Pages - Menu

Sabtu, 20 Desember 2014

PENGARUH AJARAN SAMKHYA YOGA PADA KONSEP KETUHANAN AGAMA HINDU DI BALI



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Darsana adalah istilah yang umum untuk menunjuk suatu sistim filsafat India. Darsana berasal dari urat kata “Drs”  yang artinya memandang. Jadi Darsana adalah pandangan terhadap sesuatu. Terkenal ada 9 filsafat India yang disebut Nawa Darsana. Kesemua ini memiliki perbedaan pandangan terhadap sebuah kebenaran. Ada 6 yang mengakui ekistensi Weda disebut Sad Darsana dan ada 3 yang tidak mengakui eksistensi Weda yaitu Carwaka, Jaina dan Budha.
Sad Darsana merupakan bagian penulisan Hindu yang memerlukan kecerdasan yang tajam, penalaran serta perasaan, karena masalah pokok yang dibahasnya merupakan intisari pemahaman Weda secara menyeluruh di bidang filsafat. Sad Darsana juga disebut sebagai Filsafat Hindu.
Filsafat Hindu bukan hanya merupakan spekulasi atau dugaan belaka, namun ia memiliki nilai yang amat luhur, mulia, khas dan sistematis yang didasarkan oleh pengalaman spiritual mistis. Sad Darsana yang merupakan 6 sistem Filsafat Hindu, merupakan 6 sarana pengajaran yang benar atau 6 cara pembuktian kebenaran. Adapun bagian-bagian dari Sad Darsana adalah :
  • Nyaya, pendirinya adalah Gotama dan penekanan ajarannya ialah pada aspek logika.
  • Waisasika, pendirinya ialah Kanada dan penekanan ajarannya pada pengetahuan yang dapat menuntun seseorang untuk merealisasikan sang diri.
  • Samkhya, menurut tradisi pendirinya adalah Kapita. Penekanan ajarannya ialah tentang proses perkembangan dan terjadinya alam semesta.
  • Yoga, pendirinya adalah Patanjali dan penekanan ajarannya adalah pada pengendalian jasmani dan pikiran untuk mencapai Samadhi.
  • Mimamsa (Purwa-Mimamsa), pendirinya ialah Jaimini dengan penekanan ajarannya pada pelaksanaan ritual dan susila menurut konsep weda.
  • Wedanta (Uttara-Mimamsa), kata ini berarti akhir Weda. Wedanta merupakan puncak dari filsafat Hindu. Pendirinya ialah Sankara, Ramanuja, dan Madhwa. Penekanan ajarannya adalah pada hubungan Atma dengan Brahman dan tentang kelepasan.
Ke-6 bagian-bagian dari Sad Darsana di atas merupakan secara langsung berasal dari kitab-kitab Weda, kalau diibaratkan masing-masing bagian dari Sad Darsana itu merupakan jalan untuk menuju Tuhan. Dimana untuk mencapai Tuhan kita harus melalui salah satu dari keenam jalan tersebut. Memang jalan yang kita lalui berbeda-beda namun setiap jalan mampunyai tujuan yang sama yaitu menghilangkan ketidak tahuan dan pengaruh-pengaruhnya berupa penderitaan dan duka cita, serta pencapaian kebebasan, kesempurnaan, kekekalan dan kebahagiaan abadi.
Dari semua sistem filsafat India yang paling banyak memberikan pengaruh terhadap sistem Tattwa di Bali adalah ajaran Samkhya, Yoga. Sistem filsafat  Samkhya dan Yoga sering pula dijadikan satu istilah yaitu Samkhya Yoga. Kedua sistem ini sangat jelas memberi pengaruh pada sistem Tattwa di Bali. Yang mana hal ini dapat kita jumpai dalam Aji Samkhya dengan konsepsi dualistisnya yaitu Purusa dan Prakerti yang dianggap sebagai awal dari segala-galanya.
Hal ini mudah diterima oleh bangsa Indonesia umumnya dan orang-orang Bali khususnya karena hal itu telah ada yang merupakan suatu kepercayaan asli. Seperti alam bawah (bumi) dengan alam atas (langit), baik (ayu) dengan buruk (ala), laki dengan perempuan, dan kaja dengan kelod (http://www.mail-archive.com/hindu-dharma)  
  
1.2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut diatas, dalam penyusunan tulisan (paper) ini  dirumuskan dua pokok permasalahan yaitu :
  1. Bagaimanakah pokok – pokok  ajaran   Samkhya Yoga ?
  2. Bagaimanakah bentuk perkembangan ajaran Samkhya Yoga pada ajaran Agama Hindu di indonesia? 


1.3. Tujuan Penulisan
Dalam  penyusunan tulisan (paper)  ini memiliki beberapa tujuan yaitu :
  1. Untuk mengetahui pokok-pokok ajaran Samkhya Yoga yang telah memberi sumbangan besar pada perkembangan agama hindu di indoensia.
  2. Untuk mengetahui bentuk perkembangan ajaran Samkhya Yoga pada ajaran Agama Hindu di Indonesia 
1.4. Metode Penulisan
Dalam  penyusunan tulisan (paper) ini mempergunakan metode Studi Kepustakaan yaitu suatu cara untuk memperoleh data dengan jalan mengadakan penelitian kepustakaan, seperti melalui membaca, mengutip materi, mencari dari beberapa website (internet) terkait dengan pengaruh filsafat Hindu (Nawa Darsana) terhadap perkembangan ajaran Agama Hindu di Indonesia.











BAB II
PEMBAHASAN


2.1.  Pokok – Pokok  Ajaran   Samkhya Yoga 
Kapila  adalah Filusuf  yang telah  meletakkan dasar-dasar filsafat Samkhya. Sistem filsafat Samkhya mempertahankan dualisme ontologis Prakrti dan jiwa-jiwa individual (Purusa). Sistem ini percaya dalam evolusi kosmos termasuk materi, kehidupan, dan pikiran di luar Prakrti yang eternal  untuk memungkinkan tercapainya tujuan  akhir jiwa-jiwa individu yang tak terbatas  jumlahnya. Dualisme Prakrti dan Purusa merupakan doktrin fundamental  sistem ini.
Samkhya  mempertahankan suatu pemisahan yang tegas antara Purusa dan Prakrti dan selanjutnya  mempertahankan pluralisme Purusa. Sistem ini tidak  membahas  keberadaan Tuhan. Dengan demikian Samkhya adalah sebuah spiritualisme   pluralistik, sebuah  realisme atheistik dan dualisme.
Purusa adalah  kesadaran murni, Purusa adalah roh, spirit, subyek yang mengetahui. Ia bukan tubuh, bukan pula indria-indria; ia bukan otak bukan pula pikiran (manas) ; bukan  pula ego (ahamkara), bukan pula intelek (budi), Purusa bukan  sebuah substan yang memiki sifat kesadaran. Kesadaran merupakan  esensinya. Purusa adalah pengetahuan  tertinggi merupakan  fondasi semua pengetahuan, ia saksi diam yang  terbebaskan, ia di luar jangkauan waktu dan ruangan. Ia disebut  nistragunya, udasina, akarta kevala,  madhyasta, saksi, drasta, sadaprakashwarupa, dan jnata.
Samkhya memberikan lima bukti bagi keberadaan  Purusa, sebagai berikut :
  1. Semua objek-objek majemuk eksis demi Purusa. Tubuh indria-indria pikiran (manas) dan intelek (budhi) semuanya sarana-sarana untuk merealisasikan tujuan Purusa.
  2. Semua objek dibentuk atas ketiga guna dan oleh karena  secara logika  mempreposisi keberadaan Purusa yang merupakan  saksi dari guna-guna ini dan ia sendiri berada di luar mereka.
  3. Harus ada suatu persatuan sintetik  transedental dari kesadaran murni  untuk mengkoordinasikan  semua pengalaman.
  4. Prakerti yang tak  berkesadaran tidak dapat mengalami produk-produknya.  Jadi harus ada sebuah prinsip-prinsip kesadaran untuk produk baru dari duniawi yaitu Prakerti (yang dinikmati).
  5. Ada orang-orang yang mencoba meraih kebebasan dari penderitaan dunia. Keinginan untuk meraih kebebasan dan emansipasi jiwa mengimplementasikan eksistensi dari seorang yang dapat mencoba dan meraih pembebasan.
Menurut Samkhya roh itu banyak jumlahnya yang masing-masing berhubungan dengan  satu badan. Adanya banyak roh itu berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan, Samkhya memberikan tiga argumen berikut ini untuk membuktikan pluralitas  Purusa, sebagai berikut :
  1. Roh-roh memiliki organ-organ sensori dan motorik, dan mengalami kelahiran serta kematian yang terpisah.
  2. Jika roh itu satu, belenggu pada seseorang harus berarti belenggu dari semua orang dan pembebasan pada seseorang  harus berarti pembebasan semua orang.
  3. Walaupun  roh-roh yang  telah mendapatkan  emansipasi  semuanya  serupa dan berbeda hanya dalam jumlah karena  semuanya berada di luar ketiga guna, namun roh-roh yang terbelenggu  secara relatif juga berbeda  dalam sifat-sifat, karena  dalam beberapa  hal satwam mendominasi, sementara dalam yang lainnya rajas doniman, dan tetap pada yang lainnya  lagi tamas dominan, oleh karena itu mereka berbeda.
Prakrti  artinya “yang mula-mula”, yang mendahului apa yang dibuat, ia berasal  dari kata ‘pra’ (sebelum) dan ‘kr’ (membuat), yang mirip dengan Maya dari Vedanta. Ia merupakan satu sumber  dari alam semesta. Ia dibuat pradhana (pokok), karena  semua akibat ditemukan padanya dan ia merupakan sumber dari alam semesta dan semua benda.
Pradhana atau Prakrti adalah kekal meresapi segalanya, tak dapat digerakkan dan  cuma satu adanya, ia tak  memiliki sebab, tetapi merupakan penyebab dari semua akibat. Prakrti hanya bergantung pada aktivitas  dari unsur pokok guna-Nya sendiri.  
Prakrti  merupakan ketiadaan kecerdasan, ibarat seutas tali dari tiga untaian yang terbentuk  dari tiga guna. Prakrti hanyalah benda mati  yang dilengkapi dengan kemampuan tertentu yang disebabkan  oleh guna. Prakrti merupakan  dasar dari  semua keberadaan obyektif, semua objek adalah untuk menikmati jiwa atau roh. Prakrti hanya menciptakan  bila ia bergabung dengan  Purusa seperti sebuah kristal  dengan sekuntum bunga. Karya ini dilakukan guna pembebasan setiap roh. Seperti fungsi susu untuk  menghidupkan anak sapi, demikianlah fungsi Prakrti untuk membebaskan sang roh.
Sedangkan ajaran Yoga menekankan pada mengendalikan badan dan pikiran untuk mencapai tujuan terakhir yang disebut samadhi.  Ajaran Yoga yang terurai dalam Kitab Patanjali Yoga Sutra bukan hanya bersifat teori namun menekankan pada nilai konseptual. Yoga dipandang sebagai suatu jalan untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi yaitu kebebasan Atma (roh), jiwa manusia tidak diikuti oleh aktifitas keduniawian, dan untu mencapai sat, cit, ananda ( kebenaran, kesadaran dan kebahagiaan) yang kekal abadi. Bentuk-bentuk yoga ada beberapa macam, yang dianggap paling penting adalah Karma Yoga, Bhakti Yoga, Raja Yoga dan Jnana Yoga. Sedang berbagai sitem Yoga yang diajarkan disesuaikan selaras dengan berbagai sifat-sifat dan tabiat manusia (Bhasma, 1993 : 12)
Samkhya ajarannya bersifat Nir Isvara Samkhya, yaitu tidak membicarakan masalah Tuhan. Sedangkan filsafat Yoga menerima secara mutlak ajaran Samkhya yang banyaknya 25 asas unsur dasar (Tattwas), yaitu: Purusa, Prakrti, Mahat, Ahamkara, Manas, Panca Budhindrya, Panca Karmendrya, Panca Tan Matra, dana Panca Maha Bhuta. Sesudah diambil oleh Yoga menjadi 26 asas dasar (Tattwas), yakni dengan tambahan Isvara (Sa Isvara Samkhya), itulah sebabnya disebut dengan Samkhya Yoga. Maka jelaslah dalam filsafat Samkhya Yoga adalah timbul konsep 2 + 1, yaitu: Purusa-Prakrti + Isvara. Maksudnya adalah Isvara atau Tuhan itulah sebagai sumber yang menciptakan Purusa dan Prakrti.
 Konsepsi ini akan lebih jelas pada sistem filsafat Vedanta. Vedanta adalah suatu sistem yang membicarakan bagian Veda yang tergolong Jñana Kanda yakni Upanisad. Kitab-kitab Upanisad sendiri juga disebut Vedanta yang berisi maksud Veda yang sebenarnya. Yang jelas bahwa kitab-kitab Upanisad, mengandung suatu ajaran yang monistis dan absolutis, maksudnya adalah suatu ajaran yang mengajarkan bahwa segala sesuatu yang bermacam-macam ini berasal dari satu asas, satu realitas yang tertinggi. Realitas ini tidak kelihatan, bebas dari segala hubungan, tidak terbagi-bagi, tidak dapat ditembus oleh akal manusia, tetapi yang menyelami segala sesuatu. Realitas inilah yang disebut Brahman.

2.2. Bentuk Perkembangan Ajaran Samkhya Yoga dan Vedanta Pada Ajaran Agama Hindu Di Indonesia
Sistem Tattwa di Bali mendapat pengaruh yang besar dari sistem filsafat Samkhya Yoga dan Vedanta. Demikian juga halnya agama Hindu di Bali lebih banyak dipengaruhi oleh Śiva Siddhānta. Dalam ajaran Śiva  Siddhānta memandang para deva, seperti : Brahma, Visnu, Isvara, Mahadeva, dan sebagainya dihormati dan dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya, karena deva-deva itu tiada lain dari manifestasi Śiva (Tuhan), sesuai dengan fungsinya yang berbeda. Sebutan Śiva Siddhānta kalau ditinjau dari arti kata Siddhānta berarti kesimpulan, maka ajaran Śiva Siddhānta merupakan kesimpulan dari ajaran Śivaisme.
Kitab Vedanya dikenal dengan nama Veda Sirah, adalah petikan-petikan dari Veda yang dipetik adalah pokok-pokoknya (sirah = kepala). Maka Veda Sirah berarti pokok-pokok Veda atau inti sari Veda. Vrhaspati Tattwa adalah salah satu sistem filsafat peninggalan Śiva Siddhānta di Bali yang menguraikan konsepsi Ketuhanan. Yang mana pokok ajarannya berkiblat kepada Rva Bhineda Tattwa dan Tri Purusa Tattwa. Yang dimaksud dengan Rva Bhineda Tattwa adalah unsur utama yang menjadikan adanya segala sesuatu, yakni Cetana yang merupakan unsur kesadaran dan Acetana yang merupakan unsur ketidaksadaran. Sedangkan Tri Purusa Tattwa adalah pertemuan kedua unsur Rva Bhineda, yang menciptakan adanya Paramaśiva, Sadaśiva dan Śivātma. Paramaśiva, Sadaśiva dan  Śivātma pada hakekatnya adalah Brahman Yang Esa. Maka untuk membayangkan Tuhan yang serba abstrak dan sebagai metode dalam rangka menumbuhkan keyakinan  adanya Tuhan, maka dibuatlah sistem-sistem pengajaran sesuai dengan pandangan manusia.
          Paramaśiva adalah  Cetana / Purusa atau kejiwaan / kesadaran yang tertinggi (Tuhan), suci, murni, sama sekali belum kena pengaruh maya (Acetana / Pradhana / Prakrti), tenang, tentram, tanpa aktivitas, kekal abadi, tiada berawal tiada berakhir, ada di mana-mana, maha Tahu, tidak pernah lupa, maka dari itu diberi gelar Nirguna Brahman (Para Brahman). Dalam Vrhaspati Tattwa 7-10, disebutkan:
“Paramaśiva Tattwa ngaranya:

Aprameyam anirdesyam anaupamyam anamayam suksmam
sarvagatam sarvatam nityam dhruvam avyayam
isvaram”. (Vrhaspati Tattwa.7)

“Aprameyam anantatvad anirdesyam alaksanam
Anaupamyam anadrsyam vimalatvad anamayam”. (Vrhaspati Tattwa.8)

“Sukamanca anupalabhyatvad vyapakatvacca sarvagam
nityakarena sunyatvam acalatvacca tad dhruvam”. (Vrhaspati Tattwa.9)

“Avyayam paripurnatvad saumyabhavam tathaiva ca
Siwa Tattwam idam uktam sarvatah parisamsthitam” . (Vrhaspati Tattwa.10)

Yang disebut Paramaśiva Tattwa adalah: Isvara yang tak dapat diukur, tak dapat diberi jenis, tak dapat diumpamakan, tak dapat dikotori, maha halus, ada di mana-mana, kekal-abadi, senantiasa langgeng, tak pernah berkurang. Tak dapat diukur, karena Dia tak terbatas, tak dapat diberi jenis, karena dia tak punya sifat, tak dapat diumpamakan, karena tiada sesuatu seperti Dia, tak dapat dikotori, karena Dia tak bernoda. Maha gaib, karena Dia tak dapat diamati, berada dimana-mana, karena Dia menembus segalanya, kekal-abadi, karena Dia suci murni, dan selalu langgeng karena Dia tak bergerak. Tak pernah berkurang, karena Dia maha sempurna, begitu pula keadaannya tengan, inilah Śiva Tattwa (Paramaśiva Tattwa) yang menempati segala-galanya. (Radeg Astra, 1968: 45-46).

          Dengan memperhatikan kutipan tersebut, maka telah terbayang dalam pikiran kita bahwa Tuhan Paramaśiva adalah Tuhan dalam keadaan  suci murni, maka tidak ada sesuatu  yang dapat mempengaruhi Beliau, sehingga sukarlah untuk memberi pembatasan dan memang Beliau tak terbatas, telah ada tanpa ada yang mengadakan, tiada berawal dan tiada berakhir (Anadi-Ananta), tiada terpengaruh oleh waktu, tempat dan keadaan. Itulah sebabnya kita sebagai manusia yang seba terbatas yang hidup atas dasar materi, maka sulitlah untuk memberikan pembatasan terhadap Tuhan yang serba tak terbatas.
          Tuhan Sadaśiva adalah Tuhan yang sudah dipengaruhi oleh maya (Acetana), maka Beliau mulai mempunyai sifat, fungsi dan aktivitas, dalam keadaan ini beliau diberi gelar Sadaśiva yang Saguna Brahman. Dalam Tattwa di Bali Tuhan Sadaśivalah yang paling banyak mendapat perhatian yang disebut dengan Hyang Widhi dengan bermacam-macam gelar dan manifestasi. Demikian juga dibuatkan nyasa tertentu sebagai  simbol Tuhan.  
          Śivātma adalah unsur kejiwaan yang lebih banyak dipengaruhi oleh maya, jika dibandingkan dengan Sadaśiva, di mana kesadaranNya telah mulai kena pengaruh lupa (Avidya). Oleh karena itu unsur kesadaran aslinya yang murni dan lagi telah terpecah-pecah, serta menjadi segala makhluk, khususnya manusia, maka akhirnya di sebut Atma. Jadi Atma adalah merupakan bagian dari Śivātma yang fungsinya memberikan energi atau tenaga pada jasmani pada setiap makhluk, sehingga sering disebut Jiwatma.
          Dalam konsepsi Sadaśiva, dimana Beliau telah kena pengaruh maya, sehingga Beliau mulai mempunyai sifat, fungsi, dan aktivitas. Namun pengaruh maya belumlah begitu besar, hanya berupa 'guna' atau hukum kemahakuasaanNya, yang sering disebut dengan Sakti / Prakrti, sehingga kesadaran aslinya yang suci murni masih jauh lebih besar. Oleh karena itulah beliau dapat mengatur Utpeti, Sthiti, dan Pralina dari alam semesta dengan segala isinya atau Bhuvana Agung dan Bhuvana Alit.
          Adapun sifat kemahakuasaan Tuhan Sadaśiva, meliputi : Guna, Sakti, dan Swabhawa. Guna meliputi tiga sifat, yang mulia, yakni:
  1. Dura Darsana, yaitu: berpenglihatan serba jauh dan tembus pandang.
  2. Dura Sarvajna, yaitu: berpengetahuan serba sempurna.
  3. Dura Sravana, yaitu: berpendengaran serba jauh.
Yang disebut Sakti Tuhan Sadaśiva ,ada empat macam (Cadu Sakti), yaitu:
1.  Vibhu Sakti, yaitu: Beliau berada pada segala  yang ada dan amat gaib.
2.  Prabhu Sakti, yaitu: Beliau Maha Kuasa, menguasai segala-galanya, serta tidak ada yang menyamai kekuasaanNya.
3.   Jñana Sakti, yaitu: Beliau Maha Tahu, sumber segala kebijaksnaan, sehingga dapat mengetahui segala-galanya.
4.   Kriya Sakti, yaitu: Beliau Maha Karya, beliau dapat mengerjakan segalanya dengan sempurna.
          Sedangkan yang dimaksud dengan Asta Aisvarya, adalah delapan sifat kemahakuasaan Tuhan  Sadaśiva, yaitu:
1.   Anima, yakni: bersifat  sangat kecil sekecil-kecilnya.
2.   Laghima, yakni: bersifat Maha Ringan.
3.   Mahima, yakni: bersifat Maha Besar.
4.   Prapti, yakni: bersifat dapat mencapai segala-galanya.
5.   Prakamya, yakni: Bersifat berhasil dalam segala yang dikehendaki.
6.   Isitva,yakni: bersifat merajai segala-galanya.
7.   Vasitva, yakni: bersifat Maha Kuasa.
8.   Yatrakamavasayitva, yakni: bersifat dapat memenuhi segala keinginan dan Maha Kuasa
          Demikian hakekat kemahakuasaan Tuhan Sadaśiva yang meliputi Guna, Sakti dan Swabhawa-Nya. Dengan sifat kemahakuasaannya itulah Tuhan Sadaśiva melakukan krida-Nya dalam mengatur keharmonisan alam dengan segala isinya, menurut ketentuan waktu utpeti, sthiti, dan pralina. Secara simbolik Beliau dianggap bersinggasana di tengah-tengan bunga teratai yang disebut dengan Padmasana. Kata Padmasana berasal dari kata Padma yang artinya bunga, dan asana yang berarti sikap atua tempat. Maka Padmasana berarti sikap atau tempat duduk yang berwujud bunga teratai. Bunga teratai adalah bunga yang dianggap suci dan sering dipakai persembahan dalam upacara keagamaan. Hal ini mungkin didasarkan atas suatu logika, bahwa kendatipun bunga teratai itu tumbuh dalam lumpur, namun bunganya tidak pernah dilekati oleh lumpur. Maka itu bunga teratai disebut juga dengan pangkaja yang berarti tumbuh dalam lumpur. Demikian pula sikap bunga teratai ujungnya selalu muncul ke atas air dan kelopak bunganya senantiasa menunjukkan arah kiblatnya mata angin.
          Padmasana dalam masyarakat Bali diwujudkan dalam bentuk bangunan suci, yang puncaknya terbuka seperti kursi dan berisi perlengkapan Bedawangnala, Naga Anantabhoga, sebagai dasar, penumpu dan pengikat bangunan suci itu. Bangunan Padmasana secara khusus dipergunakan sebagai media untuk melakukan pemujaan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud Sadaśiva. Disamping itu pula juga lukisan Padma yang berdaun delapan, yang disebut dengan Padma Asta Dala. Lukisa itu dianggap simbol Bhuvana Agung dan Bhuvana Alit dan dipakai perlengkapan upacara serta dipakai sarana untuk  mendapat  kekuatan.
Tuhan Sadaśiva dalam menggerakkan hukum kemahakuasaanNya beliau diwujudkan dalam bentuk 'Mantratma' yaitu jiwa dari doa mantra, yang dalam bentuk aksara diwujudkan dengan OM.
Dalam Lontar Vrhaspati Tattwa. 8, disebutkan:
“Sawyaparah, bhatara Sadaśiva sira, hana padmasana pinaka palungguhanira, aparan ikang padmasana ngaranya, saktinira, sakti ngaran: Vibhu Sakti, Prabhu Sakti, Kriya Sakti, Jñana Sakti, nahan yang Cadhu Sakti………………………………… nahan yang Cadhu Sakti ngaranya Padmasana, ri madyanngkana ta palungguhanira bhatara, kalanirab pasarira Mantratma ta sira, mantra pinaka sarira nira, Isana murdhaya, Tatpurusa waktraya, Aghora hredaya, Bhamadeva guhyaya, Sadyojata murtiya, AUM pinaka sarira bhatara”.

Tuhan Sadaśiva dalam persatuan dengan hukum kemahakuasaanNya. Padmasana sebagai singgasana Beliau. Apakah yang dimaksud dengan Padmasana? Yaitu Sakti Beliau, yakni: Vibhu Sakti, Prabhu Sakti, Jñana Sakti, Kriya Sakti, itulah yang disebut dengan Cadhu Sakti…………………………………Cadhu Sakti itulah yang disimbolkan berupa Padma, di tengah-tengahnya itulah singgasana Tuhan Sadasiwa, pada waktu Beliau berbadankan Mantratma, mantra adalah badan Beliau, Isana sebagai kepala, Tatpurusa sebagai muka, Aghora sebagai hati, Bhamadeva sebagai anggota rahasia dan Sadyojata sebagai bentukNya dan AUM adalah sebagai wujud Beliau.

Berdasarkan kutipan di atas bahwa Tuhan Sadaśiva dalam wujud aksara, dilambangkan dengan AUM atau OM dan dalam hubungannya dengan Mantratma, ada lima bagiannya, yaitu: Isana, Tatpurusa, Aghora, Bhamadeva, Sadyojata. Kelimanya ini disebut Panca Brahma atau Panca Devata. Sedangkan menurut kepercayaan umat Hindu di Bali, masing-masing deva itu mempunyai nama lain, yakni: Isvara (Sadyojata), Brahma (Bhamadeva), Mahadewa (Tatpurusa), Visnu (Aghora), Śiva (Isana).
Demikian Tuhan Sadaśiva dalam menggerakkan dan mengatur keharmonisan alam dengan segala isinya. Menurut ketentuan waktu pada Utpeti, Sthiti dan Pralina. Dalam hal ini Beliau diberi gelar Sang Hyang Tri Murti, Brahma sebagai Pencipta, Visnu sebagai Pemelihara, dan Śiva sebagai Pengembali yang ada. Sadaśiva dalam wujud Tri Murti disebut berbadankan Omkara. Omkara itu terdiri tiga (3) huruf, yaitu A-kara adalah simbol Tuhan Sadaśiva dalam fungsinya sebagai pencipta / Brahma, huruf U-kara adalah simbolis dari Tuhan Sadaśiva dalam fungsinya sebagai pemelihara / Visnu. Dan huruf MA adalah simbolis Tuhan Sadaśiva dalam fungsinya sebagai pelebur / Śiva. Huruf A-kara, U-kara,dan MA-kara disebut Tri Aksara.
Panca Brahma Vijaksara sering disertai dengan Panca Devata-Nya, yang dihubungkan dengan kiblat mata angin, sehingga masing-masing dianggap menguasai mata angin, yakni:
1. SA (SAM) - Sadyojata (Isvara) di Timur.
2. BA (BAM) -Bhamadeva (Brahma) di Selatan.
3. TA (TAM) - Tatpurusa (Mahadeva) di Barat.
4. A (AM) -Aghora (Visnu) di Utara.
5. I (IM) - Isana (Śiva) di Tengah.
6. NA (NAM) - Mahesvara di Tenggara.
7. MA (MAM) -Rudra di Barat Daya.
8. SI (SIM) - Sankara di Barat Laut.
9. VA (WAM) - Sambhu di Timur Laut
10. YA (YAM) - Śiva di Tengah.
Kalimat NA,MA,SI,VA,YA (Nama Śivaya), berarti sujud kepada Śiva.  Dengan demikian maka dalam doa mantra, sering kita dapati SA, BA, TA, A, I, NA, MA, SI, VA, YA, yang disebut dengan Dasaksara. Jika ditambah dengan OM, maka dinamakan dengan "EKA DASAKSARA", yang dianggap Bija Mantra.
Jadi Dasaksara inilah yang merupakan perwujudan Sadaśiva, sebagai inti kekuatan Veda Mantra. Demikian juga sepuluh Deva yang menguasai masing-masing kiblat dan merupakan personifikasi dari Sakti dan Swabhawa-Nya Tuhan Sadaśiva, pada waktu Beliau mengatur keharmonisan alam semesta dengan segala isinya.
Namun perlu dipahami bahwa Tuhan itu sebenarnya adalah Esa. Dibedakan sedemikian rupa, seperti Paramaśiva, Sadaśiva, dan Śivātma, adalah berdasarkan atas sifat, status, dan fungsi, aktivitas-Nya masing-masing, serta ada atau tidaknya pengaruh Maya / Prakerti yang menjadi sumber materi dan psykhis dari alam semesta dengan segala isinya. Atau dapat dikatakan bahwa Paramaśiva itu adalah Tuhan Yang Suci Murni, Nirguna dan Niskala Brahma. Sadaśiva adalah Tuhan yang telah bersatu dengan unsur acetana / prakerti / Swayaparah, yang Maha Kuasa, Maha Karya, sehingga disebut Saguna Brahma. Sedangkan Śivātma adalah Tuhan yang memberikan tenaga hidup terhadap semua isi alam, khususnya manusia, beserta makhluk lain, sehingga disebut Jivatma.
Jadi kesimpulan dari konsepsi Ketuhanan yang telah diuraiakan di atas, maka Samkhya mengajarkan hanya dua unsur, yaitu Purusa merupakan unsur kesadaran, dan Pradhana / Prakerti merupakan unsur ketidaksadaran, yang ada dengan sendirinya. Maka ajaran Samkhya bersifat Dualistis Nontheistis. Demikian juga dalam ajaran Vrhaspati Tattwa belumlah jelas menyebutkan dari mana asal Acetana dan Cetana itu. Tetapi dalam sistem filsafat Yoga dijelaskan bahwa Purusa (Cetana) dan Prakerti (Acetana) itu bersumber pada Tuhan, karena dalam sistem Yoga mengenal sistem Dualistis Theistis.
Jadi ajaran ini sudah jelas mengkui bahwa Tuhan/Brahman, sebagai asal segala-galanya dan merupakan asas tertinggi. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan dalam Bhagavadgita VII.6 :
"Etad-yonini bhutani sarvanity upadharaya aham krtsnasya jagatah prabhavah pralayas tatha".

Semua makhluk yang diciptakan bersumber dari kedua alam tersebut. Ketahuilah dengan pasti bahwa Aku adalah sumber perwujudan dan peleburan segala sesuatu di dunia ini, baik yang bersifat material maupun yang bersifat rohani.

Berdasarkan uraian di atas tentang Konsepsi Ketuhanan menurut ajaran Tattwa di Bali, dapat diperinci sebagai berikut:
1.      Konsepsi 2 + 1, yaitu Purusa dan Pradhana adalah bersumber pada Brahman, yang disimbulkan dengan akasara ANG, AH dan OM sebagai sumbernya.
2.      Konsepsi 3 + 1, yaitu Brahma , Visnu, Śiva adalah bersumber pada Brahman, dengan simbol aksara: ANG,  UNG,  MANG dan OM
3.      Konsepsi 5 + 1, yaitu: Sadyojata, Bhamadeva, Tatpurusa, Aghora, dan Isana bersumber pada Brahman, dengan aksara suci: SA, BA, TA, A, I, dan OM
4.      Konsepsi 10 + 1, yaitu: Ekadasaksara yang bersumber pada Brahman, dengan aksara suci: SA, BA, TA, A, I, NA, MA, SI, VA, YA, dan OM


BAB III
PENUTUP



3.1. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan pada bab terdahulu, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan yaitu :
  1. Pokok-pokok ajaran filsafat Samkhya yaitu mempertahankan dualisme ontologis Prakrti dan jiwa-jiwa individual (Purusa). Filsafat Yoga menekankan pada mengendalikan badan dan pikiran untuk mencapai tujuan terakhir yang disebut samadhi. Dan Filsafat Vedanta mengajarkan mengajarkan bahwa segala sesuatu yang bermacam-macam ini berasal dari satu asas, satu realitas yang tertinggi. Realitas ini tidak kelihatan, bebas dari segala hubungan, tidak terbagi-bagi, tidak dapat ditembus oleh akal manusia, tetapi yang menyelami segala sesuatu. Realitas inilah yang disebut Brahman.
  2. Pokok-pokok ajaran Filsafat Samkhya Yoga dan Vedanta telah memberikan kontribusi terhadap perkembangan ajaran Agama Hindu di Indonesia, hal ini terbukti dalam ajaran Tattwa-Tattwa yang ada di indonesia (Bali). Sistem Tattwa di Bali mendapat pengaruh yang besar dari sistem filsafat Samkhya Yoga dan Vedanta. Vrhaspati Tattwa adalah salah satu sistem filsafat peninggalan Śiva Siddhānta di Bali yang menguraikan konsepsi Ketuhanan. Yang mana pokok ajarannya berkiblat kepada Rva Bhineda Tattwa (dualitas) 

1 komentar: