Pages - Menu

Jumat, 19 Desember 2014

KEPERCAYAAN (AGAMA) ASLI NUSANTARA



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  LATAR BELAKANG

Berbagai jawaban dan definisi bisa diberikan oleh seseorang ketika berbicara tentang pengertian agama,  tergantung dari sudut mana mereka melihat agama itu. Secara sederhana ada yang menyebutkan bahwa agama itu adalah: “kepercayaan akan mahluk-mahluk halus,” namun yang lainnya mencoba memberikan definisi yang lebih komprehensip atau deskripsi mengenai praktek-prakteknya.
Sejak berkembangnya agama pada masyarakat primitip, agama berkembang tanpa manusia merasa perlu mendifinisikan artinya, namun sejak perkembangan ilmu pengetahuan, manusia berusaha untuk mengerti hakekat agama yang sudah dianut manusia sejak kehadiran manusia dimuka bumi itu.
Tidak ada manusia dari yang primitip sampai yang modern yang tidak mengenal agama atau dalam pengertian primitip keyakinan akan hal-hal yang gaib/sihir/magi (magic). Dalam masyarakat apapun selalu ada keyakinan mengenai adanya realita yang dianggap kekal, baka dan suci (Sacred) dan realita alam nyata yang kita diami yang bersifat tidak kekal, fana, dan duniawi (Profane). Menurut Mircea Eliade, tokoh sejarah agama:
"Manusia menyadari realita yang suci (sacred) karena realita itu menyatakan dirinya sebagai sesuatu yang samasekali berbeda kenyataannya dari yang duniawi (profane). Pernyataan itu disebut sebagai hierophany."

Dalam hubungan dengan realita baka yang dianggap suci itu umumnya orang-orang memandangnya dengan hormat disertai larangan dan pantangan bila berhubungan dengannya. Keyakinan demikian diiringi dengan keyakinan adanya kekuatan supranatural khususnya kekuatan gaib/sihir/magi, atau ide-ide mengenai adanya mahluk halus, roh-roh, setan, roh nenek moyang yang telah mati, atau dewa-dewi (gods) yang berasal atau berada dalam realita yang suci tersebut.
Beberapa dari satuan bangsa atau dari suku bangsa memiliki suatu kepercayaan atau segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan kerokhanian yang bersifat khas, tak terkecuali beberapa suku yang ada di indonesia.  Kepercayaan (kegiatan kerokhanian) ini sering disebut dengan istilah ”agama asli” seperti diungkapkan oleh rachmat subagya. 
Rachmat Subagya dalam bukunya merumuskan pengertian agama asli sebagai berikut:
"Yang Dimaksudkan dengan agama asli adalah kerohanian khas dari satuan bangsa atau dari suku bangsa, sejauh itu berasal dan diperkembangkan di tengah-tengah bangsa itu sendiri dan tidak dipengaruhi oleh kerohanian bangsa lain atau menirunya. Kerohanian itu timbul dan tumbuh secara spontan bersama (suku) bangsa itu sendiri. Dia murni tak bercampur dengan kerohanian agama lain dan pada hakekatnya hanya terdapat pada masyarakat yang tertutup terhadap pergaulan antar (suku) bangsa. Kerenanya agama yang mewadahi kerohanian semacam itu juga disebut agama etnis, agama suku, agama preliterate atau agama sederhana."

                Selanjutnya,
Subagya juga menyebutkan bahwa sifatnya yang terikat tempat itu, bila kemudian berkontak dengan agama lain, mungkin mempertahankan diri sambil berkembang berkat unsur-unsur keagamaan dari luar. Unsur-unsur itu diolah dengan kerohanian semula, sedang corak khas asli tidak lenyap melainkan mewujudkan diri lebih lengkap. Kerohanian asli tersebut biasanya tidak diketahui secara reflektif, tidak pula dinyatakan dalam ajaran sistematis. Kerohanian itu dihayati dalam sikap batin terhadap Zat tertinggi - yang diberi nama apa saja - yang sifat hakekatnya mengatasi manusia. Dia diungkapkan dalam kepercayaan, kesusilaan, adat, nilai, upacara serta perayaan anekawarna. Melalui ungkapan lahir itu pokok batin dapat disadari, ditentukan dan dirinci lebih lanjut.
Manusia menurut kodratnya menyadari bahwa ia terbatas dan lemah. Ia mengalami juga, bahwa jiwanya terarah kepada alam lain yang mengatasi kelemahannya dan keterbatasannya. Alam rohani itu dipikirkan olehnya sebagai wujud cita-citanya, sebagai sesuatu yang utuh, sempurna dan membahagiakan. Di dalamnya kerinduan akan kebahagiaan dipenuhi; manusia berusaha mengarahkan kegiatannya untuk mencapai kebahagiaan itu. Cara manusia menggapai kebahagiaan tertinggi dan alam rohani pada bangsa-bangsa menunjukkan adanya kesamaan yang mengesankan. Sudah barang tentu demikian, karena kesatuan asasi mengikat seluruh umat manusia. Tetapi perbedaan juga cukup banyak dan mencolok.
Menurut Subagya, agama asli sebagai jenis murni terutama terdapat pada suku-suku bangsa yang dikenal dengan nama protomela yu. Leluhur mereka merupakan gelombang imigrasi tertua dari Asia Tenggara daratan ke Asia Tenggara kepulauan. Sedang jenis yang tercampur biasa disebutkan sebagai deuteromelayu. Di samping agama asli, agama itu bisa mengalami pencampuran bila berhubungan dengan agama luar, baik agama yang senafas maupun agama yang berbeda sama sekali, di sini terbentuk agama campuran. Percampuran itu bisa terjadi karena pertemuan dua agama asli, namun bisa juga dialami karena kedatangan agama pendatang, yaitu Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen.
1.2.  Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut di atas, dalam penyusunan tulisan (paper) ini  akan dirumuskan satu pokok permasalahan yaitu :
1.  Bagaimanakah bentuk Ajaran dan perkembangan “agama-agama asli” yang pernah berkembang di wilayah nusantara?
1.3.  Tujuan Penulisan
Dalam  penyusunan tulisan (paper)  ini memiliki beberapa tujuan yaitu :
1.  Untuk mengetahui  bentuk Ajaran dan perkembangan “agama-agama asli” yang pernah berkembang di wilayah nusantara
2.  Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Perbandingan Agama 


1.4.  Metode Penulisan
Dalam  penyusunan tulisan (paper) ini mempergunakan metode Studi Kepustakaan yaitu suatu cara untuk memperoleh data dengan jalan mengadakan penelitian kepustakaan, seperti melalui membaca, mengutip materi, mencari dari beberapa website (internet) terkait dengan bentuk Ajaran dan perkembangan “agama-agama asli” yang pernah berkembang di wilayah nusantara
























BAB II
PEMBAHASAN


            AGAMA ASLI DI NIAS
Di Nias, terutama di bagian Tengah dan Selatan, konsep ketuhanan itu digambarkan dalam bentuk alam atas, dimana dari sana menjelma nenek-moyang orang Nias bernama Hia ke tempat yang bernama Sifalago di daerah Gomo, Nias Tengah. Dari turunan nenek-moyang itu lahirlah petinggi-petinggi masyarakat yang hidup saling terisolir, dan petinggi yang paling popular adalah yang dapat menunjukkan diri sebagai keturunan langsung nenek-moyang yang asli.
Posisi dan status para petinggi itu direfleksikan dalam panggilan mereka, seperti salawa (tinggi) atau si 'ulu (yang naik), sedangkan pemimpin kebanyakan dikenal dengan nama-nama seperti sihono (ribuan) atau sato (rakyat banyak). Para petinggi ini menunjukkan kesejahteraannya dengan mengumpulkan emas, berlian, dan ornamen sebanyak mungkin, rumah yang paling besar, pakaian kebesaran dengan kopiah yang tinggi, dan duduk paling tinggi dalam upacara -upacara. Ini untuk menunjukkan bahwa mereka mampu mempertahankan posisi otoritas mereka, dan bukan hanya itu, tetapi juga untuk memnunjukkan bahwa mereka menjadi penghubung antara petinggi dan pendiri desa yang bersangkutan.
Harta kekayaan harus ditunjukkan bukan saja dalam bentuk emas dan berlian namun harus dinyatakan dalam ukiran-ukiran ornament, demikian juga orang-orang yang sudah menikah tidak saja harus menunjukkan banyaknya babi dan emas yang dimilikinya tetapi menyatakannya dalam bentuk ornament-ornamen yang peresmiannya biasa dilakukan dengan pesta upacara yang disebut owasa (Nias Utara) atau tawila (Nias Selatan). Para petinggi dengan mengadakan pesta akan memperoleh gelar baru.
Pada pesta owasa, petinggi itu membagi-bagikan daging babi sesuai derajat hadirin. Daging babi itu juga menunjukkan simbolis asi karena orang Nias percaya bahwa mereka adalah babi-babi para dewa. Dulu dikatakan bahwa pengorbanan manusia pernah dilakukan dalam owasa yang paling tinggi. Pesta-pesta juga berguna untuk mempererat dan agar hubungan para petinggi dengan penduduk tetap sinambung.
Orang Nias menyembah nenek-moyang melalui berbagai upacara, seperti melalui patung atau ukiran (adu) yang menjadi alat perantara berhubungan dengan roh nenek moyang. Mereka juga membuat meja sembahyang adu karena mereka sangat percaya bahwa kehidupan nenek-moyang bisa mempengaruhi mereka yang hidup, karena itu, yang hidup harus menyenangkan yang mati dengan berbagai upacara dan kurban, baik untuk tujuan kelahiran atau pernikahan yang bahagia, atau untuk kesuburan tanah. Semua kurban dalam pesta itu ditujukan untuk keseimbangan kosmis dalam pesta yang disebut fondrako.
            AGAMA ASLI DI SIBERUT (MENTAWAI)
Kepercayaan ketuhanan di Siberut lebih mengarah ke animis dan mistik, sebab mereka percaya bahwa segala sesuatu - manusia, binatang, tanam-tanaman dan benda-benda - memiliki jiwa (simagere).
Dalam pemanfaatan sesuatu, perlu diperhatikan harmonisasi dengan segala sesuatu, karena itu di sini dipercayai banyak tabu-tabu yang tidak boleh dilanggar. Mereka mempercayai adanya bajou, kekuatan tak berpribadi yang hadir dalam segala sesuatu yang memiliki jiwa. Kekuatan ini akan terbangkitkan bila seseorang melanggar keseimbangan dengan alam itu, seperti datangnya penyakit atau kematian.
Juga dipercayai bahwa jiwa dapat mengembara dalam mimpi dan bila mengalami kesukaran dapat meminta bantuan para nenek-moyang, karena itu upacara penyembahan nenek moyang penting. Disamping ini, upacara ritual termasuk kurban melalui perantara juga penting agar kekuatan-kekuatan kebaikan datang dan menjauhkan kekuatan-kekuatan jahat.
Orang Siberut tinggal bersama dalam uma, yaitu rumah gadang yang ditinggali oleh kurang lebih 5-10 keluarga. Dalam rumah ada pengatur upacara (rimata) dan juga beberapa dukun (kerei), tetapi mereka tidak memiliki penguasa. Ada tiga ketakutan yang biasa dihadapi penghuni uma, yaitu: (1) kesatuan uma yang rapuh; (2) hubungan yang tidak menentu dengan tetangga-tetangga; dan (3) ketakutan karena penyakit dan kematian yang disebabkan melanggar tabu. Melalui pesta upacara secara periodic (pulialijat) yang berlangsung selama sebulan, ketiga hal itu diharapkan dapat diperbaiki. Dalam upacara itu kekuatan-kekuatan kebaikan diundang untuk memberkati uma. Jiwa nenek-moyang diundang masuk ke dalam uma agar mempersatukan warga uma dalam solidaritas yang baru. Mereka juga melakukan upacara perburuan di hutan untuk menyenangkan roh-roh penjaga hutan agar kehidupan dapat berjalan dengan baik.
            AGAMA ASLI DI BATAK (SUMATERA UTARA).
Kepercayaan batak sangat kuat menekankan penyembahan nenek moyang yang selalu diusahakan dekat dengan kehidupan mereka melalui kurban yang terus menerus. Upacara melalui tari -tarian, karya pahatan dan musik memungkinkan masalalu memasuki masakini, dan para nenek moyang untuk memasuki kehidupan anak-cucu mereka. Tugu adalah monumen penguburan.
Bagi orang Batak asli sebelum masuknya agama Islam (1820, Batak Selatan) dan Kristen (1850, Angkola dan Taba), akhir hidup karena kematian disangkal, mereka berpendapat bahwa kematian hanya perpindahan wujud dan kehidupan berjalan menerus dan hubungan timbal-balik antara yang hidup dan yang sudah mati tetap berjalan terus melalui upacara kurban binatang, tari¬tarian dsb.nya (ini mirip dengan agama nenek-moyang di Tiongkok/China). Agama Batak asli juga merupakan perisai yang menjaga mereka dari serangan penyakit, musuh yang menyerang, dan juga pengaruh alam roh.
Kekuatan-kekuatan alam juga dimanfaatkan dalam kehidupan masyarakat dalam pertahanan diri maupun sebagai perisai dalam perang. Pengulangan peringatan garis keturunan suku, hubungan dengan yang mati, ucapan mantera tentang hubungan roh-roh yang mati dan manusia hidup, dan berkat sehari-hari pada bayi yang baru dilahirkan untuk melindungi dari penyakit dan kematian merupakan unsur penting dalam kehidupan beragama Batak.
Upacara sekitar tugu, tarian tortor (dulu upacara tortor di beberapa daerah diiringi dengan kesurupan/trance), musik gondang, dan penggunaan ulas, merupakan upacara melakukan hubungan dengan nenek moyang dan kekuatan-kekuatan mistik alam supra-natural. Ulas memiliki daya magis untuk berbagai kebutuhan, seperti pengobatan, hubungan dengan nenek-moyang, dan kesuburan. Penguburan kembali tulang-tulang yang sudah lama dikubur juga merupakan usaha untuk tetap menghadirkan yang mati ke dalam kehidupan pada masakini. Dalam upacara penguburan tulang yang sudah mati selama 20 tahun, dipercaya bahwa roh orang mati itu sudah mencapai status nenek¬moyang yang penuh.
Dalam perkawinan upacara sahut-menyahut saling memberi kata-kata pantun berkat antara wakil-wakil mempelai wanita dan pria bermaksud untuk mendatangkan kebahagian dan kesehatan bagi kedua mempelai, kesuburan keluarga, dan juga kesuburan tanah untuk menghidupi keluarga itu.Dalam pemberkatan rumah baru, keluarga Batak yan berada mengadakan pesta upacara yang disebut harja. Dalam upacara ini disembelih babi-babi atau kerbau, dan tuan rumah menunjukkan kekuatan dengan membagikan daging kepada hadirin secara cukup termasuk tukar-menukar hadiah bagi yang mampu.
Pada awal kedatangan misi Kristen dari Eropah (Dimulai dengan German Rheinische Mission) terjadi perang budaya dan sempat praktek tortor dan gondang dilarang dari Tarutung ke Balige karena dianggap menghujat Tuhan, namun kemudian praktek budaya itu bangun kembali di kalangan orang batak Kristen sekalipun tidak memiliki makna mistik & magis sedalam sebelum kedatangan para misionari, dan terutama untuk konsumsi turis.
            AGAMA ASLI DI BADUI (BANTEN)
Dipercayai bahwa tempat tinggal orang Badui adalah Pancar Bumi yang suci, dan nenek moyang, sebagai turunan manusia pertama, menurunkan peraturan-peraturan hidup dalam pikukuh. Bila seseorang melanggar, ia harus dikeluarkan dari kampung tantu (dalam) ke kampung dangka (luar) dan harus mengalami upacara penyucian. Orang badui dalam biasa kelihatan berpakaian putih sedangkan Badui Luar berpakaian Biru-Hitam. Orang Badui dalam dilarang berhubungan dengan orang luar, karena itu hubungan itu dilakukan melalui Badui Luar yang menjual barang -barang hasil pertanian mereka ke kota-kota disekitar Badui.
Sesembahan orang Badui disebut Batara Tunggal yang dianggap sebagai kekuatan yang maha hadir yang bisa dipersonifikasikan sebagai manusia yang bijak dan suci. Nenek-moyang dipercaya tinggal di kebuyutan di Sasaka Damas, di hulu sungai Ciujung. Orang Badui mendapat tugas untuk tetap menjaga kesucian pusat bumi itu dengan cara hidup sederhana, rendah hati, dan tidak merusak lingkungan, ini dicapai dengan kehidupan yang asketik. Semua ini ditulis dalam pikukuh, yaitu kumpulan peraturan nenek-moyang.
Menurut orang badui, dunia terdiri dari 'unia atas'(buana nyungcung) yang dihuni dewa-dewi dan nenek moyang, dan 'dunia bawah' (buana rarang). Manusia tinggal di 'dunia tengah' (buana panca) yang berbentuk bentuk solid sekitar tiang nenek-moyang yang dikenal sebagai Sasaka Pusaka Buana. Ini dianggap sebagai pusar dunia (pancar bumi) yang berlokasi di Pamuntuan lereng sebelah Barat gunung Kendeng. Lokasi itu disebut Arca Damas dimana ada banyak batu megalitik. Setahun sekali orang badui bersemedi di sini untuk membersihkan pusar dunia ini.
Orang Badui menganggap bahwa mereka adalah keturunan 7 dewa Batar yang diutus oleh Batara Tunggal, yang digambarkan sebagai kekuatan yang tidak kelihatan yang hadir dimana-mana. Para nenek-moyang yang telah meninggal dipercaya tinggal bersama di kabuyutan yang berlokasi di Sasaka Damas.
Kehdupan orang badui berkisar pertanian dan upacara pertanian ditujukan kepada dewa/roh Padi yang disebut Nyi Pohaci, yang melalui upacara dibangunkan untuk menikah dengan bumi, penyatuan mana disebut Nyi Pohaci Sanghyang Asri.
            AGAMA ASLI DI DAYAK (KALIMANTAN)
Orang dayak memiliki kepercayaan mirip orang Batak, mereka percaya bahwa manusia berasal dari persatuan 'dewa langit' (diidentifikasikan sebagai burung enggang) dengan laut atau 'dewi air' (diidentifikasikan sebagai naga). Manusia tinggal dalam 'dunia tengah' di antara 'dunia atas' dan 'dunia bawah'.
Orang dayak percaya bahwa para dewa harus disenangkan pada waktu-waktu tertentu agar memberikan kesejahteraan dan kedamaian bagi manusia. Manusia dipercayai memiliki jiwa atau daya hidup sama halnya dengan semua benda alam yang harus dijaga. Keteraturan dan keseimbangan hidup kosmis dicapai dengan keharusan mengikuti Adat yang dianggap berasal dari para nenek moyang yang menerimanya dari para dewa dan harus dijalankan turun-temurun agar hidup memperoleh berkat dan kesuburan, bila tidak mereka akan mengalami malapetaka.
Adat menjaga keseimbangan kosmis yang dikaitkan dengan kesuburan tanah, dan menghindarkan mereka dari kemarahan dewa maupun gangguan roh. Manusia dianggap memiliki tubuh dan jiwa, dan jiwa dapat meninggalkan tubuh melalui mimpi dan berhubungan dengan roh-roh. Seseorang yang rohnya tidak kembali akan mengalami sakit atau kerasukan roh jahat dan bila tetap demikian akan mati. Pertolongan diperoleh melalui para dukun yang akan mengusir roh jahat dan memanggil roh orang itu kembali. Orang mati rohnya perlu diantar langsung ke dunia orang mati agar tidak mengganggu yang hidup, ini dilakukan melalui upacara-upacara penguburan dan tabu-tabu.
            AGAMA ASLI BALI GUNUNG (PULAU BALI)
Bali memiliki agama asli disebut Bali Kuna ( Bali Aga) yang dipercaya penduduk pegunungan di Bali sekitar gunung-gunung Agung, Seraya (Karangasem), Batur (Bangli), batukau (Tabanan), yang mempercayai adanya 'bapak langit' (Sang Hyang Aji Akasa) dan 'bumi' yang diperintah oleh Ibu Pertiwi. Segala sesuatu dalam alam ini terjadi karena perpaduan keduanya dan harus dijaga sesuai kesimbangan kosmis yang dualistis melalui upacara-upacara.
Upacara tidak ditujukan kepada mereka melainkan kepada nenek moyang yang dilakukan dalam pusat-pusat upacara atau banua. Pura terbesar dan tertua adalah Pura Pucak Penulisan (di Sukawana) dengan Pura Kauripan di dalamnya sebagai sumber rohani. Upacara-upacara dilakukan demi keseimbangan kosmis dan berpusat di pura yang dianggap sebagai tempat tinggal nenek-moyang mereka.
            AGAMA ASLI DI LOMBOK
Pulau Lombok dihuni orang Sasak yang sekalipun masakini umumnya menganut agama Islam yang disebut waktu lima, ada juga keturunan agama sinkretik asli yang disebut wetu telu (tiga waktu). Penganut yang masih mengikuti wetu telu masih bsa dijumpai di daerah -daerah terisolir seperti di Lombok bagian Utara dan Selatan.
Agama Wetu Telu Lombok memiliki kemiripan dengan agama Hindu-Bali maupun Kejawen (Jawa-Islam). Kesamaan utama adalah kepercayaan nenek-moyang, dimana dianggap bahwa ada penerusan hidup sesudah mati (mirip agama nenek moyang Tionghoa/China). Selama hidup roh manusia dapat berkelana selagi tidur (dalam bentuk mimpi), dan ketika meninggal roh itu meninggalkan tubuh berkelana tanpa tempat tinggal. Untuk menghindari roh kelana ini mengganggu manusia hidup, dilakukan upacara-upacara agar roh itu berkumpul dengan nenek-moyang.
Roh nenek-moyang masih tetap berhubungan dengan manusia dan mempengaruhi hidup manusia, karena itu roh itu diundang dalam upacara dan dimintai berkatnya bagi yang hidup. Roh-roh nenek-moyang ini juga membantu masyarakat menghadapi gangguan supra-natural maupun serangan luar. Juga dipercayai kekuatan tidak berpribadi dalam alam yang menguasai semua bagian alam dan harus dihayati dalam keseimbangan.
Dalam sinkretisme dengan agama Islam yang berpusat di mesjid wetu telu Islam di Bayan, mereka tidak melakukan ibadah jumat tetapi merayakan Ramadan dan hari kelahiran nabi Muhammad, dalam upacara itu juga ada kurban-kurban termasuk menggunaan lambang patung naga. Pertemuan dua jumat berturut-turut dilakukan bila terjadi bencana alam dimana para kya bertemu untuk sembahyang bersama untuk keseimbangan alam.
            ALIRAN KEPERCAYAAN
Aliran kepercayaan atau faham kebatinan/mistik di Indonesia sudah terlihat jejaknya sejak kuno. Setidak-tidaknya agama-agama suku yang asli mempercayai kekuatan mana dan animisme yang kemudian berkembang menjadi ajaran mistisisme atau kebatinan sebelum kemudian diresmikan dengan nama aliran kepercayaan.
Ketika agama Hindu masuk ke Indonesia rupanya kebatinan Hindu (Upanishad) ikut membentuk ajaran kebatinan di Indonesia. Harun Hadiwiyono dalam bukunya 'Kebatinan dan Injil' membagi aliran kebatinan menjadi 5 macam, yaitu (1) yang bersifat sederhana dalam ajaran seperti Paguyuban Sumaran; (2) aliran yang mirip seperti Sapta Dharma; (3) yang mendasarkan dirinya pada Al-Quran seperti Bratakesawa; (4) yang mendasarkan dirinya pada ajaran Kristen seperti Pangestu; dan (5) yang mencoba mengemukakan teori antropologi-biologi berdasarkan kebatinan seperti yang dipopulerkan oleh Paryana Suryadipura (buku Alam Pikiran).
1. Konsep Mengenai Yang Suci
Pada dasarnya aliran kebatinan mempercayai bahwa yang disebut sebagai 'yang suci' itu adalah zat semesta yang mendasari terjadinya segala sesuatu di alam ini. Hanya bedanya dengan monotheisme dimana 'yang suci' itu dipercayai sebagai berpribadi, dalam kebatinan, zat yang mutlak itu disebut tidak berpribadi yang juga disebut sebagai Macro Cosmos. Dalam Pangestu ada konsep nunp ketuhanan Islam dan Kristen tetapi bedanya konsep Allah ini tidak bersifat pribadi, dan kemiripan dengan agama Kristen terletak pada konsep tritunggal yaitu 'Allah Maha Esa' yang menyatakan diri sebagai Tri Purusa yang dimengerti sebagai 'Keadaan Satu yang bersifat tiga' yang disebut 'Sukma Kawekas, Sukma Sejati, dan Roh Suci' tetapi beda dengan tritunggal Kristen, disini Sukma Kawekas adalah Zat yang Mutlak itu, Sukma Sejati dianggap jelmaan Sukma Kawekas seperti Yesus, tetapi yang disebut Roh Suci adalah jiwa manusia atau manusia sejati dan hakekat manusia itu sendiri. Ia adalah Cahaya Allah dan sehakekat dengan Allah sendiri, dan Ia adalah satu dengan Sukma Sejati dan Sukma Kawekas.
2. Pernyataan Yang Suci
a). Orang-orang Suci
Kebatinan tidak mengenal nabi atau orang-orang suci dalam kedudukan struktural karena semua orang dapat mencapai kesucian dan kesempurnaan batinnya sendiri. Biasanya tokoh-tokoh pendiri aliran kebatinan dihormati sebagai tokoh pendiri saja.
 b). Tempat-tempat Suci
Tempat suci bagi pengikut kebatinan praktis tidak ada, hanya beberapa tempat khusus yang biasanya dianggap memiliki kekuatan gaib (angker) dianggap sebagai tempat suci, seperti gua tertentu, kuburan, pohon besar, gunung dsb.nya sebagai warisan animisme.
c). Kitab-kitab Suci
Biasanya aliran kebatinan tidak mempunyai kitab-kitab suci karena yang dipentingkan adalah jalan pribadi menuju keheningan cipta melalui jalan semedi/meditasi yang dipelajari dari orang ke orang. Pengajaran sifatnya adalah menurunkan hikmat pribadi dari satu orang ke orang lainnya.
3. Konsep Mengenai Manusia
Dalam kebatinan, manusia dianggap bagian dari Zat Semesta, jadi tuhan dan manusia dianggap sehakekat dan sezat. Manusia disebut sebagai Micro Cosmos dan jiwa manusia adalah bunga api ilahi. Manusia pada dasarnya adalah jiwa atau roh yang dibelenggu oleh badan kasar atau badan wadag yang sangat dipengaruhi oleh nafsunya.
4. Ungkapan Beragama Manusia
1). Jalan Keselamatan
Jalan keselamatan dalam kebatinan adalah bersatunya Micro Cosmos kembali kepada Macro Cosmos sumbernya. Jalan ini dengan tepat digambarkan dalam Paguyuban Sumarah sebagai: "Ilmu Sumarah adalah suatu ilmu kebatinan yang dengan jalan sujud sumarah (menyerahkan diri) mempelajari sampai tercapai bersatunya jiwa dengan Dhat yang Mahaesa." Kelepasan terjadi bila telah terjadi penyatuan itu atau terlepasnya jiwa dari tubuh manusia.
Berbeda dengan aliran Sumarah dan Sapta Dharma yang melakukan penyatuan dengan jalan meditasi, aliran Bratakesawa melakukan rasionalisasi kebatinan didasarkan ajaran Al-Quran dan menekankan amal atau perbuatan baik Kejawen adalah sinkretisasi kebatinan Hindu dengan Islam. Aliran Pangestu yang merupakan singkatan dari 'Paguyuban Ngesti Tunggal' yang berarti 'Persatuan untuk dapat ber tunggal. '
2). Komunitas Umat
Komunitas umat dalam kebatinan lebih merupakan paguyuban dimana umat melakukan pertemuan dan melakukan semedi bersama -sama, tetapi secara umum semedi mereka lakukan secara perorangan. Pengajaran diberikan tidak melalui perguruan tetapi melalui sistem pamong (pengasuhan).
3). Upacara Agama
Dalam kebatinan tidak ada upacara khusus seperti yang terdapat dalam agama -agama, tetapi yang ada adalah praktek semedi atau meditasi sebagai usaha untuk mencapai sujud yaitu penyatuan itu. Ciri khas aliran kebatinan adalah tujuannya yang diarahkan pada penyelamatan diri sendiri sehingga kurang memiliki tanggung jawab terhadap dunia ini seperti tugas sosial misalnya.
            KEPERCAYAAN KEPADA TUHAN YANG MAHAESA
Di lndonesia aliran kebatinan mengalami perkembangan yang menarik, karena bila selama ini berjalan sendiri-sendiri dan dicurigai banyak pihak, kemudian berusaha menempatkan diri sejajar dengan agama-agama lainnya, dan bersatu dibawah satu organisasi pengayom atau payung, dan sekalipun belum diakui sebagai agama, kedudukannya sudah diakui setara dengan ke-lima agama yang sudah diakui sejajar yaitu lslam, Kristen-Protestan, Kristen-Katolik, Hindu, dan Buddha.
 Menempatkan diri di antara agama-agama yang diakui, bagi aliran kebatinan tidaklah mudah karena pengertian mengenai tuhannya berbeda dengan agama-agama yang diakui pemerintah, itulah sebabnya dalam usaha menempatkan diri, ada usaha di kalangan kebatinan untuk menghindari perbedaan dan ingin menempatkan diri bukan sebagai pesaing agama-agama tetapi sebagai pelengkap yang melengkapi aspek batin dari agama -agama.
Setidaknya ada dua pendapat di kalangan agama-agama, disatu pihak ada yang menganggap kebatinan bisa menjadi pelengkap untuk menguatkan batin agama -agama tetapi dipihak lain ada pendapat yang mengatakan bahwa kebatinan lebih bersifat merusak agama, jadi harus ditolak, itulah sebabnya sampai sekarang kebatinan belum diakui sebagai agama tetapi diakui sebagai Aliran Kepercayaan yang dimasukkan dibawah Depdikbud.
1. Proses Pengakuan Pemerintah RI
Perkembangan aliran kebatinan menjadi aliran kepercayaan yang diakui pemerintah dimulai tahun 1945 dimana dalam UUD 1945 (pasal 29) disebutkan bahwa:
"Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu."

UUD ini mendorong berkembangnya aliran kepercayaan di lndonesia sehingga di tahun 1953 sudah terdapat 360 agama baru. Di tahun 1954 Depag mendirikan 'Pengawasan Aliran dan Kepercayaan Masyarakat' (PAKEM) yang dususul dengan 'Badan Kongres Kebatinan lndonesia' (BKKI) di Semarang (1955) dan di Solo (1956). Dari tahun 1956-1962 diadakan beberapa kongres dan seminar dan di tahun 1960 PAKEM diambil alih oleh Kejaksaan dan disusul 1961 dengan dikeluarkannya 'UU Pokok Pengawasan Preventip Terhadap Aliran-Aliran Kebatinan'. Di tahun 1966 didirikan 'Badan Musyawarah kebatinan' dibawah Sekber Golkar dan pada tahun 1968 didirikan 'Paguyuban Ulah Kebatinan se-Indonesia' (PUKSI). Simposium Nasional Yogya' (1970) meminta kepada Pemerintah RI agar keberadaan aliran kepercayaan diakui secara resmi sesuai UUD-1945 pasal 29 ini dilanjutkan dengan 'Munas Kepercayaan Yogya' pada tahun yang sama.Di tahun 1971, Jaksa Agung RI mencatat adanya 282 aliran kepercayaan, dan 167 aliran lain dilarang, sedangkan di tahun 1972, menurut berita PAKEM, jumlah aliran disebut ada 427 cabang kebatinan dari 217 aliran dan pengakuan pemerintah secara resmi dikeluarkan dalam ketetapan MPR tanggal 22 Maret 1973, ketetapan mana diperkuat dengan Ketetapan IV, MPR II di tahun 1978 dengan catatan bahwa aliran kepercayaan dipisahkan dari agama, tetapi tidak membentuk agama baru, dengan demikian, selanjutnya aliran kepercayaan di lndonesia diakui sejajar hak-haknya dari agama lain sekalipun bukan berbentuk agama.
BAB III
PENUTUP


3.1. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan pada Bab terdahulu, penulis dapat menarik  suatu kesimpulan yaitu :
Dalam perkembangan sejarah peradaban di wilayah nusantara (indonesia) telah dijumpai beberapa agama asli yang merupakan  kerohanian khas dari satuan bangsa atau dari suku bangsa. Bentuk-bentuk kerohanian tersebut dapat dijumpai di  Pulau  Nias, Mentawai (siberut),  Sumatera Utara (batak), Badui (banten), Dayak (kalimantan), Bali, Lombok (nusa tenggara) dan aliran kepercayaan.    Kerohanian tersebut timbul dan tumbuh secara spontan bersama (suku) bangsa itu sendiri. Dia murni tak bercampur dengan kerohanian agama lain dan pada hakekatnya hanya terdapat pada masyarakat yang tertutup terhadap pergaulan antar (suku) bangsa.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar