci sebagai
tempat memuja Deva
dan arwah yang
telah suci. Peran Devi Durga dalam menyelamatkan dunia dari kehancuran
moral dan perilaku disebut kalimosada. Kalimosada (Kali-maha-usada), yang
artinya Devi Durga adalah obat yang paling mujarab dalam zaman kekacauan moral,
pikiran dan perilaku; sedangkan misi Beliau turun ke bumi disebut
Kalika-Dharma.
·
Mewarnai kebudayaan dan keagamaan
Prinsip-prinsip Tantra terdapat dalam buku
bernama Nigama, sedangkan praktek-prakteknya dalam buku Agama. Sebagian
buku-buku kono itu telah hilang dan sebagian lagi tak dapat dimengerti karena
tertulis dalam tulisan rahasia untuk menjaga kerahasiaan Tantra terhadap mereka
yang tak memperoleh inisiasi. Ada beberapa jenis kitab yang memuat ajaran
Tantrayana, yaitu antara lain : Maha Nirwana Tantra, Kularnawa Tantra, Tantra
Bidhana, Yoginirdaya Tantra, Tantra sara, dsb.
Dalam perkembangannya, praktik tantra ini juga
selalu mewarnai kebudayaan dan keagamaan
yang berkembang di
nusantara. Hal ini dapat dilihat dari berbagai jenis
peninggalan prasasti, candi dan arca- arca bercorak tantrik. Karakteristik
tantrisme di India secara alami ajaran-ajarannya yang berpedoman pada Veda,
mengalir ke Indonesia. Konsekuensinya,
bahwa ajaran-ajaran Tantra
yang bersumber pada Veda, di Indonesia berkembang
sebagaimana yang diharapkan oleh para pengikutnya.
2. Yantra
Yantra adalah sarana dan tempat memusatkan
pikiran. Adapun unsur-unsur sebuah yantra adalah: Titik (bindu), garis lurus,
segi tiga, lingkaran, heksagon (persegi enam), bujur sangkar, bintang
(pentagon), garis melintang, svastika, bintang segi enam (star heksagon), dan
padma yang untuk lebih jelasnya dapat diterangkan sebagai berikut:
·
Bindu (titik)
Titik
adalah yang meresapi semua konsep ruang, setiap gerakan, setiap bentuk, dapat
dipahami sebagai terbuat dari titik-titik. Ruang alam, ether, merupakan tempat,
yaitu kemungkinan penegasan tempat-tempat tertentu atau titik-titik. Yang
meresapi segala, yang terbentang merupakan titik secara matematik merupakan
ekspresi dari sifat ether. Titik dapat juga menggambarkan keterbatasan
perbedaan yang satu eksistensi atau asal manifestasi yang satu dengan yang
lainnya. Ketika sesuatu eksistensi dalam tingkat tidak termanifestasi menjadi
bermanifestasi, maka manifestasi mulai di berbagai tempat, dalam beberapa titik
di ruang angkasa, dalam beberapa titik waktu. Dan hal itu mesti terjadi secara
spontan yang pada mulanya sesuatu tidak muncul dan selanjutnya menampakkan diri
dalam suatu lokasi. Spontanitas pertama ketika sesuatu belum menampakkan diri
dan kemudian muncul dengan cukup digambarkan melalui titik, yang bisa
dijelaskan sebagai “suatu manifestasi yang terbatas”.
·
Garis lurus
Ketika sebuah
titik bergerak secara
bebas dalam aktrasinya
yang abadi, gerakannya itu berbentuk garis lurus. Garis lurus dipakai
untuk menggambarkan gerakan yang tiada merintangi, demikianlah prinsip dari
semua perkembangan.
·
Segi Tiga
Perkembangan
dipadukan untuk bangkit atau sebuah gerakan ke arah atas dapat digambarkan
dengan sebuah anak panah atau lidah api. Segi tiga dengan pucaknya ke atas
melambangkan api, diidentifikasikan dengan prinsip laki-laki, lingga atau
phallus, simbol Siva, leluhur atau manusia kosmos (purusa). Segala gerakan ke
atas adalah sifat dari unsur api, aktivitas mental dalam bentuknya yang halus.
Simbol bilangannya adalah nomor 3.
Segi
tiga dengan puncaknya ke bawah menggambarkan kekuatan kelembaman yang di tarik
ke bawah, dan tendesi aktivitas menekan. Hal ini disosiasikan dengan unsur air,
yang tendensinya selalu ke bawah, merata pada levelkanya. Hal ini merupakan
aspek pasif dari ciptaan dan bila dilambangkan dengan ‘yoni’ atau prinsip
wanita, yang merupakan lambang dari Energi (sakti) atau sifat Kosmik (prakrti).
Simbol lainnya diasiosasikan dengan unsur air adalah lengkung dari sebuah
lingkaran, bulan sabit dan gelombang. Angka bilangan yang menjadi simbolnya
adalah angka 2.
·
Lingkaran
Gerak
dari lingkaran muncul melalui revolusi planet-planet. Hal ini merupakan simbol
dari semuanya kembali lagi, semua siklus, semua irama, yang membuat kemungkinan
adanya eksistensi. Gerakan melingkar adalah kecenderungan sifat rajas
(berputar) yang merupakan sifat dari manifestasi yang dapat dimengerti. Pusat
lingkaran, bagaimanapun, dapat melambangkan ciptaan yang dapat ditarik ke
dalam, energi yang bergelung, yang ketika
dibangkitkan, mengantarkan semua
mahluk dapat menyeberangi ruang dan bentuk manifestasi dan mencapai
tingkat kebebasan.
·
Persegi Enam (Hexagon)
Lingkaran
kadang-kadang dijadikan sebuah unsur dari sebuah udara, meskipun secara
konvensional simbol untuk udara adalah persegi enam (hexagon). Gerakan
merupakan sifat dari udara, namun gerakannya tidak teratur (kacau), gerakannya
yang banyak di gambarkan melalui perkalian dari angka primer 2 dan 3, yang
merupakan bilangan alami yang tidak bernyawa.
·
Bujur sangkar
“Gerakan
perpanjangan yang dihubungkan dengan banyak sisi. Di antara figur banyak sisi
satu dengan unsur yang sangat sedikit (bagian dari segi tiga) adalah bujur
sangkar. Bujur sangkar dijadikan lambang bumi. Bujur sangkar ini melambangkan
unsur bunyi” (Devaraja Vidya Vacaspati, “Mantra-Yantra-Tantra, seperti
dikutip Danielou, 1964:
353). Angka bilangan yang merupakan simbol bumi adalah 4.
·
Bintang (Pentagon)
Segala
kehidupan yang tidak bernyawa dipercaya diatur dengan angka bilangan 3 dan
dikalikan 2 dan 3. Kehidupan, sensasi, permunculan hanyalah ketika nomor 5
menjadi sebuah komponen di dalam struktur segala sesuatu. Nomor 5 diasosiasikan
dengan Siva, Leluhur umat segalanya, sumber kehidupan. Bintang diasosiasikan
dengan cinta dan nafsu seperti halnya kekuatan untuk memisahkan. Hal ini
merupakan unsur yang sangat penting dari yantra-yantra yang bersifat magis.
·
Tanda Tambah (Tampak Dara)
Ketika
titik berkembang dalam ruang mengarah ke 4 jurusan, terjadilah tanda tambah.
Tanda ini merupakan simbol dari perkembangan titik di dalam ruang seperti
halnya juga pengkerutan (reduksi) ruang menjadi satu (ke titik tengah). Hal ini
menunjukkan bahwa satu kekuatan bisa berkembang berlipat ganda. Di Bali tanda
tambah ini disebut “tapak dara”, tanda bekas diinjak burung merpati, digunakan
untuk mengembalikan keseimbangan kekuatan gaib.
·
Svastika
Pengetahuan
yang Transcendent dikatakan “berliku-liku” karena pengetahuannya tidak langsung
dapat dipahami, di luar lingkup logika umat manusia. Tanda tambah yang
sederhana tidak hanya menggambarkan reduksi ruang menuju satu kesatuan, tetapi
juga lapangan manifestasi yang dari titik pusat, bindu, simbol ether,
mengembang ke 4 arah mata angin dan 4 unsur yang nampak.
·
Bintang Segi Enam (Hexagon)
Bintang
segi enam (hexagon) atau kenyataannya dalam bentuk dodecagon adalah salah satu
unsur yantra yang sangat umum. Dibuat dari dua segi tiga yang saling tembus
(penetrasi). Kita dapat melihat segi tiga yang puncaknya menghadap ke atas
menggambarkan Manusia Kosmos (purusa) dan segi tiga yang ujungnya ke bawah
merupakan Sifat Kosmos (prakrti). Ketika bersatu dan dalam keadaan seimbang,
keduanya berbentuk bintang “segi enam” (hexagon), merupakan basis dari roda
(cakra) simbol tedensi ketiga atau tedensi rajas dari padanya alam semesta
menampakkan diri. Lingkaran yang mengelilingi bintang segi enam menggambarkan
lapangan bersatunya kedua segi tiga itu, dan hal itu merupakan ruang dari waktu.
Ketika kedua segi tiga itu dipisahkan, alam semesta hancur, waktu melenyapkan
segala yang ada. Hal ini ditunjukan dengan bertemunya dua ujung segi tiga atas
dan segi tiga bawah pada satu titik (bentuk hourglass), kendang (damaru) Sang
Hyang Siva.
·
Bunga Padma
Segala
simbol-simbol bilangan menggambarkan kesatuan tertentu yang ditunjukkan di
dalam yantra sebagai bunga yang bentuknya bundar yang disebut bunga padma.
Ada beberapa jenis Yantra yang utama, yang
dapat kita kenal dalam praktiknya dimasyarakat, antara lain sebagai berikut:
1. Yantra-raja (raja Yantra)
Raja dari yantra digambarkan di dalam
Mahanirvana Tantra. “Gambar segi tiga dengan di tengah-tengahnya ditulis bija
mantra Hrim (wujud ilusi). Di luarnya digambarkan dua lingkaran, yang pertama mengelilingi
segi tiga, dan yang ke dua melingkari lingkatan yang pertama. Antara lingkaran
yang pertama dengan yang kedua dibagi enam belas dengan tanda kawat pijar, dan
delapan daun bunga padma (masing-masing) selembar diantara gambar dua kawat
pijar tersebut. Di luar lingkaran yang paling luar adalah kota yang sifatnya
Kebumian, yang akan langsung membuat garis lurus dengan empat pintu masuk dan
penampilannya akan menyenangkan. Di dalam acara yang menyenangkan para devata,
penyembah akan menggambar yantra, apakah terbuat dari jarum emas atau duri kayu
bell (bila) atau dengan potongan emas, atau perak, atau tembaga yang telah
diurapi dengan svayambhu, kunda atau bunga gola, atau tepung cendana, harumnya
daun gaharu, kumkuma atau tepung cendana merah yang dibuat seperti paste
(Mahanirvana Tantra 5.172-76).
Tujuan dari yantra ini untuk menciptakan
hubungan dengan dunia supranatural. Dengan bantuan-Nya, penyembah mendapatkan
semua pahala kedunawian dan kekuatan supranatural. Di dalamnya adalah yantra
dengan karakter Hrim, sebagai lambang dari Devi keberuntungan Laksmi. Di
luarnya terdapat segi tiga yang berapi-api yang menuju gerakan ke atas dari
energi yang bergelung (Kundalini). Enam belas kawat pijar menggambarkan
pencapaian kesempurnaan (16 adalah angka yang sempurna), delapan kelopak bunga
teratai menggambarkan yang meresapi segala menuju ke atas, yang tidak lain
adalah Visnu.
Lingkaran
luar adalah penciptaan,
bundaran yang bergerak
dari padanya segala sesuatu lahir. Kekuatan mengatasi dunia yang nampak
diperlihatkan dengan persegi empat bujur sangkar, simbol bumi. Di empat sisi
adalah 4 pintu yang mengantarkan seseorang dari alam duniawi ke alam atas
(spiritual). Ke utara (yakni sebelah kiri) adalah pintu menuju Deva-Deva
(devayana). Keselatan (yakni sebelah kanan) menuju kealam leluhur (pitrayana),
ke Timur (sisi atas) jalan menuju ke Surya (kepanditaan), dan ke Barat (sisi
bawah) adalah jalan keagungan, jalan menuju penguasa air (Varuna). Empat pintu
tersebut mengantar ke empat penjuru angin, membentuk tanda tambah, simbol
keuniversalan. Tanda tambah berkembang menjadi dua buah svastika yang
menunjukan bahwa ada dua jalan utama, yaitu kiri dan kanan.
2. Yantra-Sarvatobhadra (Yantra penjaga
seluruh penjuru)
Yantra ini dijelaskan di dalam kitab Gautamiya
Tantra (30.102-108). Yantra ini dikatakan saran untuk dapat memenuhi semua
keinginan, sekarang dan yang akan datang, di dunia nyata dan di dunia yang
gaib. “Namanya, berarti bujur sangkar yang rata”, dan juga berarti kendaraan
Deva Visnu. Menunjukkan keadaan yang seimbang antara aktivitas dan istirahat,
keterikatan dan penyangkalan. Ia yang dari segala sisi seimbang dengan dirinya,
di dalam atau di luar, kesuburan dan buah yang dihasilkan. Ia yang dengan teguh
duduk dalam kereta hidupnya, dijaga dari segala sisi, sempurna dari seluruh
sisi, bebas dari bencana (Danielou 1964:356). Yantra ini terdiri dari 8 bujur
sangkar setiap sisinya, oleh karenanya adalah Visnu Yantra, berhubungan dengan
sikap sattvam, jalan kanan.
3. Yantra-Smarahara (pengusir keinginan)
Uraian tentang Yantra ini dijelakan dalam kitab
Syamastava Tantra, sloka 18, dibentuk dari 5 buah segi tiga, merupakan Siva
yantra, angka 5 berhubungan dengan sebagai bapak dan dasar pemusnah. Segi tiga
yang melambangkan lingga yang tajam, phallus api.
“Melalui kekuatan yantra ini, seseorang dapat
menundukkan nafsu (Kama). Seorang sadhaka yang menggapai pelajaran ini
senantiasa dijaga dengan baik,
tidak ada musuh
yang mendekatinya, musuh yang menggunakan senjata nafsu
(seksual), kemarahan, ketamakan, khayalan,
penderitaan dan kekuatan.
(hal ini merupakan
instrumen untuk menyelesaikan kekuatan magis) dan para penyembah dapat
pergi kemana saja dengan menyenangkan dan juga ke dunia yang lain tanpa
menemukan halangan. Sesungguhnya yantra ini menolong seseorang untuk memadamkan
kekuatan nafsu (seksual) dan khayalan hidup” (Danielou, loc.cit).
Mengusir keinginan digunakan untuk
menghancurkan musuh abadi seperti juga halnya seseorang menaklukkan dirinya
sendiri. Digunakan juga sebagai alat ilmu hitam dijelaskan di dalam kitab
Yantracintamani (7.5).
4. Yantra-Smarahara (bentuk yang ke-2)
Yantra ini adalah yantra smarahara dalam
bentuknya yang lain (bentuk ke 2), dijelaskan di kitab Kali Tantra. “Ini juga
yantra 5 segi tiga, tetapi berada di dalam yang satu dan yang lain. Dua segi
tiga adalah lambang wanita (satu ujungnya menghadap ke atas) berair, tiga buah
segi tiga lainnya adalah lambang laki-laki (satu ujungnya menhadap ke bawah)
berapi. Setiap tindakan manifestasi-Nya adalah sebagai pengganti api dan
upacara persembahan, melalap dan dilalap, laki-laki dan wanita. Yantra ini
adalah benar-benar lampiran kulit berturut-turut yang menutupi roh individu
yang menjadikan mahluk hidup. Lingkaran dalam adalah energi yang bergelung
(kundalini) yang bila dibangunkan, akan naik melintasi 5 angkasa manifestasi ke
dalam maupun ke luar. Lingkaran luar menunjukkan kekuatan kreatif dari api yang
membangkitkan untuk bermanifestasi di tengah-tengah air di samudra purba.
Delapan kelopak daun bunga teratai adalah
prinsip pemeliharaan alam semesta, Juga adalah Visnu yang secara stabil
memanifest di bumi. Di luar itu bujur sangkar, bumi, dengan 4 buah pintu dan
dua buah svastika.
5. Yantra-Mukti (Yantra untuk mencapai
kebebasan)
Yantra ini dijelaskan dalam kitab
Kumarikalpatantra. Dibuat dari bujur sangkar, dan sebuah segi tiga yang tajam,
sebuah segi tiga yang berair, sebuah segi enam dan sebuah lingkaran, di
dalamnya terdapat satu yang lain. seluruhnya dikelilingi persegi delapan dan
sebuah bujur sangkar dengan 4 pintu. Di tengah-tengah adalah Bija Maya (Hrim
menunjukkan prinsip yang lain yang mana setiap makhluk hidup dapat menguasainya
untuk mencapai tujuannya yakni mencapai kebebasan.
6. Yantra Sri Cakra (Yantra untuk memperoleh
keberuntungan)
Sri Cakra atau Roda Keberuntungan, yang
melambangkan Devi Ibu Alam Semesta, salah satu yantra yang utama digunakan
untuk menghadirkan para devata.
7. Yantra Ganapati (Yantra untuk memperoleh
perlidungan)
Ganapati yantra merupakan titk-titik untuk identitas
dari makro dan mikro kosmos.
8. Yantra Visnu (Yantra untuk memperoleh
kemakmuran)
Visnu yantra diekspresikan dengan meresapi
segalanya dan sifat sattva, sifat menuju kearah atas.
Berdasarkan jenisnya yantra tersebut memiliki
fungsi masing-masing. Adapun fungsi dari masing-masing yantra tersebut, antara
lain:
1. Yantra-raja
berfungsi sebagai yantra yang tertinggi, memenuhi segala permohonan.
2. Yantra
Sarvatobhadra berfungsi untuk mengamankan lingkungan atau tempat tinggal.
3. Yantra
Smarahara berfungsi untuk melenyapkan keinginan, terutama ketika melakukan
meditasi.
4.
Yantra Mukti berfungsi sebagai penuntun bagi seseorang untuk mencapai moksa
(kelepasan).
5.
Yantra Sri Cakra berfungsi utuk memperoleh keberuntungan.
6. Yantra Ganapati
berfungsi untuk memperoleh
perlindungan dan keselamatan.
7.
Yantra Visnu berfungsi untuk memperoleh kemakmuran.
Langkah-langkah pendahuluan ditetapkan sebelum
melakukan pemujaan melalui yantra, atau pratima. Pertama, pemuja harus
memusatkan pikiran kepada devata, lalu di-nyasa-kan di dalam diri sendiri.
Selanjutnya devata itu di-nyasa-kan ke dalam yantra. Ketika devata sudah
bersthana di dalam yantra, prana devata itu telah merasuk ke dalamnya dengan
prana pratistha, mantra dan mudra. Devata saat itu telah bersthana di dalam
yantra, yang menjadikan yantra itu tidak lagi sekedar benda mati, tetapi
setelah upacara ritual, diyakini oleh sadhaka dan buat pertama kaliya Ia
disambut dan dipuja. Mantra itu sendiri adalah devata dan yantra adalah jasad
dari devata yang adalah (tidak lain) mantra (Avalon, 1997: 95).
3. Mantra
Tidak terhitung jumlahnya mantra. Semua sabda
Tuhan Yang Maha Esa di dalam kitab suci Veda adalah mantra. Walaupun demikin
banyak jumlahnya, mantra-mantra itu dapat dibedakan menjadi 4 jenis sesuai
dengan dampak atau pahala dari pengucapan mantra, antara lain ;
1. Siddha,
yang pasti (berhasil).
2.
Sadhya, (yang penuh pertolongan).
3.
Susiddha, (yang dapat menyelesaikan).
4. Ari,
musuh (Visvasara).
“Siddhamantra memberikan pahala langsung tidak
tertutupi dengan waktu tertentu. Sadhyamantra berpahala bila digunakan dengan
sarana tasbih dan persembahan (ritual). Susidhamantra, mantra tersebut
pahalanya segera diperoleh, dan Arimantra, menghancurkan siapa saja yang
mengucapkan mantra tersebut (Mantra Mahodadhi, 24, 23).
Mantra-mantra tersebut akan berhasil (siddhi)
sangat tergantung pada kualitas (kesucian) dari pemuja, dalam hal ini orang
yang megucapkan mantra tersebut (Danielou, 1964: 338-349). Membaca mantra
bermanfaat dalam proses pembinaan spiritual, dan sekaligus menerima berkah dari
para mahluk suci. Seperti halnya pembinaan spiritual lainnya, membaca mantra
mempunyai berbagai macam tingkatan tergantung dari tingkat kehidupan spiritual
masing- masing para pembacanya. Berikut dapat diuraikan “tata cara singkat
membaca Mantra Suci” sebagai berikut;
Kedua
tangan harus dibersihkan dengan air bersih; Mulut harus dikumur bersih dengan
air bersih; sebaiknya meminum segelas air putih bersih; Jika memungkinkan ambil
posisi lotus (meditasi); Ambil nafas dalam-dalam hingga keperut, lalu hembuskan
perlahan-lahan hingga habis. Ulangi 3x; Katupkan kedua ibujari dengan posisi
menempel dekat dengan hulu hati, atau bila mempergunakan ‘mala’ letakan mala
ditangan kiri, pegang dengan 4 jari (kecuali
ibu jari); Bayangkan
kehadiran mahluk suci
dihadapan kita memancarkan sinar hingga menyinari seluruh tubuh kita;
Ibu jari lalu menarik satu butir mala kedalam sambil mengucapkan mantra dalam
hati, dan seterusnya hingga beberapa putaran mala.
Dalam membaca mantra suci yang perlu diketahui
dan diperhatikan adalah:
a. Bagi para pemula, jangan membaca mantra
terlalu cepat.
b. Jaga
irama tempo yang seirama, sehingga dapat dihayati maknanya satu persatu.
c. Usahakan
jangan berhenti di tengah putaran mala, selesaikan dahulu putaran mala hingga
tuntas. Semoga berhasil dengan baik.
Berikut ini adalah beberapa mantra yang sering
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari oleh umat sedharma, antara lain;
·
Brahmabija atau Omkara (Pranava)
AUM
Terjemahan:
“saya
berbakti”, “Saya setuju”, “Saya menerima”, dalam bahasa yang mendasar. “sesungguhnya
suku kata ini
adalah persetujuan, sebagai wujud persetujuan apa yang telah
disetujui, ia ucapkan secara sederhana, AUM. Sungguh mantra ini adalah
realisasi, tentang sesuatu, persetujuan” (Chandogya Upanisad I.1.8).
Mantra
ini ditujukan untuk membimbing seseorang untuk mencapai realisasi tertinggi,
mencapai kebebasan dari keterikatan, untuk mencapai Realitas Tertinggi
(Brahman). Penggunaannya setiap mulai acara ritual, mulai dan mengakhiri
mantra.
·
Brahma Mantra
Aum Sat-cit-ekam Brahma
Terjemahan:
Tuhan
yang Maha Agung adalah Kesatuan, Keberadaan, dan kesadaran.
Mantra
ini digunakan untuk mencapai tujuan terpenuhinya catur purusa artha, kebenaran,
kemakmuran, kesenangan dan kebebasan.
Sebuah mantra akan
dapat memberikan manfaat maksimal (śākti, śiddhi, suci) baik kepada yang mengucapkannya maupun orang lain dan lingkungan dalam bentuk vibrasi
dipengaruhi oleh beberapa hal prinsip, yaitu:
1.
Śraddhā; keyakinan yang mendalam terhadap sebuah mantra
yang dipakai media untuk merealisasikan tujuan tersebut. Tanpa keyakinan, sama
halnya ketika sakit lalu pergi ke dokter dan minta diobati tetapi kita tidak
yakin terhadap resep dan anjuran dokter tersebut, tentu kita tidak akan sembuh.
2.
Bhakti; perasaan hormat, rindu, cinta kasih, yang
mendalam terhadap mantra tersebut, memperlakukan mantra itu seperti kita
merawat diri sendiri, Dia adalah
istri yang sesungguhnya yang dengan setia menyertai langkah kita.
Tanpa bhakti mantra apapun akan menjadi bumerang buat kita. Kasih dan hormat
pada mantra dengan keyakinan pada hasil yang dijanjikannya jauh lebih penting
daripada sekedar pengulang-ulangan secara mekanis dengan pikiran ngelantur
kemana-mana.
3.
Sadhāna, cepat atau lambatnya sebuah mantra memberikan
manfaat kepada kita adalah karena Sadhāna (disiplin
spiritual), Bagaimana mungkin mantra akan menjadi Śiddhi apalagi Śākti kalau
hanya diucapkan seminggu sekali atau bahkan sebulan sekali, sementara kita
setiap saat berhubungan dengan dunia maya yang senantiasa mengkontaminasi
badan, emosi, dan jiwa kita. Lukakanlah Sadhāna dengan
konsisten dan berkesinambungan. Tidak perlu tahu banyak mantra tetapi
kita tidak paham terhadap arti, makna yang tersirat didalamnya, cukup satu
mantra tetapi kita paham dan memiliki Sadhāna . saat ini,
banyak orang tahu banyak jenis mantra tersebut, hal seperti itu tak ubahnya
seperti tong kosong yang bunyinya nyaring tapi tidak memiliki kekuatan.
4.
Chānda; teknik pengucapan mantra sangat penting keberadaannya,
karena jika sebuah mantra salah memberikan penekanan dan pemenggalan sesuai
dengan Chānda atau guru
laghu dan guru bhasanya, tentunya akan memiliki arti dan maksud yang berbeda.
Mengenai irama itu sesuai dengan bakat suara masing-masing sadhaka.
5.
Kriya; kegiatan berupa pemujaan, baik luar maupun dalam
dengan pengetahuan tentang arti esoterik dan eksoteriknya,
ataupun pemujaan dalam semacam pengorbanan ke-akuan atau pembakaran segala
keinginan. (Sudarma, 1998: 6).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar