BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Darsana adalah istilah yang umum untuk
menunjuk suatu sistim filsafat India. Darsana berasal dari urat kata “Drs” yang artinya
memandang. Jadi Darsana adalah pandangan terhadap sesuatu.
Terkenal ada 9 filsafat India yang disebut Nawa Darsana. Kesemua ini memiliki
perbedaan pandangan terhadap sebuah kebenaran. Ada 6 yang mengakui ekistensi Weda
disebut Sad Darsana dan ada 3 yang tidak mengakui eksistensi Weda yaitu Carwaka, Jaina dan Budha.
Sad Darsana merupakan bagian penulisan
Hindu yang memerlukan kecerdasan yang tajam, penalaran serta perasaan, karena
masalah pokok yang dibahasnya merupakan intisari pemahaman Weda secara
menyeluruh di bidang filsafat. Sad Darsana juga disebut
sebagai Filsafat Hindu.
Filsafat Hindu
bukan hanya merupakan spekulasi atau dugaan belaka, namun ia
memiliki nilai yang amat luhur, mulia, khas dan sistematis yang
didasarkan oleh pengalaman spiritual mistis. Sad Darsana yang merupakan 6
sistem Filsafat Hindu, merupakan 6 sarana pengajaran yang benar atau 6 cara
pembuktian kebenaran. Adapun bagian-bagian dari Sad Darsana adalah :
- Nyaya, pendirinya adalah Gotama dan penekanan ajarannya ialah pada aspek logika.
- Waisasika, pendirinya ialah Kanada dan penekanan ajarannya pada pengetahuan yang dapat menuntun seseorang untuk merealisasikan sang diri.
- Samkhya, menurut tradisi pendirinya adalah Kapita. Penekanan ajarannya ialah tentang proses perkembangan dan terjadinya alam semesta.
- Yoga, pendirinya adalah Patanjali dan penekanan ajarannya adalah pada pengendalian jasmani dan pikiran untuk mencapai Samadhi.
- Mimamsa (Purwa-Mimamsa), pendirinya ialah Jaimini dengan penekanan ajarannya pada pelaksanaan ritual dan susila menurut konsep weda.
- Wedanta (Uttara-Mimamsa), kata ini berarti akhir Weda. Wedanta merupakan puncak dari filsafat Hindu. Pendirinya ialah Sankara, Ramanuja, dan Madhwa. Penekanan ajarannya adalah pada hubungan Atma dengan Brahman dan tentang kelepasan.
Ke-6 bagian-bagian dari Sad Darsana di
atas merupakan secara langsung berasal dari kitab-kitab Weda, kalau diibaratkan
masing-masing bagian dari Sad Darsana itu merupakan jalan untuk menuju Tuhan.
Dimana untuk mencapai Tuhan kita harus melalui salah satu dari keenam jalan
tersebut. Memang jalan yang kita lalui berbeda-beda namun setiap jalan
mampunyai tujuan yang sama yaitu menghilangkan ketidak tahuan dan
pengaruh-pengaruhnya berupa penderitaan dan duka cita, serta pencapaian
kebebasan, kesempurnaan, kekekalan dan kebahagiaan abadi.
Dari semua sistem filsafat India yang
paling banyak memberikan pengaruh terhadap sistem Tattwa di Bali
adalah ajaran Samkhya, Yoga. Sistem filsafat
Samkhya dan Yoga sering pula dijadikan satu istilah yaitu Samkhya Yoga. Kedua sistem ini sangat jelas memberi pengaruh pada sistem Tattwa di
Bali. Yang mana hal ini dapat kita jumpai dalam Aji Samkhya dengan konsepsi
dualistisnya yaitu Purusa dan Prakerti yang dianggap sebagai awal dari
segala-galanya.
Hal ini mudah diterima oleh bangsa
Indonesia umumnya dan orang-orang Bali khususnya karena hal itu telah ada yang
merupakan suatu kepercayaan asli. Seperti alam bawah (bumi) dengan alam atas
(langit), baik (ayu) dengan buruk (ala), laki dengan perempuan, dan kaja dengan kelod (http://www.mail-archive.com/hindu-dharma)
1.2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut diatas, dalam penyusunan tulisan (paper)
ini dirumuskan dua pokok permasalahan
yaitu :
- Bagaimanakah pokok – pokok ajaran Samkhya Yoga ?
- Bagaimanakah bentuk perkembangan ajaran Samkhya Yoga pada ajaran Agama Hindu di indonesia?
1.3. Tujuan Penulisan
Dalam penyusunan tulisan (paper)
ini memiliki beberapa tujuan yaitu :
- Untuk mengetahui pokok-pokok ajaran Samkhya Yoga yang telah memberi sumbangan besar pada perkembangan agama hindu di indoensia.
- Untuk mengetahui bentuk perkembangan ajaran Samkhya Yoga pada ajaran Agama Hindu di Indonesia
1.4. Metode Penulisan
Dalam penyusunan tulisan (paper) ini mempergunakan
metode Studi Kepustakaan yaitu suatu cara untuk memperoleh data dengan jalan
mengadakan penelitian kepustakaan, seperti melalui membaca, mengutip materi,
mencari dari beberapa website (internet) terkait dengan pengaruh filsafat Hindu
(Nawa Darsana) terhadap perkembangan ajaran Agama Hindu di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pokok
– Pokok Ajaran Samkhya Yoga
Kapila adalah Filusuf yang
telah meletakkan dasar-dasar filsafat Samkhya. Sistem filsafat Samkhya mempertahankan dualisme
ontologis Prakrti dan jiwa-jiwa individual (Purusa).
Sistem ini percaya dalam evolusi kosmos termasuk materi, kehidupan, dan pikiran di luar Prakrti yang eternal untuk
memungkinkan tercapainya tujuan akhir jiwa-jiwa individu yang tak
terbatas jumlahnya. Dualisme Prakrti
dan Purusa merupakan doktrin fundamental
sistem ini.
Samkhya mempertahankan suatu pemisahan yang tegas
antara Purusa dan Prakrti dan selanjutnya
mempertahankan pluralisme Purusa.
Sistem ini tidak membahas keberadaan Tuhan. Dengan demikian Samkhya adalah sebuah
spiritualisme pluralistik, sebuah realisme atheistik dan
dualisme.
Purusa adalah kesadaran murni, Purusa
adalah roh, spirit, subyek yang mengetahui. Ia bukan tubuh, bukan pula
indria-indria; ia bukan otak bukan pula pikiran (manas) ; bukan pula ego (ahamkara),
bukan pula intelek (budi), Purusa bukan sebuah substan yang
memiki sifat kesadaran. Kesadaran merupakan esensinya. Purusa adalah pengetahuan
tertinggi merupakan fondasi semua pengetahuan, ia saksi diam yang
terbebaskan, ia di luar jangkauan waktu dan ruangan. Ia disebut nistragunya, udasina, akarta kevala,
madhyasta, saksi, drasta, sadaprakashwarupa, dan jnata.
Samkhya memberikan lima bukti bagi keberadaan Purusa,
sebagai berikut :
- Semua objek-objek majemuk eksis demi Purusa. Tubuh indria-indria pikiran (manas) dan intelek (budhi) semuanya sarana-sarana untuk merealisasikan tujuan Purusa.
- Semua objek dibentuk atas ketiga guna dan oleh karena secara logika mempreposisi keberadaan Purusa yang merupakan saksi dari guna-guna ini dan ia sendiri berada di luar mereka.
- Harus ada suatu persatuan sintetik transedental dari kesadaran murni untuk mengkoordinasikan semua pengalaman.
- Prakerti yang tak berkesadaran tidak dapat mengalami produk-produknya. Jadi harus ada sebuah prinsip-prinsip kesadaran untuk produk baru dari duniawi yaitu Prakerti (yang dinikmati).
- Ada orang-orang yang mencoba meraih kebebasan dari penderitaan dunia. Keinginan untuk meraih kebebasan dan emansipasi jiwa mengimplementasikan eksistensi dari seorang yang dapat mencoba dan meraih pembebasan.
Menurut Samkhya roh itu banyak
jumlahnya yang masing-masing berhubungan dengan satu badan. Adanya banyak
roh itu berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan, Samkhya memberikan tiga
argumen berikut ini untuk membuktikan pluralitas Purusa, sebagai berikut :
- Roh-roh memiliki organ-organ sensori dan motorik, dan mengalami kelahiran serta kematian yang terpisah.
- Jika roh itu satu, belenggu pada seseorang harus berarti belenggu dari semua orang dan pembebasan pada seseorang harus berarti pembebasan semua orang.
- Walaupun roh-roh yang telah mendapatkan emansipasi semuanya serupa dan berbeda hanya dalam jumlah karena semuanya berada di luar ketiga guna, namun roh-roh yang terbelenggu secara relatif juga berbeda dalam sifat-sifat, karena dalam beberapa hal satwam mendominasi, sementara dalam yang lainnya rajas doniman, dan tetap pada yang lainnya lagi tamas dominan, oleh karena itu mereka berbeda.
Prakrti artinya “yang mula-mula”, yang mendahului
apa yang dibuat, ia berasal dari kata ‘pra’ (sebelum) dan ‘kr’
(membuat), yang mirip dengan Maya dari
Vedanta. Ia merupakan satu sumber dari alam semesta. Ia dibuat pradhana (pokok), karena semua
akibat ditemukan padanya dan ia merupakan sumber dari alam semesta dan semua
benda.
Pradhana atau Prakrti adalah kekal
meresapi segalanya, tak dapat digerakkan dan cuma satu adanya, ia
tak memiliki sebab, tetapi merupakan penyebab dari semua akibat. Prakrti hanya bergantung pada
aktivitas dari unsur pokok guna-Nya sendiri.
Prakrti merupakan ketiadaan kecerdasan, ibarat seutas tali dari tiga
untaian yang terbentuk dari tiga guna. Prakrti hanyalah benda mati yang dilengkapi dengan kemampuan
tertentu yang disebabkan oleh guna.
Prakrti merupakan dasar
dari semua keberadaan obyektif, semua objek adalah untuk menikmati jiwa
atau roh. Prakrti hanya
menciptakan bila ia bergabung dengan Purusa seperti sebuah kristal dengan sekuntum bunga. Karya
ini dilakukan guna pembebasan setiap roh. Seperti fungsi susu untuk
menghidupkan anak sapi, demikianlah fungsi Prakrti untuk membebaskan sang roh.
Sedangkan ajaran Yoga menekankan pada mengendalikan badan dan
pikiran untuk mencapai tujuan terakhir yang disebut samadhi. Ajaran Yoga yang
terurai dalam Kitab Patanjali Yoga Sutra bukan hanya bersifat teori namun
menekankan pada nilai konseptual. Yoga dipandang sebagai suatu jalan untuk
mencapai tujuan hidup yang tertinggi yaitu kebebasan Atma (roh), jiwa manusia
tidak diikuti oleh aktifitas keduniawian, dan untu mencapai sat, cit, ananda ( kebenaran, kesadaran
dan kebahagiaan) yang kekal abadi. Bentuk-bentuk yoga ada beberapa macam, yang
dianggap paling penting adalah Karma Yoga, Bhakti Yoga, Raja Yoga dan Jnana
Yoga. Sedang berbagai sitem Yoga yang diajarkan disesuaikan selaras dengan
berbagai sifat-sifat dan tabiat manusia (Bhasma, 1993 : 12)
Samkhya ajarannya bersifat Nir Isvara Samkhya, yaitu tidak
membicarakan masalah Tuhan. Sedangkan filsafat Yoga menerima secara mutlak
ajaran Samkhya yang banyaknya 25 asas unsur dasar (Tattwas), yaitu: Purusa, Prakrti, Mahat, Ahamkara, Manas, Panca
Budhindrya, Panca Karmendrya, Panca Tan Matra, dana Panca Maha Bhuta. Sesudah
diambil oleh Yoga menjadi 26 asas dasar (Tattwas),
yakni dengan tambahan Isvara (Sa Isvara
Samkhya), itulah sebabnya disebut dengan Samkhya Yoga. Maka jelaslah dalam
filsafat Samkhya Yoga adalah timbul konsep 2 + 1, yaitu: Purusa-Prakrti +
Isvara. Maksudnya adalah Isvara atau Tuhan itulah sebagai sumber yang
menciptakan Purusa dan Prakrti.
Konsepsi ini akan lebih jelas pada sistem
filsafat Vedanta. Vedanta adalah suatu sistem yang membicarakan bagian Veda
yang tergolong Jñana Kanda yakni Upanisad. Kitab-kitab Upanisad sendiri juga
disebut Vedanta yang berisi maksud Veda yang sebenarnya. Yang jelas bahwa
kitab-kitab Upanisad, mengandung suatu ajaran yang monistis dan absolutis,
maksudnya adalah suatu ajaran yang mengajarkan bahwa segala sesuatu yang
bermacam-macam ini berasal dari satu asas, satu realitas yang tertinggi.
Realitas ini tidak kelihatan, bebas dari segala hubungan, tidak terbagi-bagi,
tidak dapat ditembus oleh akal manusia, tetapi yang menyelami segala sesuatu.
Realitas inilah yang disebut Brahman.
2.2. Bentuk
Perkembangan Ajaran Samkhya Yoga dan Vedanta Pada Ajaran Agama Hindu Di
Indonesia
Sistem Tattwa di Bali mendapat
pengaruh yang besar dari sistem filsafat Samkhya Yoga dan Vedanta. Demikian
juga halnya agama Hindu di Bali lebih banyak dipengaruhi oleh Śiva Siddhānta.
Dalam ajaran Śiva Siddhānta memandang
para deva, seperti : Brahma, Visnu, Isvara, Mahadeva, dan sebagainya dihormati
dan dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya, karena deva-deva itu tiada lain
dari manifestasi Śiva (Tuhan), sesuai dengan fungsinya yang berbeda. Sebutan
Śiva Siddhānta kalau ditinjau dari arti kata Siddhānta berarti kesimpulan, maka
ajaran Śiva Siddhānta merupakan kesimpulan dari ajaran Śivaisme.
Kitab Vedanya dikenal dengan
nama Veda Sirah, adalah
petikan-petikan dari Veda yang dipetik adalah pokok-pokoknya (sirah = kepala). Maka Veda Sirah berarti pokok-pokok Veda atau inti
sari Veda. Vrhaspati Tattwa adalah salah satu sistem filsafat peninggalan Śiva
Siddhānta di Bali yang menguraikan konsepsi Ketuhanan. Yang mana pokok
ajarannya berkiblat kepada Rva Bhineda Tattwa dan Tri Purusa Tattwa. Yang
dimaksud dengan Rva Bhineda Tattwa adalah unsur utama yang menjadikan adanya
segala sesuatu, yakni Cetana yang
merupakan unsur kesadaran dan Acetana
yang merupakan unsur ketidaksadaran. Sedangkan Tri Purusa Tattwa adalah
pertemuan kedua unsur Rva Bhineda, yang menciptakan adanya Paramaśiva, Sadaśiva
dan Śivātma. Paramaśiva, Sadaśiva dan
Śivātma pada hakekatnya adalah Brahman Yang Esa. Maka untuk membayangkan
Tuhan yang serba abstrak dan sebagai metode dalam rangka menumbuhkan
keyakinan adanya Tuhan, maka dibuatlah
sistem-sistem pengajaran sesuai dengan pandangan manusia.
Paramaśiva adalah Cetana / Purusa atau kejiwaan / kesadaran yang tertinggi (Tuhan), suci,
murni, sama sekali belum kena pengaruh maya (Acetana / Pradhana / Prakrti), tenang,
tentram, tanpa aktivitas, kekal abadi, tiada berawal tiada berakhir, ada di
mana-mana, maha Tahu, tidak pernah lupa, maka dari itu diberi gelar Nirguna Brahman (Para Brahman). Dalam
Vrhaspati Tattwa 7-10, disebutkan:
“Paramaśiva
Tattwa ngaranya:
Aprameyam
anirdesyam anaupamyam anamayam suksmam
sarvagatam sarvatam nityam dhruvam avyayam
isvaram”. (Vrhaspati Tattwa.7)
“Aprameyam anantatvad anirdesyam alaksanam
Anaupamyam anadrsyam vimalatvad anamayam”. (Vrhaspati Tattwa.8)
“Sukamanca anupalabhyatvad vyapakatvacca sarvagam
nityakarena sunyatvam acalatvacca tad dhruvam”. (Vrhaspati Tattwa.9)
“Avyayam paripurnatvad saumyabhavam tathaiva ca
Siwa Tattwam idam uktam sarvatah parisamsthitam” . (Vrhaspati Tattwa.10)
Yang disebut Paramaśiva Tattwa
adalah: Isvara yang tak dapat diukur, tak dapat diberi jenis, tak dapat
diumpamakan, tak dapat dikotori, maha halus, ada di mana-mana, kekal-abadi,
senantiasa langgeng, tak pernah berkurang. Tak dapat diukur, karena Dia tak
terbatas, tak dapat diberi jenis, karena dia tak punya sifat, tak dapat
diumpamakan, karena tiada sesuatu seperti Dia, tak dapat dikotori, karena Dia
tak bernoda. Maha gaib, karena Dia tak dapat diamati, berada dimana-mana,
karena Dia menembus segalanya, kekal-abadi, karena Dia suci murni, dan selalu
langgeng karena Dia tak bergerak. Tak pernah berkurang, karena Dia maha
sempurna, begitu pula keadaannya tengan, inilah Śiva Tattwa (Paramaśiva Tattwa)
yang menempati segala-galanya. (Radeg Astra, 1968: 45-46).
Dengan memperhatikan kutipan
tersebut, maka telah terbayang dalam pikiran kita bahwa Tuhan Paramaśiva adalah
Tuhan dalam keadaan suci murni, maka
tidak ada sesuatu yang dapat
mempengaruhi Beliau, sehingga sukarlah untuk memberi pembatasan dan memang
Beliau tak terbatas, telah ada tanpa ada yang mengadakan, tiada berawal dan
tiada berakhir (Anadi-Ananta), tiada
terpengaruh oleh waktu, tempat dan keadaan. Itulah sebabnya kita sebagai
manusia yang seba terbatas yang hidup atas dasar materi, maka sulitlah untuk
memberikan pembatasan terhadap Tuhan yang serba tak terbatas.
Tuhan Sadaśiva adalah Tuhan yang
sudah dipengaruhi oleh maya (Acetana),
maka Beliau mulai mempunyai sifat, fungsi dan aktivitas, dalam keadaan ini
beliau diberi gelar Sadaśiva yang Saguna
Brahman. Dalam Tattwa di Bali Tuhan Sadaśivalah yang paling banyak mendapat
perhatian yang disebut dengan Hyang Widhi dengan bermacam-macam gelar dan
manifestasi. Demikian juga dibuatkan nyasa tertentu sebagai simbol Tuhan.
Śivātma adalah unsur kejiwaan yang
lebih banyak dipengaruhi oleh maya, jika dibandingkan dengan Sadaśiva, di mana
kesadaranNya telah mulai kena pengaruh lupa (Avidya). Oleh karena itu unsur kesadaran aslinya yang murni dan
lagi telah terpecah-pecah, serta menjadi segala makhluk, khususnya manusia,
maka akhirnya di sebut Atma. Jadi Atma adalah merupakan bagian dari Śivātma
yang fungsinya memberikan energi atau tenaga pada jasmani pada setiap makhluk,
sehingga sering disebut Jiwatma.
Dalam konsepsi Sadaśiva, dimana
Beliau telah kena pengaruh maya, sehingga Beliau mulai mempunyai sifat, fungsi,
dan aktivitas. Namun pengaruh maya belumlah begitu besar, hanya berupa 'guna' atau hukum kemahakuasaanNya, yang
sering disebut dengan Sakti / Prakrti, sehingga kesadaran aslinya yang suci
murni masih jauh lebih besar. Oleh karena itulah beliau dapat mengatur Utpeti, Sthiti, dan Pralina dari alam semesta dengan segala isinya atau Bhuvana Agung dan Bhuvana Alit.
Adapun sifat kemahakuasaan Tuhan Sadaśiva,
meliputi : Guna, Sakti, dan Swabhawa. Guna meliputi tiga sifat, yang mulia,
yakni:
- Dura Darsana, yaitu: berpenglihatan serba jauh dan tembus pandang.
- Dura Sarvajna, yaitu: berpengetahuan serba sempurna.
- Dura Sravana, yaitu: berpendengaran serba jauh.
Yang disebut Sakti Tuhan Sadaśiva ,ada empat macam (Cadu Sakti),
yaitu:
1. Vibhu
Sakti, yaitu: Beliau berada pada segala
yang ada dan amat gaib.
2. Prabhu Sakti, yaitu: Beliau Maha Kuasa,
menguasai segala-galanya, serta tidak ada yang menyamai kekuasaanNya.
3. Jñana Sakti, yaitu: Beliau Maha Tahu, sumber
segala kebijaksnaan, sehingga dapat mengetahui segala-galanya.
4. Kriya Sakti, yaitu: Beliau Maha Karya, beliau
dapat mengerjakan segalanya dengan sempurna.
Sedangkan yang dimaksud dengan Asta
Aisvarya, adalah delapan sifat kemahakuasaan Tuhan Sadaśiva, yaitu:
1. Anima, yakni: bersifat sangat kecil sekecil-kecilnya.
2. Laghima, yakni: bersifat Maha
Ringan.
3. Mahima, yakni: bersifat Maha
Besar.
4. Prapti, yakni: bersifat dapat
mencapai segala-galanya.
5. Prakamya, yakni: Bersifat
berhasil dalam segala yang dikehendaki.
6. Isitva,yakni: bersifat merajai
segala-galanya.
7. Vasitva, yakni: bersifat Maha
Kuasa.
8. Yatrakamavasayitva, yakni:
bersifat dapat memenuhi segala keinginan dan Maha Kuasa
Demikian hakekat kemahakuasaan Tuhan Sadaśiva yang meliputi Guna, Sakti dan Swabhawa-Nya. Dengan sifat kemahakuasaannya itulah Tuhan Sadaśiva
melakukan krida-Nya dalam mengatur
keharmonisan alam dengan segala isinya, menurut ketentuan waktu utpeti, sthiti, dan pralina. Secara simbolik Beliau dianggap bersinggasana di
tengah-tengan bunga teratai yang disebut dengan Padmasana. Kata Padmasana berasal dari kata Padma
yang artinya bunga, dan asana yang berarti sikap atua tempat. Maka Padmasana
berarti sikap atau tempat duduk yang berwujud bunga teratai. Bunga teratai
adalah bunga yang dianggap suci dan sering dipakai persembahan dalam upacara
keagamaan. Hal ini mungkin didasarkan atas suatu logika, bahwa kendatipun bunga
teratai itu tumbuh dalam lumpur, namun bunganya tidak pernah dilekati oleh lumpur.
Maka itu bunga teratai disebut juga dengan pangkaja
yang berarti tumbuh dalam lumpur. Demikian pula sikap bunga teratai ujungnya
selalu muncul ke atas air dan kelopak bunganya senantiasa menunjukkan arah
kiblatnya mata angin.
Padmasana dalam masyarakat Bali diwujudkan dalam bentuk bangunan suci,
yang puncaknya terbuka seperti kursi dan berisi perlengkapan Bedawangnala, Naga
Anantabhoga, sebagai dasar, penumpu dan pengikat bangunan suci itu. Bangunan
Padmasana secara khusus dipergunakan sebagai media untuk melakukan pemujaan
kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud Sadaśiva. Disamping itu pula juga
lukisan Padma yang berdaun delapan, yang disebut dengan Padma Asta Dala. Lukisa
itu dianggap simbol Bhuvana Agung dan Bhuvana Alit dan dipakai perlengkapan
upacara serta dipakai sarana untuk
mendapat kekuatan.
Tuhan Sadaśiva dalam
menggerakkan hukum kemahakuasaanNya beliau diwujudkan dalam bentuk 'Mantratma' yaitu jiwa dari doa mantra,
yang dalam bentuk aksara diwujudkan dengan OM.
Dalam Lontar Vrhaspati Tattwa.
8, disebutkan:
“Sawyaparah,
bhatara Sadaśiva sira, hana padmasana pinaka palungguhanira, aparan ikang
padmasana ngaranya, saktinira, sakti ngaran: Vibhu Sakti, Prabhu Sakti, Kriya
Sakti, Jñana Sakti, nahan yang Cadhu Sakti………………………………… nahan yang Cadhu Sakti
ngaranya Padmasana, ri madyanngkana ta palungguhanira bhatara, kalanirab
pasarira Mantratma ta sira, mantra pinaka sarira nira, Isana murdhaya,
Tatpurusa waktraya, Aghora hredaya, Bhamadeva guhyaya, Sadyojata murtiya, AUM
pinaka sarira bhatara”.
Tuhan Sadaśiva dalam persatuan dengan hukum
kemahakuasaanNya. Padmasana sebagai singgasana Beliau. Apakah yang dimaksud
dengan Padmasana? Yaitu Sakti Beliau, yakni: Vibhu Sakti, Prabhu Sakti, Jñana
Sakti, Kriya Sakti, itulah yang disebut dengan Cadhu Sakti…………………………………Cadhu
Sakti itulah yang disimbolkan berupa Padma, di tengah-tengahnya itulah
singgasana Tuhan Sadasiwa, pada waktu Beliau berbadankan Mantratma, mantra
adalah badan Beliau, Isana sebagai kepala, Tatpurusa sebagai muka, Aghora
sebagai hati, Bhamadeva sebagai anggota rahasia dan Sadyojata sebagai bentukNya
dan AUM adalah sebagai wujud Beliau.
Berdasarkan kutipan di atas
bahwa Tuhan Sadaśiva dalam wujud aksara, dilambangkan dengan AUM atau OM dan
dalam hubungannya dengan Mantratma,
ada lima bagiannya, yaitu: Isana,
Tatpurusa, Aghora, Bhamadeva, Sadyojata. Kelimanya ini disebut Panca Brahma
atau Panca Devata. Sedangkan menurut kepercayaan umat Hindu di Bali,
masing-masing deva itu mempunyai nama lain, yakni: Isvara (Sadyojata), Brahma (Bhamadeva),
Mahadewa (Tatpurusa), Visnu (Aghora), Śiva (Isana).
Demikian Tuhan Sadaśiva dalam
menggerakkan dan mengatur keharmonisan alam dengan segala isinya. Menurut
ketentuan waktu pada Utpeti, Sthiti dan
Pralina. Dalam hal ini Beliau diberi
gelar Sang Hyang Tri Murti, Brahma sebagai Pencipta, Visnu sebagai Pemelihara,
dan Śiva sebagai Pengembali yang ada. Sadaśiva dalam wujud Tri Murti disebut
berbadankan Omkara. Omkara itu terdiri tiga (3) huruf, yaitu A-kara adalah simbol Tuhan Sadaśiva
dalam fungsinya sebagai pencipta / Brahma, huruf U-kara adalah simbolis dari Tuhan Sadaśiva dalam fungsinya sebagai
pemelihara / Visnu. Dan huruf MA adalah simbolis Tuhan Sadaśiva dalam fungsinya
sebagai pelebur / Śiva. Huruf A-kara,
U-kara,dan MA-kara disebut Tri
Aksara.
Panca Brahma Vijaksara sering disertai
dengan Panca Devata-Nya, yang dihubungkan dengan kiblat mata angin, sehingga
masing-masing dianggap menguasai mata angin, yakni:
1. SA (SAM) - Sadyojata (Isvara) di Timur.
2. BA (BAM) -Bhamadeva (Brahma) di
Selatan.
3. TA (TAM) - Tatpurusa (Mahadeva) di Barat.
4. A (AM) -Aghora (Visnu) di Utara.
5. I (IM) - Isana (Śiva) di Tengah.
6. NA (NAM) - Mahesvara di Tenggara.
7. MA (MAM) -Rudra di Barat Daya.
8. SI (SIM) - Sankara di Barat Laut.
9. VA (WAM) - Sambhu di Timur Laut
10. YA (YAM) - Śiva di Tengah.
Kalimat NA,MA,SI,VA,YA (Nama
Śivaya), berarti sujud kepada Śiva. Dengan
demikian maka dalam doa mantra, sering kita dapati SA, BA, TA, A, I, NA, MA,
SI, VA, YA, yang disebut dengan Dasaksara. Jika ditambah dengan OM, maka
dinamakan dengan "EKA DASAKSARA", yang dianggap Bija Mantra.
Jadi Dasaksara inilah yang
merupakan perwujudan Sadaśiva, sebagai inti kekuatan Veda Mantra. Demikian juga
sepuluh Deva yang menguasai masing-masing kiblat dan merupakan personifikasi
dari Sakti dan Swabhawa-Nya Tuhan
Sadaśiva, pada waktu Beliau mengatur keharmonisan alam semesta dengan segala
isinya.
Namun perlu dipahami bahwa
Tuhan itu sebenarnya adalah Esa. Dibedakan sedemikian rupa, seperti Paramaśiva,
Sadaśiva, dan Śivātma, adalah berdasarkan atas sifat, status, dan fungsi,
aktivitas-Nya masing-masing, serta ada atau tidaknya pengaruh Maya / Prakerti yang menjadi sumber
materi dan psykhis dari alam semesta dengan segala isinya. Atau dapat dikatakan
bahwa Paramaśiva itu adalah Tuhan Yang Suci Murni, Nirguna dan Niskala
Brahma. Sadaśiva adalah Tuhan yang telah bersatu dengan unsur acetana / prakerti / Swayaparah, yang Maha
Kuasa, Maha Karya, sehingga disebut Saguna
Brahma. Sedangkan Śivātma adalah Tuhan yang memberikan tenaga hidup terhadap
semua isi alam, khususnya manusia, beserta makhluk lain, sehingga disebut
Jivatma.
Jadi kesimpulan dari konsepsi
Ketuhanan yang telah diuraiakan di atas, maka Samkhya mengajarkan hanya dua
unsur, yaitu Purusa merupakan unsur
kesadaran, dan Pradhana / Prakerti
merupakan unsur ketidaksadaran, yang ada dengan sendirinya. Maka ajaran Samkhya
bersifat Dualistis Nontheistis. Demikian juga dalam ajaran Vrhaspati Tattwa
belumlah jelas menyebutkan dari mana asal Acetana
dan Cetana itu. Tetapi dalam sistem
filsafat Yoga dijelaskan bahwa Purusa
(Cetana) dan Prakerti (Acetana)
itu bersumber pada Tuhan, karena dalam sistem Yoga mengenal sistem Dualistis
Theistis.
Jadi ajaran ini sudah jelas
mengkui bahwa Tuhan/Brahman, sebagai asal segala-galanya dan merupakan asas
tertinggi. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan dalam Bhagavadgita VII.6 :
"Etad-yonini bhutani sarvanity upadharaya aham krtsnasya jagatah
prabhavah pralayas tatha".
Semua makhluk yang diciptakan bersumber dari kedua alam tersebut. Ketahuilah dengan pasti bahwa Aku adalah sumber perwujudan dan peleburan segala sesuatu di dunia ini, baik yang bersifat material maupun yang bersifat rohani.
Berdasarkan uraian di atas
tentang Konsepsi Ketuhanan menurut ajaran Tattwa di Bali, dapat diperinci
sebagai berikut:
1. Konsepsi 2 + 1, yaitu Purusa dan Pradhana
adalah bersumber pada Brahman, yang disimbulkan dengan akasara ANG, AH dan OM sebagai sumbernya.
2. Konsepsi 3 + 1, yaitu Brahma , Visnu, Śiva
adalah bersumber pada Brahman, dengan simbol aksara: ANG, UNG, MANG dan OM
3. Konsepsi 5 + 1, yaitu: Sadyojata, Bhamadeva, Tatpurusa, Aghora,
dan Isana bersumber pada Brahman,
dengan aksara suci: SA, BA, TA, A, I, dan OM
4. Konsepsi 10 + 1, yaitu: Ekadasaksara yang
bersumber pada Brahman, dengan aksara suci: SA, BA, TA, A, I, NA, MA, SI, VA,
YA, dan OM
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan pada bab
terdahulu, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan yaitu :
- Pokok-pokok ajaran filsafat Samkhya yaitu mempertahankan dualisme ontologis Prakrti dan jiwa-jiwa individual (Purusa). Filsafat Yoga menekankan pada mengendalikan badan dan pikiran untuk mencapai tujuan terakhir yang disebut samadhi. Dan Filsafat Vedanta mengajarkan mengajarkan bahwa segala sesuatu yang bermacam-macam ini berasal dari satu asas, satu realitas yang tertinggi. Realitas ini tidak kelihatan, bebas dari segala hubungan, tidak terbagi-bagi, tidak dapat ditembus oleh akal manusia, tetapi yang menyelami segala sesuatu. Realitas inilah yang disebut Brahman.
- Pokok-pokok ajaran Filsafat Samkhya Yoga dan Vedanta telah memberikan kontribusi terhadap perkembangan ajaran Agama Hindu di Indonesia, hal ini terbukti dalam ajaran Tattwa-Tattwa yang ada di indonesia (Bali). Sistem Tattwa di Bali mendapat pengaruh yang besar dari sistem filsafat Samkhya Yoga dan Vedanta. Vrhaspati Tattwa adalah salah satu sistem filsafat peninggalan Śiva Siddhānta di Bali yang menguraikan konsepsi Ketuhanan. Yang mana pokok ajarannya berkiblat kepada Rva Bhineda Tattwa (dualitas)
Tidak membantu
BalasHapus