BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Berbagai jawaban dan definisi bisa diberikan oleh seseorang ketika
berbicara tentang pengertian agama,
tergantung dari sudut mana mereka melihat agama itu. Secara sederhana
ada yang menyebutkan bahwa agama itu adalah: “kepercayaan akan mahluk-mahluk
halus,” namun yang lainnya mencoba memberikan definisi yang lebih komprehensip
atau deskripsi mengenai praktek-prakteknya.
Sejak berkembangnya agama pada masyarakat primitip, agama berkembang
tanpa manusia merasa perlu mendifinisikan artinya, namun sejak perkembangan
ilmu pengetahuan, manusia berusaha untuk mengerti hakekat agama yang sudah
dianut manusia sejak kehadiran manusia dimuka bumi itu.
Tidak ada
manusia dari yang primitip sampai yang modern yang tidak mengenal agama atau
dalam pengertian primitip keyakinan akan hal-hal yang gaib/sihir/magi (magic).
Dalam masyarakat apapun selalu ada keyakinan mengenai adanya realita yang
dianggap kekal, baka dan suci (Sacred) dan realita alam nyata yang kita
diami yang bersifat tidak kekal, fana, dan duniawi (Profane). Menurut Mircea Eliade, tokoh sejarah
agama:
"Manusia menyadari realita yang suci (sacred) karena realita
itu menyatakan dirinya sebagai sesuatu yang samasekali berbeda kenyataannya
dari yang duniawi (profane). Pernyataan itu disebut sebagai hierophany."
Dalam hubungan dengan realita baka yang dianggap suci itu umumnya
orang-orang memandangnya dengan hormat disertai larangan dan pantangan bila
berhubungan dengannya. Keyakinan demikian diiringi dengan keyakinan adanya kekuatan
supranatural khususnya kekuatan gaib/sihir/magi, atau ide-ide mengenai adanya
mahluk halus, roh-roh, setan, roh nenek moyang yang telah mati, atau dewa-dewi
(gods) yang berasal atau berada dalam realita yang suci tersebut.
Beberapa dari satuan bangsa atau dari suku bangsa memiliki suatu
kepercayaan atau segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan kerokhanian yang
bersifat khas, tak terkecuali beberapa suku yang ada di indonesia. Kepercayaan (kegiatan kerokhanian) ini sering
disebut dengan istilah ”agama asli” seperti diungkapkan oleh rachmat
subagya.
Rachmat Subagya dalam bukunya merumuskan pengertian agama asli
sebagai berikut:
"Yang Dimaksudkan dengan agama asli adalah kerohanian khas dari
satuan bangsa atau dari suku bangsa, sejauh itu berasal dan diperkembangkan di
tengah-tengah bangsa itu sendiri dan tidak dipengaruhi oleh kerohanian bangsa
lain atau menirunya. Kerohanian
itu timbul dan tumbuh secara spontan bersama (suku) bangsa itu sendiri. Dia
murni tak bercampur dengan kerohanian agama lain dan pada hakekatnya hanya
terdapat pada masyarakat yang tertutup terhadap pergaulan antar (suku) bangsa.
Kerenanya agama yang mewadahi kerohanian semacam itu juga disebut agama etnis,
agama suku, agama preliterate atau agama sederhana."
Selanjutnya, Subagya juga menyebutkan bahwa sifatnya yang terikat tempat itu, bila kemudian berkontak dengan agama lain, mungkin mempertahankan diri sambil berkembang berkat unsur-unsur keagamaan dari luar. Unsur-unsur itu diolah dengan kerohanian semula, sedang corak khas asli tidak lenyap melainkan mewujudkan diri lebih lengkap. Kerohanian asli tersebut biasanya tidak diketahui secara reflektif, tidak pula dinyatakan dalam ajaran sistematis. Kerohanian itu dihayati dalam sikap batin terhadap Zat tertinggi - yang diberi nama apa saja - yang sifat hakekatnya mengatasi manusia. Dia diungkapkan dalam kepercayaan, kesusilaan, adat, nilai, upacara serta perayaan anekawarna. Melalui ungkapan lahir itu pokok batin dapat disadari, ditentukan dan dirinci lebih lanjut.
Manusia menurut kodratnya menyadari bahwa
ia terbatas dan lemah. Ia mengalami juga, bahwa jiwanya terarah kepada alam
lain yang mengatasi kelemahannya dan keterbatasannya. Alam rohani itu
dipikirkan olehnya sebagai wujud cita-citanya, sebagai sesuatu yang utuh, sempurna
dan membahagiakan. Di dalamnya kerinduan akan kebahagiaan dipenuhi; manusia
berusaha mengarahkan kegiatannya untuk mencapai kebahagiaan itu. Cara manusia
menggapai kebahagiaan tertinggi dan alam rohani pada bangsa-bangsa menunjukkan
adanya kesamaan yang mengesankan. Sudah barang tentu demikian, karena kesatuan asasi mengikat seluruh umat
manusia. Tetapi perbedaan juga cukup banyak dan mencolok.
Menurut Subagya, agama asli sebagai jenis
murni terutama terdapat pada suku-suku bangsa yang dikenal dengan nama protomela
yu. Leluhur mereka merupakan gelombang imigrasi tertua dari Asia Tenggara daratan ke Asia Tenggara kepulauan. Sedang jenis
yang tercampur biasa disebutkan sebagai deuteromelayu.
Di samping agama asli, agama itu bisa mengalami pencampuran bila berhubungan
dengan agama luar, baik agama yang senafas maupun agama yang berbeda sama
sekali, di sini terbentuk agama campuran. Percampuran itu bisa terjadi karena
pertemuan dua agama asli, namun bisa juga dialami karena kedatangan agama pendatang, yaitu Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen.
1.2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut di atas, dalam
penyusunan tulisan (paper) ini akan
dirumuskan satu pokok permasalahan yaitu :
1.
Bagaimanakah bentuk Ajaran dan
perkembangan “agama-agama asli” yang pernah berkembang di wilayah nusantara?
1.3. Tujuan Penulisan
Dalam
penyusunan tulisan (paper) ini
memiliki beberapa tujuan yaitu
:
1. Untuk mengetahui bentuk Ajaran dan perkembangan “agama-agama
asli” yang pernah berkembang di wilayah nusantara
2. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu
Perbandingan Agama
1.4. Metode Penulisan
Dalam
penyusunan tulisan (paper) ini mempergunakan metode Studi Kepustakaan
yaitu suatu cara untuk memperoleh data dengan jalan mengadakan penelitian kepustakaan, seperti melalui membaca,
mengutip materi, mencari dari beberapa website (internet) terkait dengan bentuk Ajaran dan perkembangan “agama-agama asli” yang pernah
berkembang di wilayah nusantara
BAB II
PEMBAHASAN
AGAMA ASLI DI NIAS
Di Nias,
terutama di bagian Tengah dan Selatan, konsep ketuhanan itu digambarkan dalam
bentuk alam atas, dimana dari sana menjelma nenek-moyang orang Nias bernama Hia
ke tempat yang bernama Sifalago di daerah Gomo, Nias Tengah. Dari turunan
nenek-moyang itu lahirlah petinggi-petinggi masyarakat yang hidup saling
terisolir, dan petinggi yang paling popular adalah yang dapat menunjukkan diri
sebagai keturunan langsung nenek-moyang yang asli.
Posisi dan
status para petinggi itu direfleksikan dalam panggilan mereka, seperti salawa
(tinggi) atau si 'ulu (yang naik), sedangkan pemimpin kebanyakan dikenal dengan
nama-nama seperti sihono (ribuan) atau sato (rakyat banyak). Para petinggi ini
menunjukkan kesejahteraannya dengan mengumpulkan emas, berlian, dan ornamen
sebanyak mungkin, rumah yang paling besar, pakaian kebesaran dengan kopiah yang
tinggi, dan duduk paling tinggi dalam upacara -upacara. Ini untuk menunjukkan
bahwa mereka mampu mempertahankan posisi otoritas mereka, dan bukan hanya itu,
tetapi juga untuk memnunjukkan bahwa mereka menjadi penghubung antara petinggi
dan pendiri desa yang bersangkutan.
Harta
kekayaan harus ditunjukkan bukan saja dalam bentuk emas dan berlian namun harus
dinyatakan dalam ukiran-ukiran ornament, demikian juga orang-orang yang sudah
menikah tidak saja harus menunjukkan banyaknya babi dan emas yang dimilikinya
tetapi menyatakannya dalam bentuk ornament-ornamen yang peresmiannya biasa
dilakukan dengan pesta upacara yang disebut owasa (Nias Utara) atau tawila
(Nias Selatan). Para petinggi dengan mengadakan pesta akan memperoleh gelar
baru.
Pada pesta
owasa, petinggi itu membagi-bagikan daging babi sesuai derajat hadirin. Daging
babi itu juga menunjukkan simbolis asi karena orang Nias percaya bahwa mereka
adalah babi-babi para dewa. Dulu dikatakan bahwa pengorbanan manusia pernah
dilakukan dalam owasa yang paling tinggi. Pesta-pesta juga berguna untuk mempererat dan agar
hubungan para petinggi dengan penduduk tetap sinambung.
Orang Nias
menyembah nenek-moyang melalui berbagai upacara, seperti melalui patung atau ukiran
(adu) yang menjadi alat perantara berhubungan dengan roh nenek moyang. Mereka
juga membuat meja sembahyang adu karena mereka sangat percaya bahwa kehidupan
nenek-moyang bisa mempengaruhi mereka yang hidup, karena itu, yang hidup harus
menyenangkan yang mati dengan berbagai upacara dan kurban, baik untuk tujuan
kelahiran atau pernikahan yang bahagia, atau untuk kesuburan tanah. Semua
kurban dalam pesta itu ditujukan untuk keseimbangan kosmis dalam pesta yang
disebut fondrako.
AGAMA ASLI DI SIBERUT (MENTAWAI)
Kepercayaan
ketuhanan di Siberut lebih mengarah ke animis dan mistik, sebab mereka percaya
bahwa segala sesuatu - manusia, binatang, tanam-tanaman dan benda-benda -
memiliki jiwa (simagere).
Dalam
pemanfaatan sesuatu, perlu diperhatikan harmonisasi dengan segala sesuatu,
karena itu di sini dipercayai banyak tabu-tabu yang tidak boleh dilanggar.
Mereka mempercayai adanya bajou, kekuatan tak berpribadi yang hadir dalam
segala sesuatu yang memiliki jiwa. Kekuatan ini akan terbangkitkan bila
seseorang melanggar keseimbangan dengan alam itu, seperti datangnya penyakit
atau kematian.
Juga
dipercayai bahwa jiwa dapat mengembara dalam mimpi dan bila mengalami kesukaran
dapat meminta bantuan para nenek-moyang, karena itu upacara penyembahan nenek
moyang penting. Disamping ini, upacara ritual termasuk kurban melalui perantara
juga penting agar kekuatan-kekuatan kebaikan datang dan menjauhkan
kekuatan-kekuatan jahat.
Orang
Siberut tinggal bersama dalam uma, yaitu rumah gadang yang ditinggali oleh
kurang lebih 5-10 keluarga. Dalam rumah ada pengatur upacara (rimata) dan juga
beberapa dukun (kerei), tetapi mereka tidak memiliki penguasa. Ada tiga
ketakutan yang biasa dihadapi penghuni uma, yaitu: (1) kesatuan uma yang rapuh;
(2) hubungan yang tidak menentu dengan tetangga-tetangga; dan (3) ketakutan
karena penyakit dan kematian yang disebabkan melanggar tabu. Melalui pesta
upacara secara periodic (pulialijat) yang berlangsung selama sebulan, ketiga
hal itu diharapkan dapat diperbaiki. Dalam upacara itu kekuatan-kekuatan
kebaikan diundang untuk memberkati uma. Jiwa nenek-moyang diundang masuk ke
dalam uma agar mempersatukan warga uma dalam solidaritas yang baru. Mereka juga
melakukan upacara perburuan di hutan untuk menyenangkan roh-roh penjaga hutan
agar kehidupan dapat berjalan dengan baik.
AGAMA ASLI DI BATAK (SUMATERA UTARA).
Kepercayaan
batak sangat kuat menekankan penyembahan nenek moyang yang selalu diusahakan
dekat dengan kehidupan mereka melalui kurban yang terus menerus. Upacara
melalui tari -tarian, karya pahatan dan musik memungkinkan masalalu memasuki masakini, dan para nenek moyang untuk memasuki
kehidupan anak-cucu mereka. Tugu adalah monumen penguburan.
Bagi
orang Batak asli sebelum masuknya agama Islam (1820, Batak Selatan) dan Kristen
(1850, Angkola dan Taba), akhir hidup karena kematian disangkal, mereka
berpendapat bahwa kematian hanya perpindahan wujud dan kehidupan berjalan
menerus dan hubungan timbal-balik antara yang hidup dan yang sudah mati tetap
berjalan terus melalui upacara kurban binatang, tari¬tarian dsb.nya (ini mirip
dengan agama nenek-moyang di Tiongkok/China). Agama Batak asli juga merupakan
perisai yang menjaga mereka dari serangan penyakit, musuh yang menyerang, dan
juga pengaruh alam roh.
Kekuatan-kekuatan
alam juga dimanfaatkan dalam kehidupan masyarakat dalam pertahanan diri maupun
sebagai perisai dalam perang. Pengulangan peringatan garis keturunan suku,
hubungan dengan yang mati, ucapan mantera tentang hubungan roh-roh yang mati
dan manusia hidup, dan berkat sehari-hari pada bayi yang baru dilahirkan untuk
melindungi dari penyakit dan kematian merupakan unsur penting dalam kehidupan
beragama Batak.
Upacara
sekitar tugu, tarian tortor (dulu upacara tortor di beberapa daerah diiringi
dengan kesurupan/trance), musik gondang, dan penggunaan ulas, merupakan upacara
melakukan hubungan dengan nenek moyang dan kekuatan-kekuatan mistik alam
supra-natural. Ulas memiliki daya magis untuk berbagai kebutuhan, seperti
pengobatan, hubungan dengan nenek-moyang, dan kesuburan. Penguburan kembali tulang-tulang
yang sudah lama dikubur juga merupakan usaha untuk tetap menghadirkan yang mati
ke dalam kehidupan pada masakini. Dalam upacara penguburan tulang yang sudah
mati selama 20 tahun, dipercaya bahwa roh orang mati itu sudah mencapai status
nenek¬moyang yang penuh.
Dalam
perkawinan upacara sahut-menyahut saling memberi kata-kata pantun berkat antara
wakil-wakil mempelai wanita dan pria bermaksud untuk mendatangkan kebahagian
dan kesehatan bagi kedua mempelai, kesuburan keluarga, dan juga kesuburan tanah
untuk menghidupi keluarga itu.Dalam pemberkatan rumah baru, keluarga Batak yan
berada mengadakan pesta upacara yang disebut harja. Dalam upacara ini
disembelih babi-babi atau kerbau, dan tuan rumah menunjukkan kekuatan dengan
membagikan daging kepada hadirin secara cukup termasuk tukar-menukar hadiah
bagi yang mampu.
Pada awal
kedatangan misi Kristen dari Eropah (Dimulai dengan German Rheinische Mission)
terjadi perang budaya dan sempat praktek tortor dan gondang dilarang dari
Tarutung ke Balige karena dianggap menghujat Tuhan, namun kemudian praktek
budaya itu bangun kembali di kalangan orang batak Kristen sekalipun tidak
memiliki makna mistik & magis sedalam sebelum kedatangan para misionari,
dan terutama untuk konsumsi turis.
AGAMA ASLI DI BADUI (BANTEN)
Dipercayai
bahwa tempat tinggal orang Badui adalah Pancar Bumi yang suci, dan nenek
moyang, sebagai turunan manusia pertama, menurunkan peraturan-peraturan hidup
dalam pikukuh. Bila seseorang melanggar, ia harus dikeluarkan dari kampung
tantu (dalam) ke kampung dangka (luar) dan harus mengalami upacara penyucian.
Orang badui dalam biasa kelihatan berpakaian putih sedangkan Badui Luar
berpakaian Biru-Hitam. Orang Badui dalam dilarang berhubungan dengan orang
luar, karena itu hubungan itu dilakukan melalui Badui Luar yang menjual barang
-barang hasil pertanian mereka ke kota-kota disekitar Badui.
Sesembahan
orang Badui disebut Batara Tunggal yang dianggap sebagai kekuatan yang maha
hadir yang bisa dipersonifikasikan sebagai manusia yang bijak dan suci. Nenek-moyang
dipercaya tinggal di kebuyutan di Sasaka Damas, di hulu sungai Ciujung. Orang
Badui mendapat tugas untuk tetap menjaga kesucian pusat bumi itu dengan cara
hidup sederhana, rendah hati, dan tidak merusak lingkungan, ini dicapai dengan
kehidupan yang asketik. Semua ini ditulis dalam pikukuh, yaitu kumpulan
peraturan nenek-moyang.
Menurut
orang badui, dunia terdiri dari 'unia atas'(buana nyungcung) yang dihuni
dewa-dewi dan nenek moyang, dan 'dunia bawah' (buana rarang). Manusia tinggal
di 'dunia tengah' (buana panca) yang berbentuk bentuk solid sekitar tiang
nenek-moyang yang dikenal sebagai Sasaka Pusaka Buana. Ini dianggap sebagai
pusar dunia (pancar bumi) yang berlokasi di Pamuntuan lereng sebelah Barat
gunung Kendeng. Lokasi
itu disebut Arca Damas dimana ada banyak batu megalitik. Setahun sekali orang
badui bersemedi di sini untuk membersihkan pusar dunia ini.
Orang
Badui menganggap bahwa mereka adalah keturunan 7 dewa Batar yang diutus oleh
Batara Tunggal, yang digambarkan sebagai kekuatan yang tidak
kelihatan yang hadir dimana-mana. Para nenek-moyang yang telah meninggal
dipercaya tinggal bersama di kabuyutan yang berlokasi di Sasaka Damas.
Kehdupan
orang badui berkisar pertanian dan upacara pertanian ditujukan kepada dewa/roh
Padi yang disebut Nyi Pohaci, yang melalui upacara
dibangunkan untuk menikah dengan bumi, penyatuan mana disebut Nyi Pohaci
Sanghyang Asri.
AGAMA ASLI DI DAYAK (KALIMANTAN)
Orang dayak
memiliki kepercayaan mirip orang Batak, mereka percaya bahwa manusia berasal
dari persatuan 'dewa langit' (diidentifikasikan sebagai burung enggang) dengan
laut atau 'dewi air' (diidentifikasikan sebagai naga). Manusia tinggal dalam 'dunia tengah' di antara
'dunia atas' dan 'dunia bawah'.
Orang
dayak percaya bahwa para dewa harus disenangkan pada waktu-waktu tertentu agar
memberikan kesejahteraan dan kedamaian bagi manusia. Manusia dipercayai
memiliki jiwa atau daya hidup sama halnya dengan semua benda alam yang harus
dijaga. Keteraturan dan keseimbangan hidup kosmis dicapai dengan
keharusan mengikuti Adat yang dianggap berasal dari para nenek moyang yang
menerimanya dari para dewa dan harus dijalankan turun-temurun agar hidup
memperoleh berkat dan kesuburan, bila tidak mereka akan mengalami malapetaka.
Adat
menjaga keseimbangan kosmis yang dikaitkan dengan
kesuburan tanah, dan menghindarkan mereka dari kemarahan dewa maupun gangguan
roh. Manusia dianggap memiliki tubuh dan jiwa, dan jiwa dapat meninggalkan
tubuh melalui mimpi dan berhubungan dengan roh-roh. Seseorang yang rohnya tidak
kembali akan mengalami sakit atau kerasukan roh jahat dan bila tetap demikian
akan mati. Pertolongan diperoleh melalui para dukun yang akan mengusir roh
jahat dan memanggil roh orang itu kembali. Orang mati rohnya perlu diantar
langsung ke dunia orang mati agar tidak mengganggu yang hidup, ini dilakukan
melalui upacara-upacara penguburan dan tabu-tabu.
AGAMA ASLI BALI GUNUNG (PULAU BALI)
Bali
memiliki agama asli disebut Bali Kuna ( Bali Aga) yang dipercaya penduduk
pegunungan di Bali sekitar gunung-gunung Agung, Seraya (Karangasem), Batur
(Bangli), batukau (Tabanan), yang mempercayai adanya 'bapak langit' (Sang Hyang
Aji Akasa) dan 'bumi' yang diperintah oleh Ibu Pertiwi. Segala sesuatu dalam
alam ini terjadi karena perpaduan keduanya dan harus dijaga sesuai kesimbangan kosmis
yang dualistis melalui upacara-upacara.
Upacara
tidak ditujukan kepada mereka melainkan kepada nenek moyang yang dilakukan
dalam pusat-pusat upacara atau banua. Pura terbesar dan tertua adalah Pura
Pucak Penulisan (di Sukawana) dengan Pura Kauripan di dalamnya sebagai sumber
rohani. Upacara-upacara dilakukan demi keseimbangan kosmis dan berpusat di pura
yang dianggap sebagai tempat tinggal nenek-moyang mereka.
AGAMA ASLI DI LOMBOK
Pulau
Lombok dihuni orang Sasak yang sekalipun masakini umumnya menganut agama Islam
yang disebut waktu lima, ada juga keturunan agama sinkretik asli yang disebut
wetu telu (tiga waktu). Penganut yang masih mengikuti wetu telu masih bsa
dijumpai di daerah -daerah terisolir seperti di Lombok bagian Utara dan
Selatan.
Agama
Wetu Telu Lombok memiliki kemiripan dengan agama Hindu-Bali maupun Kejawen
(Jawa-Islam). Kesamaan utama adalah kepercayaan nenek-moyang, dimana dianggap
bahwa ada penerusan hidup sesudah mati (mirip agama nenek moyang
Tionghoa/China). Selama hidup roh manusia dapat berkelana selagi tidur (dalam
bentuk mimpi), dan ketika meninggal roh itu meninggalkan tubuh berkelana tanpa
tempat tinggal. Untuk menghindari roh kelana ini mengganggu manusia hidup,
dilakukan upacara-upacara agar roh itu berkumpul dengan nenek-moyang.
Roh
nenek-moyang masih tetap berhubungan dengan manusia dan mempengaruhi hidup
manusia, karena itu roh itu diundang dalam upacara dan dimintai berkatnya bagi
yang hidup. Roh-roh nenek-moyang ini juga membantu masyarakat menghadapi
gangguan supra-natural maupun serangan luar. Juga dipercayai kekuatan tidak
berpribadi dalam alam yang menguasai semua bagian alam dan harus dihayati dalam
keseimbangan.
Dalam
sinkretisme dengan agama Islam yang berpusat di mesjid wetu telu Islam di
Bayan, mereka tidak melakukan ibadah jumat tetapi merayakan Ramadan dan hari
kelahiran nabi Muhammad, dalam upacara itu juga ada kurban-kurban termasuk
menggunaan lambang patung naga. Pertemuan dua jumat berturut-turut dilakukan
bila terjadi bencana alam dimana para kya bertemu untuk sembahyang bersama
untuk keseimbangan alam.
ALIRAN KEPERCAYAAN
Aliran
kepercayaan atau faham kebatinan/mistik di Indonesia sudah terlihat jejaknya
sejak kuno. Setidak-tidaknya agama-agama suku yang asli mempercayai kekuatan
mana dan animisme yang kemudian berkembang menjadi ajaran mistisisme atau
kebatinan sebelum kemudian diresmikan dengan nama aliran kepercayaan.
Ketika
agama Hindu masuk ke Indonesia rupanya kebatinan Hindu (Upanishad) ikut
membentuk ajaran kebatinan di Indonesia. Harun Hadiwiyono dalam bukunya
'Kebatinan dan Injil' membagi aliran kebatinan menjadi 5 macam, yaitu (1) yang
bersifat sederhana dalam ajaran seperti Paguyuban Sumaran; (2) aliran yang
mirip seperti Sapta Dharma; (3) yang mendasarkan dirinya pada Al-Quran seperti
Bratakesawa; (4) yang mendasarkan dirinya pada ajaran Kristen seperti Pangestu;
dan (5) yang mencoba mengemukakan teori antropologi-biologi berdasarkan
kebatinan seperti yang dipopulerkan oleh Paryana Suryadipura (buku Alam
Pikiran).
1. Konsep Mengenai Yang Suci
Pada dasarnya aliran
kebatinan mempercayai bahwa yang disebut sebagai 'yang suci' itu adalah zat
semesta yang mendasari terjadinya segala sesuatu di alam ini. Hanya bedanya
dengan monotheisme dimana 'yang suci' itu dipercayai sebagai berpribadi, dalam
kebatinan, zat yang mutlak itu disebut tidak berpribadi yang juga disebut
sebagai Macro Cosmos. Dalam Pangestu ada konsep nunp ketuhanan Islam dan
Kristen tetapi bedanya konsep Allah ini tidak bersifat pribadi, dan kemiripan
dengan agama Kristen terletak pada konsep tritunggal yaitu 'Allah Maha Esa'
yang menyatakan diri sebagai Tri Purusa yang dimengerti sebagai 'Keadaan Satu
yang bersifat tiga' yang disebut 'Sukma Kawekas, Sukma Sejati, dan Roh Suci'
tetapi beda dengan tritunggal Kristen, disini Sukma Kawekas adalah Zat yang
Mutlak itu, Sukma Sejati dianggap jelmaan Sukma Kawekas seperti Yesus, tetapi
yang disebut Roh Suci adalah jiwa manusia atau manusia sejati dan hakekat
manusia itu sendiri. Ia adalah Cahaya Allah dan sehakekat dengan Allah sendiri,
dan Ia adalah satu dengan Sukma Sejati dan Sukma Kawekas.
2. Pernyataan Yang Suci
a). Orang-orang Suci
Kebatinan tidak mengenal nabi
atau orang-orang suci dalam kedudukan struktural karena semua orang dapat
mencapai kesucian dan kesempurnaan batinnya sendiri. Biasanya tokoh-tokoh
pendiri aliran kebatinan dihormati sebagai tokoh pendiri saja.
b). Tempat-tempat Suci
Tempat suci bagi pengikut
kebatinan praktis tidak ada, hanya beberapa tempat khusus yang biasanya
dianggap memiliki kekuatan gaib (angker) dianggap sebagai tempat suci, seperti
gua tertentu, kuburan, pohon besar, gunung dsb.nya sebagai warisan animisme.
c). Kitab-kitab Suci
Biasanya aliran kebatinan
tidak mempunyai kitab-kitab suci karena yang dipentingkan adalah jalan pribadi
menuju keheningan cipta melalui jalan semedi/meditasi yang dipelajari dari
orang ke orang. Pengajaran sifatnya adalah menurunkan hikmat pribadi dari satu
orang ke orang lainnya.
3. Konsep Mengenai Manusia
Dalam kebatinan, manusia
dianggap bagian dari Zat Semesta, jadi tuhan dan manusia dianggap sehakekat dan
sezat. Manusia disebut sebagai Micro Cosmos dan jiwa manusia adalah bunga api
ilahi. Manusia pada dasarnya adalah jiwa atau roh yang
dibelenggu oleh badan kasar atau badan wadag yang sangat dipengaruhi oleh
nafsunya.
4. Ungkapan Beragama Manusia
1). Jalan Keselamatan
Jalan keselamatan dalam
kebatinan adalah bersatunya Micro Cosmos kembali kepada Macro Cosmos sumbernya.
Jalan ini dengan tepat digambarkan dalam Paguyuban Sumarah sebagai: "Ilmu
Sumarah adalah suatu ilmu kebatinan yang dengan jalan sujud sumarah
(menyerahkan diri) mempelajari sampai tercapai bersatunya jiwa dengan Dhat yang
Mahaesa." Kelepasan terjadi bila telah terjadi penyatuan itu atau
terlepasnya jiwa dari tubuh manusia.
Berbeda dengan aliran Sumarah
dan Sapta Dharma yang melakukan penyatuan dengan jalan meditasi, aliran
Bratakesawa melakukan rasionalisasi kebatinan didasarkan ajaran Al-Quran dan
menekankan amal atau perbuatan baik Kejawen adalah sinkretisasi kebatinan Hindu
dengan Islam. Aliran Pangestu yang merupakan singkatan dari 'Paguyuban Ngesti
Tunggal' yang berarti 'Persatuan untuk dapat ber tunggal. '
2). Komunitas Umat
Komunitas umat dalam
kebatinan lebih merupakan paguyuban dimana umat melakukan pertemuan dan
melakukan semedi bersama -sama, tetapi secara umum semedi mereka lakukan secara perorangan. Pengajaran diberikan tidak melalui
perguruan tetapi melalui sistem pamong (pengasuhan).
3). Upacara Agama
Dalam kebatinan tidak
ada upacara khusus seperti yang terdapat dalam agama -agama, tetapi yang ada
adalah praktek semedi atau meditasi sebagai usaha untuk
mencapai sujud yaitu penyatuan itu. Ciri khas aliran kebatinan adalah tujuannya
yang diarahkan pada penyelamatan diri sendiri sehingga kurang memiliki tanggung
jawab terhadap dunia ini seperti tugas sosial misalnya.
KEPERCAYAAN KEPADA TUHAN YANG MAHAESA
Di
lndonesia aliran kebatinan mengalami perkembangan yang menarik, karena bila
selama ini berjalan sendiri-sendiri dan dicurigai banyak pihak, kemudian
berusaha menempatkan diri sejajar dengan agama-agama lainnya, dan bersatu
dibawah satu organisasi pengayom atau payung, dan sekalipun belum diakui
sebagai agama, kedudukannya sudah diakui setara dengan ke-lima agama yang sudah
diakui sejajar yaitu lslam, Kristen-Protestan, Kristen-Katolik, Hindu, dan
Buddha.
Menempatkan diri di antara agama-agama yang
diakui, bagi aliran kebatinan tidaklah mudah karena pengertian mengenai
tuhannya berbeda dengan agama-agama yang diakui pemerintah, itulah sebabnya
dalam usaha menempatkan diri, ada usaha di kalangan kebatinan untuk menghindari
perbedaan dan ingin menempatkan diri bukan sebagai pesaing agama-agama tetapi
sebagai pelengkap yang melengkapi aspek batin dari agama -agama.
Setidaknya
ada dua pendapat di kalangan agama-agama, disatu pihak ada yang menganggap
kebatinan bisa menjadi pelengkap untuk menguatkan batin agama -agama tetapi
dipihak lain ada pendapat yang mengatakan bahwa kebatinan lebih bersifat
merusak agama, jadi harus ditolak, itulah sebabnya sampai sekarang kebatinan
belum diakui sebagai agama tetapi diakui sebagai Aliran Kepercayaan yang
dimasukkan dibawah Depdikbud.
1. Proses Pengakuan
Pemerintah RI
Perkembangan aliran
kebatinan menjadi aliran kepercayaan yang diakui pemerintah dimulai tahun 1945
dimana dalam UUD 1945 (pasal 29) disebutkan bahwa:
"Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaan itu."
UUD
ini mendorong berkembangnya aliran kepercayaan di lndonesia sehingga di tahun
1953 sudah terdapat 360 agama baru. Di tahun 1954 Depag mendirikan 'Pengawasan
Aliran dan Kepercayaan Masyarakat' (PAKEM) yang dususul dengan 'Badan Kongres
Kebatinan lndonesia' (BKKI) di Semarang (1955) dan di Solo (1956). Dari tahun
1956-1962 diadakan beberapa kongres dan seminar dan di tahun 1960 PAKEM diambil
alih oleh Kejaksaan dan disusul 1961 dengan dikeluarkannya 'UU Pokok Pengawasan
Preventip Terhadap Aliran-Aliran Kebatinan'. Di tahun 1966 didirikan 'Badan
Musyawarah kebatinan' dibawah Sekber Golkar dan pada tahun 1968 didirikan
'Paguyuban Ulah Kebatinan se-Indonesia' (PUKSI). Simposium Nasional Yogya'
(1970) meminta kepada Pemerintah RI agar keberadaan aliran kepercayaan diakui
secara resmi sesuai UUD-1945 pasal 29 ini dilanjutkan dengan 'Munas Kepercayaan
Yogya' pada tahun yang sama.Di tahun 1971, Jaksa Agung RI mencatat adanya 282
aliran kepercayaan, dan 167 aliran lain dilarang, sedangkan di tahun 1972,
menurut berita PAKEM, jumlah aliran disebut ada 427 cabang kebatinan dari 217
aliran dan pengakuan pemerintah secara resmi dikeluarkan dalam ketetapan MPR tanggal 22 Maret 1973, ketetapan mana diperkuat
dengan Ketetapan IV, MPR II di
tahun 1978 dengan catatan bahwa aliran kepercayaan dipisahkan dari agama,
tetapi tidak membentuk agama baru, dengan demikian, selanjutnya aliran
kepercayaan di lndonesia diakui sejajar hak-haknya dari agama lain sekalipun
bukan berbentuk agama.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan pada Bab
terdahulu, penulis dapat menarik suatu
kesimpulan yaitu :
Dalam perkembangan sejarah peradaban
di wilayah nusantara (indonesia) telah dijumpai beberapa agama asli yang
merupakan kerohanian khas dari satuan
bangsa atau dari suku bangsa. Bentuk-bentuk kerohanian tersebut dapat dijumpai
di Pulau
Nias, Mentawai (siberut),
Sumatera Utara (batak), Badui (banten), Dayak (kalimantan), Bali, Lombok
(nusa tenggara) dan aliran kepercayaan. Kerohanian tersebut timbul dan tumbuh secara
spontan bersama (suku) bangsa itu sendiri. Dia murni tak bercampur dengan
kerohanian agama lain dan pada hakekatnya hanya terdapat pada masyarakat yang
tertutup terhadap pergaulan antar (suku) bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar