HUBUNGAN ILMU DAN AGAMA
A. Pendahuluan
Selama abad yang lalu, dan sebagian abad
sebelumnya, tersebar luas pandangan bahwa ada pertentangan yang tidak dapat
didamaikan antara ilmu dan agama. Pandangan yang dianut oleh tokoh zaman itu
adalah bahwa sudah saatnya iman digantikan oleh pengetahuan. Iman yang tidak
bersandar pada pengetahuan adalah takhayul, dan karenanya harus ditolak. Menurut
konsepsi ini (rasionalis ekstrim), fungsi satu-satunya pendidikan adalah untuk
membuka jalan kepada segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh pemikiran manusia
Ketika
seseorang menyadari bahwa untuk mencapai suatu tujuan diperlukan suatu cara, di
situ cara itu sendiri sudah menjadi tujuan. Meskipun demikian, berpikir semata
tidak dapat menjadi suatu kepekaan atau rasa akan tujuan akhir. Pada
bagian inilah tampaknya peranan terpenting
yang harus dimainkan oleh agama dalam kehidupan sosial manusia. Yaitu, untuk
memperjelas tujuan dan penilaian fundamental, dan untuk menancapkannya dalam
kehidupan emosional manusia yang kemudian muncul sebagai tradisi yang kuat, yang
mempengaruhi perilaku, harapan-harapan, dan penilaian anggotanya tanpa harus
menemukan justifikasi bagi keberadaannya. Tujuan-tujuan itu maujud tanpa
melalui pembuktian atau demonstrasi, tetapi melalui semacam pewahyuan, dengan
perantaraan pribadi-pribadi tangguh. Tak perlu menjustifikasinya, tetapi yang
penting adalah merasakan hakikatnya, secara sederhana dan jernih.
Pada saat ini, meskipun wilayah agama dan ilmu
masing-masing sudah saling membatasi dengan jelas, namun bagaimanapun juga ada
hubungan dan ketergantungan timbal balik yang amat kuat di antara keduanya.
Meskipun agama adalah yang menentukan tujuan, namun dalam perkembangannya,
agama telah berkembang dalam arti luas, yaitu mengadopsi dari ilmu tentang
cara-cara apa yang akan menyumbang pencapaian tujuan-tujuan yang telah
ditetapkannya. Dan ilmu hanya dapat diciptakan oleh mereka yang telah
teri-lhami oleh aspirasi terhadap kebenaran dan pemahaman. Sumber perasaan ini,
tumbuh dari wilayah agama. Termasuk juga disini adalah kepercayaan akan kemungkinan
bahwa pengaturan yang absah bagi dunia kemaujudan ini bersifat rasional, yaitu
dapat dipahami nalar. Keadaan ini dapat
diungkapkan dengan suatu citra ; ilmu tanpa agama adalah lumpuh, agama tanpa
ilmu adalah buta.
B. HUBUNGAN
ANTARA ILMU DAN AGAMA
Perkembangan pemikiran manusia telah
membawa perbedaan tingkat pemahaman dalam memandang suatu objek. Hal ini
mungkin disebabkan oleh tingkat kecerdasan, pola pikir dan sudut pandang yang
berbeda-beda dalam memandang suatu hal. Ada beberapa pandangan para ahli
tentang hubungan ilmu dan agama, terkadang ilmu dan agama dianggap sebagai hal
yang saling bertolak belakang, namun ada juga yang beranggapan bahwa agama dan
ilmu pengetahuan dapat selaras dalam mengkaji suatu kebenaran.
Ada beberapa anggapan tentang kaitan ilmu pengetahuan dan agama.
1). Konflik,
yaitu mengangap Ilmu dan Agama bertentangan dalam memberi pernyataan pada
domain yang sama. 2). Independensi yaitu menganggap Ilmu dan
Agama terpisah, tidak mementingkan diri
sendiri dan tidak saling mencampuri, ilmu dan agama memiliki ruang lingkup yang
berbeda-beda. 3). Dialog, yaitu
menganggap Ilmu dan Agama sebagai
mitra dialog dalam mengkaji persoalan-persoalan dunia. 4). integrasi yaitu
menganggap ilmu dan agama saling terkait (menyatu) hal ini berangkat
dari tradisi keagamaan tertentu, dan beragumen bahwa beberapa keyakinan dapat dirumuskan kembali dengan penjelasan ilmiah, sehingga
muncul istilah “Ilmu tanpa
Agama adalah Pincang, Agama tanpa Ilmu adalah Buta”.
Munculnya perbedaan
anggapan tersebut disebabkan oleh kriteria-kriteria yang menjadi ciri ilmu
pengetahuan dan agama itu sendiri. Secara umum Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang (1) disusun metodis, sistematis
dan koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan
(realitas), dan yang (2) dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala
tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut. Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan
yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Batas penjelajahan ilmu sempit
sekali, hanya sepotong atau sekeping saja dari sekian permasalahan kehidupan
manusia, bahkan dalam batas pengalaman manusia itu, ilmu hanya berwenang
menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Sedangkan agama Melihat alam dalam kaitan dengan kenyataan dan penghayatan eksistensial. Bukan kebenaran faktual, tetapi
kebenaran transendetal hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk dapat memahami dan mendalami secara radikal
integral daripada segala sesuatu yang ada mengenai : 1). Hakekat tuhan, 2).
Hakikat alam semesta, dan 3). Hakikat manusia termasuk sikap manusia terhadap
hal tersebut sebagai konsekuensi logis daripada pahamnya tersebut.
Dalam Rg.
Veda I.164.46 disebutkan bahwa “Agama dan Ilmu Pengetahuan sama-sama alat untuk mendekati kebenaran yang merupakan sifat kuasa Tuhan”. Dari petikan tersebut dapat disimpulkan bahwa
agama dan ilmu pengetahuan berjalan bersama dan bersifat saling melengkapi
(komplementer) untuk mencari dan mengkaji suatu kebenaran. Dalam kehidupan
manusia tidak terlepas dari hal yang bersifat nyata / riil (dapat ditangkap
oleh indria) dan hal yang bersifat abstrak ( hanya dapat ditangkap oleh
perasaan), berdasar hal tersebut ilmu pengetahuan dan agama diperlukan untuk
membedah suatu fenomena sesuai dengan bidang kajian.
Umat hindu yakin segala
sesuatu berasal dari kekuatan absolut (brahman), tidak ada hal yang lepas dari
kekuatan brahman. Ilmu pengetahuan merupakan suatu cara yang dberikan untuk
mengkaji suatu kebenaran dalam menjalani proses kehidupan.
Somanadum swaranam krnuhi brahmanaspate
Kaksi wantam ya ausijah
Artinya :
O...Tuhan penjaga atau arah mula
Weda, jadikanlah aku, sebagai seorang anak dari orang yang pandai memiliki
kemampuan yang berbagai macam untuk mendapatkan pengetahuan, sebagai orang yang
akan mengamalkan perintah dan sebagai seorang yang memenuhi tujuan pendidikan.
(Yajur Weda. II.28)
Sikap yakin kepada kebenaran absolut (agama) tidak
menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa
sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pengetahuan. Jika proses itu memiliki
ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat
dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
Pada hakikatnya kelahiran cara berfikir ilmiah itu
merupakan suatu revolusi besar dalam dunia ilmu pengetahuan, karena sebelum itu manusia lebih banyak
berpikir menurut gagasan-gagasan magic dan mitologi yang bersifat gaib dan
tidak rasional. Dengan berilmu dan berfilsafat manusia ingin mencari hakikat
kebenaran daripada segala sesuatu Dalam berkelana mencari pengetahuan dan kebenaran itu menusia pada akhirnya tiba pada kebenaran yang absolut
atau yang mutlak yaitu ‘Causa Prima’
daripada segala yang ada yaitu Tuhan Maha Pencipta, Maha Besar, dan Mengetahui.
Manusia adalah mahluk pencari
kebenaran, dalam mencari kebenaran itu manusia selalu bertanya. Dalam
kenyataannya makin banyak manusia makin banyaklah pertanyaan yang timbul.
Manusia ingin mengetahui perihal sangkanparan-nya,
asal mula dan tujuannya, perihal kebebasannya dan kemungkinan-kemungkinannya.
Dengan sikap yang demikian itu manusia sudah menghasilkan pengetahuan yang luas
sekali yang secara sistematis dan metodis telah dikelompokan ke dalam berbagai
disiplin keilmuwan, sehingga dapat disimpulkan dari keyakinan manusia untuk
mencari suatu kebenaran (agama) kemudian munculah berbagai macam disiplin ilmu
pengetahuan (ilmu).
C. KESIMPULAN
Dalam masyarakat ada beberapa pendapat
mengenai hubungan antara agama dan ilmu, yang dapat dibagi menjadi empat
golongan yaitu :
- Mereka yang beranggapan bahwa agama adalah agama, ilmu adalah ilmu, tidak dapat disatukan dalam kesatuan yang akan dijadikan petunjuk jalan di dunia ini. Mereka bersikap netral, jadi seseorang boleh memilih salah satu diantaranya dalam mengarungi kehidupan.
- Mereka yang hanya percaya kepada benda-benda saja, seperti orang orang Carvaka. Mereka hanya hidup untuk satu kali saja, oleh karena itu nikmatilah hidup sepuas-puasnya.
- Mereka yang hanya percaya dengan agama. Mereka tidak menerima hasil-hasil ilmu sehingga kehidupan menjadi statis dan tidak ada perubahan.
- Mereka yang mempercayai kedua-duanya, agama dan ilmu sekaligus. Agama sebagai pedoman dan ilmu sebagai pengerak.
Agama menunjukan jalan kepada manusia,
agar ia senantiasa mengikuti tuntunan Sang Hyang Widhi Demi keselamatanya. Ilmu
memberikan manusia kemampuan agar ia lebih berhasil menaikan kesejahteraan
jasmani dan rohaninya. Dalam kitab suci weda terdapat sejumlah sloka yang
memberikan bimbingan kepada para ilmuan agar mereka dapat memanfaatkan alam
dengan tetap berpedoman kepada dua hal yaitu : hasil-hasil dari alam hendaknya
dipergunakan bagi kesejahteraan manusia dan semua yang hidup di dunia ini, dan
dalam mengelola alam selalu berpedoman kepada kelestarian dan kesehatan alam
tersebut. Bila ketentuan itu dipenuhi maka kesejahteraan akan tercipta, namun
apabila ilmu (teknologi) dikembangkan tanpa bimbingan agama maka kehancuran
alam niscaya segera terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar