Prajanartha
striyah srstah
Samtanartham
ca manawah
Tasmat
sadharano dharmah
ςrutau
patnya sahaditah
Vedasmrti. IX.96
Untuk menjadi ibu, wanita itu diciptakan dan
untuk menjadi ayah , laki-laki itu diciptakan
Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam
Veda
Untuk dilakukan oleh suami beserta dengan istrinya.
Sejak
awal kehidupan manusia, ternyata bersatunya antara seorang wanita dengan
seorang laki-laki yang disimbulkan akasa
dan pertiwi sebagai cakal bakal
sebuah kehidupan baru yang diawali dengan lembaga perkawinan. Hendaknya
laki-laki dan perempuan yang telah terikat dalam ikatan perkawinan selalu
berusaha agar tidak bercerai dan selalu menyintai dan setia sampai hayat
hidupnya, jadikanlah hal ini sebagi hukum yang tertinggi dalam ikatan
suami-istri (G.Pudja MA, 2002 :561). Keluarga yang dibentuk hanya berlangsung
sekali dalam hidup manusia, keluarga atau rumah tangga bukanlah semata-mata
tempat berkumpulnya laki dan wanita sebagai pasangan suami istri dalam satu
rumah, makan-minum bersama. Namun mengupayakan terbinanya kepribadian dan
ketenangan lahir dan bathin, hidup rukun dan damai, tentram, bahagia dalam
upaya menurunkan tunas muda yang suputra (Jaman, 195 :3).
Menurut Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Bab I
Pasal 1:
Menyebutkan
bahwa perkawinan ialah ikatan lahir dan bhatin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa.
Pasal 2 :
Menyebutkan
bahwa perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
Perkawinan
menurut pandangan Hindu bukanlah sekedar legalitas hubungan bilologis semata
tetapi merupakan suatu peningkatan nilai berdasarkan hukum Agama, karena Wiwaha samkara adalah merupakan upacara
sakral atau sakralisasi peristiwa kemanusiaan yang bersifat wajib ( G. Pudja, MA,
2002 :80). Keluarga bahagia yang menjadi tujuan wiwaha samkara dalam
terminologi Hindu disebut keluarga Sukhinah merupakan unsur yang sangat
menentukan terbentuknya masyarakat sehat (sane society).
Tujuan
Grhasta
Beranjak
dari Veda Smrthi Bab. IX Sloka 45 menegaskan bahwa ia yang merupakan orang
sempurna yang terdiri atas tiga orang menjadi satu : istrinya, ia sendiri dan
keturunannya .Begitu pula dikatakan tidak ada bedanya sama sekali antara Dewi
Sri (Dewi Kemakmuran ) dengan istri dirumah, yang dikawinkan dengan tujuan
untuk mempunyai keturunan membawa kebahagiaan dan layak dipuja sebagai pelita
rumah tangga (Veda Smrthi. XI.26). Kata anak dalam bahasa sankerta “Putra” kata
putra berarti kecil, yang disayang, kata putra menjadi penting dalam
berkeluarga, hal secara tegas seperti sloka berikut :
Pumnamo
narakadyas
Mattraya
te pitaram sutah,
Tasmat
putra iti proktah
Swayamewaswayambhuwa
Artinya
Oleh
karena seorang anak yang akan menyeberangkan orang tuanya dari neraka yang
disebut Put (neraka lantaran tidak punya keturuanan ), oleh karenanya ia
disebut putra.
Sehingga
arti dan maksud kata Putra pada hakekatnya adalah ia yang menyelamatkan atau
menyebrangkan roh orang tua/leluhurnya dari neraka mencapai sorga.
Apakah
semua anak dapat membahagiakan keluarganya, tentu tidak karena kita sering
melihat dan mendengar istilah anak durhaka, anak penghacur keluarga. Namun anak
yang dimaksudkan dalam tujuan perkawinan Hindu adalah anak yang suputra yang
senantiasa membahagiakan keluarganya ( PGAHN, 1987:26).
Pentingnya
berkeluarga untuk tujuan kebahagiaan dan penyelamatan dari neraka, juga
dinyatakan bahwa Jaratkaru yang melihat orang tua yang tergantung di bambu
petung pangkalnya digigit tikur di pinggir jurang. Karena tersentak hatinya
barkatalah Jaratkaru :
Ling Sang Jaratkaru : aparan ta
rahadyan sanghulun kabeh, ginatung ri petung sawulih, meh tikela deni panigit
ing tikur, ikang jurang ri sornya tan kinawruhan jero nika. Ya tikangde
larangeresi manah ninghuluh, moghawelas ahyun tumulunge kita.
Apakah
sebabnya tuanku sekalian bergantung dibuluh yang hampir putus oleh gigitan
tikus, sedang dibawahnya jurang yang tiada terduga dalamnya. Perbuatan itulah
yang menyebabkan hamba, kasihan hamba melihat, dan hamba akan menolong
Menjawablah
orang yang tergantung di buluh petung :
“kunang tapan pegat wangsa mami.
Nahan ta mami n pegat sangkeng pitraloka, magantungan petungan sawulih, kangken
tibeng narakaloka; tattwa nikang petung sawulih, hana wangsa mami sasiki,
Jaratkaru ngaranya. Ndan moksa wih ta ya, mahyun luputeng sarwajanmabandhana,
tatan pastry”
Karena
keturunan kami terputus. Itulah sebabnya saja pisah dari dunia leluhur,
bergantung dibuluh petung ini, seakan-akan sudah masuk neraka. Ada seorang
keturunan saya bernama Jaratkaru, ia moksa (pergi ) untuk melepaskan ikatan
kesengsaraan orang, ia tiada beristri ( Adiparwa 1938 :35)
Demikianlah
pentingnya posisi spiritual dari seorang anak dalam keluarga Hindu, karena
kelahiran anak yang suputra akan membahagiakan keluarganya dan membuka sorga
setelah kematian leluhurnya. Namun untuk mendapatkan anak yang suputra sebagai
sumber kebahagiaan keluarga ( yan ning
putra suputra sadhu gunawan mamadangi ri kula wandawa), tidaklah semudah
membalikkan telapak tangan.
Untuk ini diperlukan serangkaian proses yang cukup
panjang :
Tahap
1. Menentukan Areal Rumah Tangga
Setelah
seseorang melakukan samskara wiwaha, maka ada tempat tinggal pasangan
suami-istri tersebut yang dinamakan rumah tempat tinggal yang lazim kita sebut
sebagai Rumah Tangga yang didalamnya lengkap dengan kehidupan suami-istri dalam
areal rumah tempat tinggalnya. Massyarakat Hindu selalu berusaha bersikap hidup
dalam keseimbangan alam semesta. Keseimbangan tatanan hidup dengan alam semesta
berporos pada konsep hulu-teben, sakral-profan,
yang akhirnya areal rumah tinggal dibagi menjadi tiga zone, sesuai dengan nilai
sakral (utama), nilai sedang (madya), dan nilai profan (kanista) yang disebut Tri Mandala.
Dari
konsep Tri Mandala ini lahirlah konsep sanga
mandala dengan menempat arah airsanya
(kaja kangin) yang dinyatakan areal
yang paling sakral sebagai pengejawantahan konsep niskala ke skala konsep
Dewata nawa sanga. Kesembilan dewa yang menguasai penjuru mata angin ini sangat
berpengaruh terhadap tata letak bangunan berdasarkan fungsinya ( Sulistyawati,
1998 :46). Penempatan tiap-tiap bangunan yang mempunyai fungsi religi selalu mengikuti
arah dewa yang menguasainya. Misalnya letak dapur diletakkan di arah selatan,
disesuaikan dengan arah yang dikuasai oleh Dewa Brahma (Dewa panas/api) dalam
kosmologi Hindu. Sumur di sebelah utara berseberangan dengan dapur, disesuaikan
dengan arah Dewa Wisnu ( Sulistyawati,1998 :48).
Bila
kita akan membangun tempat tinggal hendaknya areal pekarangan di bagi 9 lebih
dahulu dan dalam kaitan dengan Tri Mandala, maka arah perpaduan Timur dengan
Utara (Airsanya) memiliki nilai yang
paling sakral sehingga dipakai tempat yang diposisikan sebagai Utama mandala untuk letak pendirian
tempat Ibadah.
Hal
ini jelas disuratkan bagi setiap umat Hindu yang telah berkeluarga hendaknya
memiliki tempat pemujaan berupa Pemerajan (sanggah) dalam lontar Siwagama
disebutkan sebagai berikut :
…
wwang kamulan pamanggalanya sowang.
Artinya :
… dan Kamulan palinggih
pada masing-masing pakarangan rumah.
Pemerajan
ini berfungsi sebagai tempat pemujaan roha suci leluhur atau atma yang telah
Sidha Dewata/Dewa Pitara (I Ketut Wiana, 1992 :22), sesuai dengan lontar Usana
dewa menyebutkan sebagai berikut :
Ring kamulan ngaran Ida Sanghyang
Atma, ring Kamulan Tengan bapa ngaran sang Paratma, ring Kamulan Kiwa ibu
ngaran sang Siwatma, ring kamulan Tengah ngaran raganya, tu Brahma dadi meme
bapa maraga Sang Hyang Tuduh.
Artinya
:
Pada
Kamulan nama Beliau adalah Sang Hyang Atma, di Kamulan sebelah kanan adalah
linggih Paratma adalah Bapak, di kamulan ruang sebelah kiri adalah linggih
Siwatma adalah Ibu, di Kamulan tengah ada wujudnya Brahma menjadi Ibu Bapak
yang berujud Sang Hyang Tuduh.
Keluarga
yang memiliki tempat tinggal (rumah), memiliki Tempat Pemujaan (mrajan) minimal pada bangunan mrajan itu adanya pelinggih Rong Tiga, pelinggih Sedahan Penglurah dan Gedong linggih Taksu ( Gde Soeka, BA,
1986 :13).
Lingkungan
kedua tempat tadi menuju keseimbangan Bhuana
Agung dan Bhuana Alit harus
selaras untuk mencari kesejahteraan jasmani dan kebahagiaan rohani, keselarasan
antara Bhuana Agung dengan kehidupan
manusia menjadi tujuan pokok mengikuti tata aturan perumahan seperti ini. Hal
ini dilandasi oleh kesadaran bahwa Bhuana
Agung /alam semesta adalah kompleksitas unsur-unsur yang satu sama lain
terkait dan membentuk satu sisitim kesemestaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa
nilai dasar dari kehidupan masyarakat Hindu adalah nilai keseimbangan. Nilai
keseimbangan ini tertuang dalam perilaku :
a. Selalu
ingin menyesuikan diri dan berusaha menjalin hubungan dengan elemen-elemen alam
dan kehidupan yang mengitari.
b. Ingin
menciptakan suasana kedamaian dan ketentraman antara sesama makhluk dan juga
terhadap alam dimana manusia hidup sebagai salah satu elemen dari alam semesta
raya.
Kedua
unsur tersebut oleh masyarakat Hindu dianggap sebagai azas yang harus dipakai
pedoman atau tuntunan dalam kehidupan berumah tangga. Karena rumah tangga
dianggap sebagai dunia yang hidup dengan konsep Tri Hita Karana. Adanya
parahyanganuntuk mencapai sasaran Satyam (kebenaran), adanya Palemahan untuk
mencapai sasaran Sundaram (kebahagiaan) dan adanya Tempat tinggal/rumah
(pawongan ) sasaran untuk mencapai Kebijakan (Siwam). Kesemuanya itu menuju
tujuannya Jagadhita (secara sekala/nyata) dan Moksa secara Niskalanya (I Made
Suasthawa,199136)
Kehidupan
rumah tangga tata letak keluar masuk menuju rumah (pemedal) juga mengikuti asta
kosala-kosali dengan tolok ukur yang empunya rumah itu sendiri. Asta Kosala
Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan
tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada
di Bali yang sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan
memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa)
membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya.
Menurut Ida
Pandita Dukuh Samyaga, perkembangan arsitektur bangunan Bali, tak lepas dari
peran beberapa tokoh sejarah Bali Aga berikut zaman Majapahit. Tokoh Kebo Iwa
dan Mpu Kuturan yang hidup pada abad ke 11, atau zaman pemerintahan Raja Anak
Wungsu di Bali banyak mewarisi landasan pembanguna arsitektur Bali.
Danghyang
Nirartha yang hidup pada zaman Raja Dalem Waturenggong setelah ekspidisi Gajah
Mada ke Bali abad 14, juga ikut mewarnai khasanah arsitektur tersebut ditulis
dalam lontar Asta Bhumi dan Asta kosala-kosali yang menganggap Bhagawan
Wiswakarma sebagai dewa para arsitektur.
Penjelasan
dikatakan oleh Ida Pandita Dukuh Samyaga. Lebih jauh dikemukakan, Bhagawan
Wiswakarma sebagai Dewa Arsitektur, sebetulnya merupakan tokoh dalam
cerita Mahabharata yang dimintai bantuan oleh Krisna untuk membangun kerjaan
barunya. Dalam kisah tersebut, hanya Wismakarma yang bersatu sebagai dewa
kahyangan yang bisa menyulap laut menjadi sebuah kerajaan untuk Krisna.
Kemudian secara turun-temurun oleh umat Hindu diangap sebagai dewa arsitektur.
Karenanya, tiap bangunan di bali selalu disertai dengan upacara pemujaan terhadap
Bhagawan Wiswakarma. Upacara demikian dilakukan mulai dari pemilihan lokasi,
membuat dasar bagunan sampai bangunan selesai. Hal ini bertujuan minta restu
kepada Bhagawan Wiswakarma agar bangunan itu hidup dan memancarkan vibrasi
positif bagi penghuninya. Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Bali, bangunan
memiliki jiwa bhuana agung (alam makrokosmos) sedangkan manusia yang menepati
bangunan adalah bagian dari buana alit (mikrokosmos). Antara manusia
(mikrokosmos) dan bangunan yang ditempati harus harmonis, agar bisa mendapatkan
keseimbangan anatara kedua alam tersebut. Karena itu membuat bagunan harus
sesuai dengan tatacara yang ditulis dalam sastra Asta Bhumi dan Atas
Kosala-kosali sebagai fengsui Hindu Bali.
Asta Kosala
Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan
bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh
yang punya. Pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari Tubuh yang empunya
rumah. Mereka tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti:
§
Musti
(ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang
menghadap ke atas),
§
Hasta
(ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan
sampai ujung jari tengah yang terbuka)
§
Depa (ukuran
yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan)
Secara
hirarki, kosmologi Bali dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Bhur alam semesta, tempat
bersemayamnya para dewa.
2. Bwah, alam manusia dan kehidupan
keseharian yang penuh dengan godaan duniawi, yang berhubungan dengan
materialisme
3. Swah, alam nista yang menjadi simbolis
keberadaan setan dan nafsu yang selalu menggoda manusia untuk berbuat
menyimpang dari dharma.
Selain itu
juga Konsep ini berpegang juga kepada mata angin, 9 mata angin (Nawa
Sanga). Setiap bangunan itu memiliki tempat sendiri. seperti misalnya:
§ Dapur,
karena berhubungan dengan Api maka Dapur ditempatkan di Selatan,
§ Tempat
Sembahyang karena berhubungan dengan menyembah akan di tempatkan di Timur
tempat matahari Terbit.
§ Karena Sumur
menjadi sumber Air maka ditempatkan di Utara dimana Gunung berada begitu
seterusnya.
Di konsep
ini juga disebutkan tentang teknik konstruksi dan materialnya. ada namanya Tri
Angga, yang terdiri dari:
§ Nista menggambarkan
hirarki paling bawah dari sebuah bangunan, diwujudkan dengan pondasi rumah atau
bawah rumah sebagai penyangga rumah. bahannya pun biasanya terbuat dari Batu
bata atau Batu gunung.
§
Madya adalah
bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela dan
pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia
§
Utama adalah
symbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang
diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan
tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada bagian atap
ini bahan yang digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan
alang-alang.
Bangunan-bangunan yang terdapat
dalam tempat tinggal orang bali:
1. Pamerajan adalah tempat upacara yang
dipakai untuk keluarga. Dan pada perkampungan tradisional biasanya setiap
keluarga mempunyai pamerajan yang letaknya di Timur Laut pada sembilan petak
pola ruang
2. Umah Meten yaitu ruang yang biasanya
dipakai tidur kapala keluarga sehingga posisinya harus cukup terhormat
3. Bale Sakepat, bale ini biasanya digunakan untuk
tempat tidur anak anak atau anggota keluarga lain yang masih junior.
4. Bale tiang sanga biasanya digunakan sebagai
ruang untuk menerima tamu
5. Bale Dangin biasanya dipakai untuk
duduk-duduk membuat benda benda seni atau merajut pakaian bagi anak dan
suaminya.
6. Lumbung sebagai tempat untuk menyimpan
hasil panen, berupa padi dan hasil kebun lainnya.
7. Paon (Dapur) yaitu tempat memasak bagi
keluarga.
8. Aling-aling adalah bagian entrance yang
berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga jalan masuk tidak lurus kedalam
tetapi menyamping. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung
lurus ke dalam.
9. Angkul-angkul yaitu entrance yang berfungsi
seperti candi bentar pada pura yaitu sebagai gapura jalan masuk.
Landasan filosofis ASTA KOSALA
KOSALI
§
Hubungan Bhuwana Alit dengan Bhuwana Agung. Pembangunan perumahan adalah
berlandaskan filosofis bhuwana alit bhuwana agung. Bhuwana Alit yang berasal
dari Panca Maha Bhuta adalah badan manusia itu sendiri dihidupkan oleh
jiwatman. Segala sesuatu dalam Bhuwana Alit ada kesamaan dengan Bhuwana Agung
yang dijiwai oleh Hyang Widhi. Kemanunggalan antara Bhuwana Agung dengan
Bhuwana Alit merupakan landasan filosofis pembangunan perumahan umat Hindu yang
sekaligus juga menjadi tujuan hidup manusia di dunia ini.
§
Unsur- unsur pembentuk. Unsur pembentuk membangun perumahan adalah dilandasi oleh Tri Hit a
Karana dan pengider- ideran (Dewata Nawasanga). Tri Hita Karana yaitu unsur
Tuhan/ jiwa adalah Parhyangan/ Pemerajan. Unsur Pawongan adalah manusianya dan
Palemahan adalah unsur alam/ tanah. Sedangkan Dewata Nawasanga (Pangider-
ideran) adalah sembilan kekuatan Tuhan yaitu para Dewa yang menjaga semua
penjuru mata angin demi keseimbangan alam semesta ini.
Landasan Etis
§
Tata nilai dari
bangunan adalah berlandaskan etis dengan menempatkan bangunan pemujaan ada di
arah hulu dan bangunan- bangunan lainnya ditempatkan ke arah teben (hilir).
Untuk lebih pastinya pengaturan tata nilai diberikanlah petunjuk yaitu Tri
Angga adalah Utama Angga, Madya Angga dan Kanista Angga dan Tri Mandala yaitu
Utama, Madya dan Kanista Mandala.
§
Pembinaan hubungan dengan lingkungan. Dalam membina hubungan baik dengan lingkungan
didasari ajaran Tat Twam Asi yang perwujudannya berbentuk Tri Kaya Parisudha
Landasan Ritual
Dalam mendirikan perumahan hendaknya selalu dilandaskan dengan upacara dan
upakara agama yang mengandung makna mohon ijin, memastikan status tanah serta
menyucikan, menjiwai, memohon perlindungan Ida Sang Hyang Widhi sehingga
terjadilah keseimbangan antara kehidupan lahir dan batin.
Konsepsi perwujudan
Konsepsi perwujudan perumahan umat Hindu merupakan perwujudan landasan dan
tata ruang, tata letak dan tata bangunan yang dapat dibagi dalam :
1. Keseimbangan Alam: Wujud perumahan umat Hindu
menunjukkan bentuk keseimbangan antara alam Dewa, alam manusia dan alam Bhuta
(lingkungan) yang diwujudkan dalam satu perumahan terdapat tempat pemujaan
tempat tinggal dan pekarangan dengan penunggun karangnya yang dikenal dengan
istilah Tri Hita Karana.
2. Rwa Bhineda, Hulu Teben, Purusa
Pradhana. Rwa
Bhineda diwujudkan dalam bentuk hulu teben (hilir). Yang dimaksud dengan hulu
adalah arah/ terbit matahari, arah gunung dan arah jalan raya (margi agung)
atau kombinasi dari padanya. Perwujudan purusa pradana adalah dalam bentuk
penyediaan natar. sebagai ruang yang merupakan pertemuan antara Akasa dan
Pertiwi.
3. Tri Angga dan Tri Mandala. Pekarangan Rumah Umat Hindu secara
garis besar dibagi menjadi 3 bagian (Tri Mandala) yaitu Utama Mandala untuk
penempatan bangunan yang bernilai utama (seperti tempat pemujaan). Madhyama
Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai madya (tempat tinggal penghuni)
dan Kanista Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai kanista (misalnya:
kandang). Secara vertikal masing- masing bangunan dibagi menjadi 3 bagian (Tri
Angga) yaitu Utama Angga adalah atap, Madhyama angga adalah badan bangunan yang
terdiri dari tiang dan dinding, serta Kanista Angga adalah batur (pondasi).
4. Harmonisasi dengan potensi
lingkungan.
Harmonisasi dengan lingkungan diwujudkan dengan memanfaatkan potensi setempat
seperti bahan bangunan dan prinsip- prinsip bangunan Hindu.
Pekarangan Sempit.
Dengan sempitnya pekarangan, penataan pekarangan sesuai dengan ketentuan
Asta Bumi sulit dilakukan. Untuk itu jiwa konsepsi Tri Mandala sejauh mungkin
hendaknya tercermin (tempat pemujaan, bangunan perumahan, tempat pembuangan
(alam bhuta).
Karena keterbatasan pekarangan tempat pemujaan diatur sesuai konsep
tersebut di atas dengan membuat tempat pemujaan minimal Kemulan/ Rong Tiga atau
Padma, Penunggun Karang dan Natar.
Rumah Bertingkat.
Untuk rumah bertingkat bila tidak memungkinkan membangun tempat pemujaan di
hulu halaman bawah boleh membuat tempat pemujaan di bagian hulu lantai teratas.
Rumah Susun.
Untuk rumah Susun tinggi langit- langit setidak- tidaknya setinggi orang
ditambah 12 jari. Tempat pemujaan berbentuk pelangkiran ditempatkan di bagian
hulu ruangan.
Dewasa Membangun Rumah.
§
Dewasa
Ngeruwak. Wewaran : Beteng, Soma, Buda, Wraspati,
Sukra, Tulus, Dadi.Sasih: Kasa, Ketiga, Kapat, Kedasa.
§
Nasarin. Watek:
Watu. Wewaran: Beteng, soma, Budha, Wraspati, Sukra, was,
tulus, dadi. Sasih: Kasa, Katiga, Kapat, Kalima. Kanem.
§
Nguwangun. Wewaran:
Beteng, Soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
§
Mengatapi. Wewaran :
Beteng, was, soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.Dewasa ala :
geni Rawana, Lebur awu, geni murub, dan lain- lainnya.
§
Memakuh/
Melaspas. Wewaran : Beteng, soma, Budha. Wraspati,
Sukra, tulus, dadi.Sasih : Kasa, Katiga, Kapat, Kadasa.
Upacara Membangun Rumah.
§
Upacara Nyapuh sawah dan tegal. Apabila ada tanah sawah atau tegal dipakai untuk
tempat tinggal. Jenis upakara : paling kecil adalah tipat dampulan, sanggah
cucuk, daksina l, ketupat kelanan, nasi ireng, mabe bawang jae. Setelah
“Angrubah sawah” dilaksanakan asakap- sakap dengan upakara Sanggar Tutuan, suci
asoroh genep, guling itik, sesayut pengambeyan, pengulapan, peras panyeneng,
sodan penebasan, gelar sanga sega agung l, taluh 3, kelapa 3, benang + pipis.
§
Upacara pangruwak bhuwana dan nyukat karang, nanem dasar wewangunan. Upakaranya ngeruwak bhuwana adalah
sata/ ayam berumbun, penek sega manca warna. Upakara Nanem dasar: pabeakaonan,
isuh- isuh, tepung tawar, lis, prayascita, tepung bang, tumpeng bang, tumpeng
gede, ayam panggang tetebus, canang geti- geti.
§
Upakara Pemelaspas. Upakaranya : jerimpen l dulang, tumpeng putih kuning, ikan ayam putih
siungan, ikan ayam putih tulus, pengambeyan l, sesayut, prayascita, sesayut
durmengala, ikan ati, ikan bawang jae, sesayut Sidhakarya, telur itik, ayam
sudhamala, peras lis, uang 225 kepeng, jerimpen, daksina l, ketupat l kelan,
canang 2 tanding dengan uang II kepeng. Oleh karena situasi dan kondisi di
suatu tempat berbeda, maka upacara upakara tersebut di atas disesuaikan dengan
kondisi setempat.
Dalam
melihat tata budaya dari berbagai suku di Indonesia, bentuk budaya Bali telah berkembang dengan ciri
dan kepribadian tersendiri. Dari sudut arsitektur tradisional, peranan agama
dan kebudayaan dipengaruhi kebudayaan Cina dan India yang melebur ke dalam
ajaran agama mereka yaitu Hindu-Budha, sehingga peranannya sangat mendalam dan
dijadikan pangkal untuk mencipta, petunjuk petunjuk ini dikenal dengan nama
Hasta Bumi, Hasta Kosala Kosali, Hasta Patali, sikuting umah, dan lain-lain yang
berisikan berbagai petunjuk, pantangan, tata cara perencanaan, pelaksanaan dan
lain-lain dalam mendirikan suatu bangunan .
Pengaruhnya
terlihat pada
Bentuk
Dari segi
perbandingan ukuran setiap unsur bangunan dan pekarangan berpangkal kepada
ukuran kepala dan badan manusia terutama ukuran tubuh kepala keluarga (yang
punya rumah) secara fisik dan tingkat kastanya. Bentuk rumah Bali, pada
dasarnya bukan merupakan suatu organisasi ruangan dibawah satu atap, tetapi
beberapa bangunan yang masing-masing dengan fungsinya tertentu di dalam satu
lingkungan atau satu tembok. Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal,
mempunyai konsep-konsep dasar yang mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep
dasar tersebut adalah:
1.
Konsep
hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga
2.
Konsep
orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala
3.
Konsep
keseimbangan kosmologi
4.
Konsep
proporsi dan skala manusia
5.
Konsep
court, Open air
6.
Konsep
kejujuran bahan bangunan
Adapula
beberapa ketentuan-ketentuan bangunan di Bali:
1.
Tempat/
denah berdasarkan Lontar Asta Bhumi.
2.
Bangunan/ konstruksinya
berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta
Kosala Kosali.
3.
Bahan-
bahan/ ramuan berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar
Asta Kosala Kosali, seperti : kayu, ijuk, alang- alang, batu alam, bata
dan sebagainya
Asta Kosala
Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan
suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya
rumah. Pengukurannya pun tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti
Mata Pencaharian dan Pengaruh
Lingkungan
Lahirnya
berbagai perwujudan fisik juga disebabkan oleh beberapa faktor yaitu keadaan
geografis dan ekonomi masyarakat.
Ditinjau
dari aspek geografi terdapatlah Arsitektur Tradisional Bali dataran tinggi
(daerah pegunungan) dan Arsitektur Tradisional Bali dataran rendah. Untuk
daerah dataran tinggi yang penduduknya berkebun, pada umunya bangunannya
kecil-kecil dan tertutup untuk menyesuaikan keadaan lingkungannya yang
cenderung dingin. Tinggi dinding relatif pendek untuk menghindari sirkulasi
udara yang terlalu sering. Satu bangunan bisa digunakan untuk berbagai
aktifitas mulai aktifitas sehari-hari seperti tidur, memasak dan untuk
hari-hari tertentu juga digunakan untuk upacara. Luas dan bentuk pekarangan
relatif sempit dan tidak beraturan disesuaikan dengan topografi tempat
tinggalnya.
Untuk daerah
dataran rendah,yang penduduknya bertani, pekarangannya relatif luas dan datar
sehingga bisa menampung beberapa massa dengan pola komunikatif, umumnya
berdinding terbuka, yang masing-masing mempunyai fungsi tersendiri. Seperti
bale daja untuk ruang tidur dan menerima tamu penting, bale dauh untuk ruang
tidur dan menerima tamu dari kalangan biasa, bale dangin untuk upacara, dapur
untuk memasak, jineng untuk lumbung padi, dan tempat suci untuk pemujaan. Untuk
keluarga raja dan brahmana pekarangnnya dibagi menjadi tiga bagian yaitu jaba
sisi (pekarangan depan), jaba tengah (pekarangan tengah) dan jero (pekarangan
untuk tempat tinggal) adapun pertimbangan dalam membangun tempat tinggal
diantaranya;
Tanah
Membuat rumah yang dapt mendatangkan keberuntungan bagi penghuninya,bagi
rohaniwan dari Banjar Semaga,Desa Penatih,Denpasar ini harus diawali dengan
pemilihan lokasi (tanah) yang pas.Lokasi yang bagus dijadikan bagunan adalah
tanah yang posisinya lebih rendah (miring) ke timur (sebelum direklamasi).
Namun di luar lahan bukan milik kita,posisinya lebih tinggi.Demikian juga tanah
bagian utaranya juga harus lebih tinggi.Bila tanah di pinggir jalan,usahakan
posisinya tanah dipeluk jalan.Sangat baik bila ada air di arah selatan tetapi
bukan dari sungai yang mengalir deras.Air harus berjalan pelan,tetapi posisi
sungai juga harus memeluk tanah ,bukan sebaliknya menebas lokasi
tanah.Diyakini,aliran air yang lambat membuat Dewa air sebagai pembawa
kesuburan dan rejeki banyak terserap dalam deras.
Selain letak tanah,tekstur tanah juga harus dipastikan memiliki kualitas
baik. Tanah berwarna kemerahan dan tidak berbau termasuk jenis tanah yang bagus
untuk tempat tinggal.Untuk menguji tekstur tanah,cobalah genggam tanah
tersebut.Jika setelah lepas dari genggaman tanah itu terurai lagi,berarti
kualitas tanah tersebut cocok dipilih untuk lokasi perumahan.Cara lain untuk
menguji tekstur tanah yang baik adalah dengan cara melubangi tanah tersebut
sedalam 40 Cm persegi.Kemudian lubang itu diurug (ditimbun) lagi dengan tanah
galian tadi.
Jika lubang penuh atau kalau bisa ada sisa oleh tanah urugan itu, berati
tanah itu bagus untuk rumah.Sebaliknya jika tanah untuk menutup lubang tidak
bisa memenuhi (jumlahnya kurang) berati tanah tersebut tidak bagus dan tidak
cocok untuk rumah karena tergolong tanah anggker.Akan lebih baik memilih tanah
yang terletak di utara jalan karena lebih mudah untuk melakukan penataan
bangunan menurut konsep Asta kosala-kosali.Misalnya membuat pintu masuk
rumah,letak bangunan,dan tempat suci keluarga (merajan/sanggah).Lokasi seperti
ini memungkinkan untuk menangkap sinar baik untuk kesehatan.Tata letak pintu
masuk yang sesuai,akan memudahkan menangkap Dewa Air mendatangkan rejeki.
Kurang Bagus
Jangan membangun rumah di bekas tempat-tempat umum seperti bekas balai
banjar (balai masyarakat), bekas pura (tempat suci), tanah bekas tempat upacara
ngaben massal(pengorong/peyadnyan)bekas gria (tempat tinggal pedande/pendeta)
dan tanah bekas kuburan.Usahakan pula untuk tidak memilih lokasi
(tanah)bersudut tiga atau lebih dari bersudut empat.Tanah di puncak
ketinggian,di bawah tebing atau jalan juga kurang bagus untuk rumah karena
membuat rejeki seret dan penghuninya akan sakit – sakitan.Demikian juga tanah
yang terletak di pertigaan atau di perempatan jalan (simpang jalan) tidak bagus
untuk tempat tinggal tetapi cocok untuk tempat usaha.Tanah jenis ini termasuk
tanah angker karena merupakan tempat hunian Sang Hyang Durga Maya dan Sang
Hyang Indra Balaka.
Tata Letak Bangunan
Setelah direklamasi (ditata) diusahkan bangunan yang terletak di
timur,lantainya lebih tinggi sebab munurut masyarakat bali selatan
umumnya,bagian timur dianggap sebagai hulu(kepala)yang disucikan.Sedangkan
menurut fungsui,posisi bangunan seperti itu memberi efek positif.Sinar matahari
tidak terlalu kencang,dan air tidak sampai ke bagian hulu.Bagunan yang cocok
untuk ditempatkan diareal itu adalah tempat suci keluarga yg disebut merajan
atau sanggah.Dapur diletakan di arah barat (barat daya) dihitung dari tempat
yang di anggap sebagai hulu (tempat suci) atau di sebelah kiri pintu masuk
areal rumah, karena menurut konsep lontar Asta Bumi,tempat ini sebagai letak
Dewa Api.
Sumur dan lumbung tempat penyimpanan padi sedapat mungkin diletakan di
sebelah timur atau utara dapur.Atau di sebelah kanan pintu gerbang masuk rumah
karena melihat posisi Dewa Air.
Bangunan balai Bandung (tempat tidur) diletakan diarah utara,sedangkan
balai adat atau balai gede ditempatkan disebelah timur dapur dan diselatan
balai Bandung.Bangunan penunjang lainnya diletakkan di sebelah selatan balai
adat.
Pintu Masuk
Selain menemukan posisinya yang tepat untuk menangkap dewa air sebagai
sumber rejeki ukuran pintu masuk juga harus diatur. Jika membuat pintu masuk
lebih dari satu,lebar pintu masuk utama dan lainya tidak boleh sama.Termasuk
tinggi lantainya juga tidak boleh sama. Lantai pintu masuk utama (dibali
berbentuk gapura/angkul – angkul) harus dibuat lebih tinggi dari pintu masuk
mobil menuju garase.jika dibuat sama akan memberi efek kurang menguntungkan
bagi penghuninya bisa boros atau sakit-sakitan.Akan sangat bagus bila di
sebelah kiri (sebelah timur jika rumah mengadap selatan) diatur jambangan air
(pot air) yang disi ikan.
Ini sebagai pengundang Dewa Bumi untuk memberi kesuburan seisi rumah.Tak
menempatkan benda – benda runcing dan tajam yang mengarah ke pintu masuk rumah
seperti penempatan meriam kuno,tiang bendera,listrik dan tiang telepon atau
tataman yang berbatang tinggi seperti pohon palm,karena membuat penghuninya
sakit sakitan akibat tertusuk.Got dan tempat pembungan kotoran sedapat mungkin
di buat di posisi hilir dan lebih rendah dari pintu masuk.Kalau menempatkan
kolam di pekarangan rumah hendaknya dibuat di atas permukaan tanah(bukan
lobang).Kolam di buat di sebelah kanan pintu masuk dengan posisi memelu
rumah,bukan berlawanan.Karena keberadaan kolam yang tidak sesuai akan
mempengaruhi kesehatan penghuni rumah.
Bila rumah menghadap :
1)
Timur : diukur dari arah utara/kadya,
lalu dibagi sembilan pintu masuk ambil pada bagian 3 ( wredi guna) dan atau 4
(dana teke).Wredi artinya subur, banyak.
2)
Selatan : diukur dari arah Timur ke
Barat, lalu dibagi 9 pintu masuk ambil pada hitungan 4 (udan mas), 6 (dana
wredi) atau 8 (teka wredi)
3)
Barat : diukur dari arah Selatan menuju
Utara, lalu dibagi 9 pintu masuk ambil pada hitungan 3 (wredi mas ), 4 (wredi
guna) da atau 5 (danawan).
4)
Utara : diukur dari Barat ke Timur
dibagi 9 pintu masuk ambil pada hitungan 7 (suka agung).
Dengan
memperhatikan hitungan-hitungan tersebut diatas sesuai dengan arah banguan kita
maka niscaya kehidupan yang sejahtera dapat kita dekati dan penderitaan dapat
kita hindari (I Made Suandra, 1991 :22). Disamping tata letak yang kita
tentukan seperti diatas memilih areal pekarangan juga harus berhati hati dan
hendaknya hindari pekarangan seperti :
a.
Karang karubuhan yaitu areal pekaranga
yang berpapasan dengan perempatan jalan, menyebabkan sakit-sakitan yang
menempati.
b.
Karang Sandanglawe yaitu pekaranga yang
memiliki pintu masuk berpapasan dengan tetangga.
c.
Karang Kutabanda yaitu pekarangan yang
diapit oleh jalan raya..
d.
Karang Gerah yaitu pekarangan yang
terletak di hulu Pura atau parahyangan.
e.
Karang Suduk Angga yaitu pekarangan yang
dibatasi oleh pagar hidup, terdapat dua tempat pemujaan dari keluarga yang
berbeda..
Pekarangan
yang dilarang seperti diatas perlu hendaknya dibuatkan upacara pemahayu karang
atau bangunkan palinggih tertentu (Drs. I Nyoman Singgih W, 1999 :15)
Secara
kodrati bahwa setiap orang yang dilahirkan berlawanan jenis untuk bersatu dalam
kehidupan rumah tangga yang diawali dengan samskara wiwaha yang terwadahi dalam
areal /kawasan rumah tangga dengan system keseimbangannya. Mengingat berumah
tangga tidak untuk sesaat maka berhati-hatilah dengan mempersiapkan fisik dan
spiritual secara matang (K.H.M. RusliAmin, M.A, 2002 :18).
Tahap
2. Menentukan Calon Pasangan yang baik
Untuk
mendapatkan calon pasangan yang baik harus diamati bibit, bebet dan bobot calon
pasangan.
Yang
dimaksudkan pengamatan bibit meliputi asal-usul calon pasangan. Hendaknya
diusahakan calon pasangan berasal dari keluaga baik-baik artinya bukan dari
keluarga yang gemar mabuk-mabukan, penjudi, pemarah/emosional, pembohong,
pencuri, gemar memerkosa, gemar memerkosa, gemar memfitnah, penggemar black
magic dan lain-lainya yang merupakan perwujudan dari sifat-sifat sadripu dan
sadatatayi. Bila memungkinkan supaya diusahakan mendapatkan calon yang bisa
diajak membangun keluarga Sukhinah dari kelahiran Suwargacyuta yaitu
orang-orang yang berbahagia turun lahir dari sorga dengan cirri-ciri : tidak
sakit-sakitan ( Arogya), disayangi oleh sesamanya (Rati), berssifat ksatrya(
Curatwa), berbhakti kepada Ida Sanghyang Widhi(Dewasubhaktih), murah rejeki
(kanakalabha) dikasihi oleh orang besar (Rajapriyatwa), Pembrani (Cura),
bijaksana dalam segalailmu pengetahuan (Krtawidya), peramah (Pryamwada).
Kesemuanya ini adlah cirri kelahiran sorga dan penjelmaan dari orang melakukan
dharma yang suci dahulunya (I Gusti Agung Oka, 1994 :24-25)
Yang
dimaksud dengan pengamatan tentang bebet atau penampilan. Hendaknya menghindari
orang kelahiran Neraka cyuta dengan cirri-ciri sebagai berikut :Mandul
(Anapatya), wandu (Akamarasa), mempunyai penyakit asma ( Pitti), bisu (kujiwa)
berbicara tidak jelas (Clesma) dan orang berambut kemerah-merahan dan badannya
cacat. Tetapi yang pantas dinikahi mempunyai nama yang pantas dan badannya
tidak cacat, jalannya seperti seekor angsa, giginya kecil-kecil berbadan lembut
( I Gede Pudhja, M.A, 2002 :132-133)
Yang
dimaksudkan dengan pengamatan tentang bobot , ini banyak diatur dalam Canakya
Nitisastra maupun dalam Weda Smrti III.7 yang menyatakan: Keluarga yang tidak
hirau pada upacara suci, tidak mengerti ajaran weda /agama hendaknya dihindari
untuk dijadikan calon pasangan. Salah satu susatra Veda menegaskan bahwa :
Akara
iringngita irgatya cesta bhasitena ca;
Natrawaktrawikarena
jayate ca pariksitah
Maksudnya
seseorang harus diuji dengan melihat tampilan luarnya berupa caranya berjalan,
gerakgeriknya, perbuatannya, tutur katanya ( I Gusti Agung Oka, 1993 :169) Dalam
menejemen modern hendaknya mempertimbangan pengetahuan (knowledge), ketrampilan
yang dimiliki (Skill) dan tata laku kesahariannya (Attitude) nya
Kelahiran
Neraka cyuta yang dihindari dalam memilih pasangan, juga dilarang adalah masih
hubungan sepupu dari keluarga Purusha, Arudaka namanya, saling ambil
(Pasikuh-paha), suami istri pernah keponakan (Angemban Ari), kawin dengan tumin
ngarep (Anglangkahi sanggar), mengawini janda beranak bila sudah punya anak
laki-laki ,Ekajanma namanya (Suwidja,1992 :101).
Tahap
3. Menyiapkan Perkawinan yang Baik
Meyiapkan
perkawinan yang baik perlu diperhatikan : perjodohan atau patemon, hari dan
bulan perkawinan yang di nilai baik serta bentuk perkawinan yang harus
diusahaka. Untuk itu perlu konsultasi kepada pakar yang terkait.
1. Perjodohan
Perjodohan
atau patemon laki-perempuan (lanang-istri) dalam dunia primbon ada beberapa
cara, antara lain misalnya perjodohan berdasarkan sapta wara dan panca wara
kelahiran calon laki-pempuan lalu masing-masing dibagi 9 atau disebutkan dalam
prembon sebagai berikut wetone panganten
lanang lan wadon, Neptune dina lan pasaran digunggung, banjur kabage 9, lanag
turah pira wadon turah pira, yen turah : 3 lan 9 sugih rejeki; 2 lan 7 anake
akeh mati, 3 lan 5 gelis pegat . dari hari kelahiran lanang-wadon ; Selasa lan
Rabo = sugih, Rabo lan Saptu = becik, Akada lana senen = Sugih lara.( R.
Soemodidjojo, 1993 : 12-13).
Untuk
mengetahui pertemuan laki-peempuan itu baik atau buruk maka Urip/neptu sapta
dan Panca wara harus dipahami dengan baik. Urip Panca wara berturut-turut
Umanis =5, pahing= 9, Pon = 7, Wage = 4 , dan Kliwon = 8 sedangkan Urip
SaptawaraRedite = 5, Soma= 4, Anggara = 3, Budha = 7, Wrehaspati = 8, Sukra = 6
, dan saniscara = 9 ( I Ketut Guweng, --- :2).
Untuk
memperoleh pasangan yang ideal, terlebih dahulu harus mengetahui hari lahir
(weton) pasangan kita masing-masing, kemudian digabung menjadi satu dan dibagi
5 bila sisa :
1)
Sri = Selalu sejahtera dan bahagia
2)
Gedong = Tidak kurang sandang pangan
3)
Pete = Selalu bertengkar dan ribut
4)
Lara = Mlarat dan banyak maslah
5)
Pati = Salah satu mendahului meninggal
belum waktunya.
Yang
berlaku secara berkala 5 tahun secara bergantian, sehingga dengan mudah
mengetahui masa berkumpulnya dalam rumah tangga dan suasana yang dilaluinya.
Hitungan
detailnya adalah Urip lahir lanang-istri (panca dan sapta wara) digabung
kemudian dibagi 5 sisanya menunjukkan keadaan selama 5 tahun berjalan, kemudian
lima tahun berikutnya hasil pembagian dipakai mengurangi urip gabungan awal,
hasilnya kemudian dibagi 5 sisanya keadaan selama 5 tahun berikutnya. Hasil
pembagian selalu dipakai pengurang hasil terakhirnya dan selalu dibagi 5
menyatakan keadaannya, bila hasilnya 0 (nol) sama keadaanya dengan sebelumnya.
Contoh
: Minggu Wage dengan Senin Keliwon nilai gabungannya (5 + 4) + ( 4+8) = 21 (
hasil gabungan urip lanang-istri)
21 : 5 adalah 4 sisa 2
keadaannya Gedong = Murah rejeki
21- 4 = 17 : 5 adalah 3
sisa 2 keadaannya Gedong = Murah rejeki
17- 3 = 14 : 5 adalah 2
sisa 4 keadaannya Lara = Mlarat
14 – 2 = 12 : 5 adalah
2 sisa 2 keadaannya Gedong = Murah rejeki
12 – 2 = 10 : 5 adalah
2 sisa 0 keadaannya sama sebelumnya = Murah rejeki
10 – 2 = 8 : 5 adalah 1
sisa 3 keadaannya Peta = Suka ribut
8 – 1 = 7 : 5 adalah 1
sisa 2 keadaannya Gedong = Murah rejeki
7 – 1 = 6 : 5 adalah 1
sisa 1 keadaannya Sri = sejahtera
dstnya.
2. Hari dan bulan
perkawinan
Karma
wasana yang kita bawa sejak kelahiran kita akan memberikan warna pada
kehidupannya, sehingga para akhli astronomi/wariga hari kelahiran seseorang
dapat dterka/diramal maslah rejeki, suka-duhka hidup yang diraihnya melalui
urip kelahirannya. Biasanya dibaca hari kelahirannya menunjukkan masa yang
dalami masa anak-anak, dicari gabungan urip berikutnya masa remaja dan masa tua
adalah urip gabungan berikutnya dapat diketahui.
Namun
yang dipakai patokan pertemuan suami istri adalah urip gabungan kelahirannya
saja. Atas dasar itulah maka seseorang dapat meningkatkan status dan kualitas
kehidupannya yang akan dibangun melalui berumah tangga.
Dari
Wuku yang berjumlah 30 maka wuku yang dihindari untuk melakukan upacara
Pawiwahan yaitu yang disebut Rangda Tiga yang menyebabkan sering janda atau
Duda, adapun wuku yang dimaksud adalah Wariga, Pujut, Menail, Waregadian,
pahang, Prangbakat ( Ketut Guweng, --- : 5).
Dalam
perjalanan sasih juga seseorang mencari waktu perkawinannya menuju sasih Kasa,
Kedasa, Ketiga, Kapat dan Kalima, karena pada sasih-sasih tersebut sebagai
sasih Dewa. Maka pada sasih itu dilakukan kegiatan dewa yadnya. Jadi maksudnya
untuk memperoleh restu dan berkah dalam masa berumah tangganya.
Mencari
hari untuk perkawinan orang harus terlebih dahulu mengetahui jumlah Urip/Neptu
hari kelahiran kedua calon mempelai (temantin), kemudian dicarikan hari dan
pasaran yang Uripnya/Neptunya bilamana dijumlahkan dengan jumlah Neptu kedua
mempelai tadi dan dibagi 3 bisa habis.
Hitungan
itu merupakan tiga kata-kata sebagai berikut :
· Wali
, berarti bahwa dalam perkawinan itu kurang cinta kasih atau mudah bosen satu
sama lain.
· Penghulu,
berarti dalam perkawinan ini bakal banyak cedera antara satu sama lain.
· Temantin,
berarti bahwa dalam perkawinan itu bakal beruntung.
3. Cara Perkawinan.
Cara
atau bentuk perkawinan penting sekali diperhatikan. Weda Smrti III.42
menyatakan; Dari perkawinan yang terpuji akan lahir putra yang terpuji, dari
perkawinan yang tercela akan lahir putra yang tercela. Karena itu hendaknya
dihindari bentuk perkawinan yang tercela. Dalam Weda Smrti III.20 disebutkan
bahwa diantara delapan bentuk perkawinan, ada yang memberi pahala, ada pula
yang menimbulkan derita, baik ketika masih hidup maupun setelah mati.
Kedelapan
bentuk perkawinan yang disebutkan dalam Weda Smrti adalah Brahma wiwaha, Daiwa
wiwaha, Arsa wiwaha, Prajapati wiwaha, Asura wiwaha, Gandharwa wiwaha, Raksasa
wiwaha,dan Pisaca wiwaha. Empat yang terakhir hendaknya dihindari oleh kaum
brahmana. Gandharwa wiwaha masih bisa ditolerir bila dilakukan oleh kaum
ksatria, sedangkan raksasa wiwaha masih bisa dimengerti bila dilakukan oleh
golongan sudra (Weda Smrti ).
Tahap 4. Proses Reproduksi yang
baik dan terkendali
Dalam
proses reproduksi atau pembuatan anak perlu diperhatikan waktu yang dibenarkan
dan yang dilarang oleh ajaran agama Hindu atau yang pas untuk mewujudkan
keinginan punya anak laki atau perempuan. Posisi tubuh atau gaya bermain kadang
kala penting diperhatikan terutama untuk pasangan yang mengalami kesulitan
punya anak. Namun sejauh itu Weda belum mengatur.
Memahami
waktu yang dilarang dan dibenarkan sangat diperlkan bila ingin mendapatkan anak
suputra sadhu gunawan, karena lontar Pamedasamara menyatakan sbb:
Yan asanggama ring istri wenang
pilihan rahinane sane kinucapayu, riwekasan yan adue anak lanang istri
pahalanya dirgayusa tur saidep warah yukti,tan angambekaken dursile, tan
langgana, tuhu ring karya, bhakti ring guru. Mangkana kapanggih de sang aniti
brata yukti.
Artinya:
Bila
meggauli istri pada hari yang baik, maka bila nanti punya anak akan diperoleh
anak yang panjang umur, penurut, tidak nakal, tekun bekerja, hormat pada guru
atau orang tua. Itulah yang didapat oleh orang yang mampu mengendalikan diri
dalam menggauli istrinya.
Dibandingkan
dengan Kitab suci Sarasamuccaya dan Pamedasamara, Veda Smrti tidak banyak
menetapkan hari – hari terlarang. Misalnya Dalam Weda Smrti III. 45-47 hanya
menetapkan larangan menggauli istri pada saat menstruasi yang lamanya lebih
kurang empat hari dan purwani yaitu sehari sebelum purnama atau sehari sebelum
tilem. Khusus untuk kaum brahmana, agar tetap terjaga kesuciannya dilarang
menggauli istri pada bulan purnama (poornima) dan pada hari pertama, kedelapan
dan keempat belas setelah bulan mati ( tilem/amavasya). Demikian dalam Weda
Smrti IV. 128.
Buku
Suci Sarasamuccaya Sloka 225 menetapkan hari terlarang untuk kaum brahmana
lebih banyak yaitu pada bulan purnama, tilem, hari kedelapan dan keempat belas
setelah tilem maupun setelah pernama.
Rontal
Pamedasmara menetapkan hari terlarang lebih banyak lagi dan berlaku untuk umum
kepada siapa saja yaitu; purnama, tilem, purwani, hari wetonan, kala ngruda,
kala mrtyu, minggu wage, selasa paing, selasa wage, rabu kliwon, kemis pahing
dan sabtu kliwon.
Begitu
juga cara mendapatkan anak itu laki dan atau perempuan Veda menandaskan
beberapa hal seperti dalam Veda Smrti III.48 memberikan petunjuk: Bila ingin
mendapatkan anak laki campurlah pada hari genap, bila ingin anak perempuan
campurlah pada hari ganjil ( yugmasu
putra jayante, striyo yugmasu ratrisu, tasmad yugmasu putrathi samwice dartawe
striyam). Catatan: Tanggal satu ganjil dihitung saat mulai menstruasi.
Dalam
kedokteran modern, seleksi jenis kelamin melalui teknik rekayasa genetic adalah
cara yang paling tepat dan akurat, namun cara ini relatif mahal. Berikut ini
disampaikan tip cara murah yang bisa membantu mendapatkan anak laki atau
perempuan.
a. Bila ingin
mendapatkan anak laki-laki
·
Bilaslah kemaluan sesaat sebelum
berhubungan intim dengan larutan alkalis yang dibuat dari 2 sendok teh baking
soda yang dicampurkan kedalam segayung aqua
·
Lakukan hubungan intim pada saat atau
menjelang ovulasi.
·
Usahakan supaya istri lebih dulu orgasme
bila mungkin orgasme beberapa kali, sebelum pihak laki ejakulasi.
·
Arahkan sperma sedekat mungkin dengan
dengan mulut rahim
·
Perbanyak makan makanan yang mengandung
kalium, natrium misalnya daging, jeruk,pisang,air kelapa, kentang, garam .
b. Bila ingin anak
perempuan
·
Bilaslah kemaluan sesaat sebelum
berhubungan intim dengan larutan bersifat asam yang dibuat dari 1 sendok cuka
putih dicampurkan kedalam segayung aqua hangat.
·
Lakukan hubungan intim pada kira-kira 4
pertama setelah ovulasi.
·
Usahakan supaya istri menunda orgasme
ketika pihak laki sudah ejakulasi.
·
Semprotkan airmani dekat pintu vagina
jauh dari mulut rahim.
·
Pasangan suami istri harus banyak makan
makanan yang mengandung kalsium, magnesium misalnya: susu, yogurt,
kacang-kacangan, dan sayur, serta mengurangi makan garam.
Tahap 5. Perawatan dan pendidikan
anak yang benar.
Perawatan
anak dalam Hindu berarti perawatan badan anak seutuhnya yang meliputi Trisarira
dan Triguna. Trisarira terdiri dari Anggasarira atau Stula sarira yaitu badan
kasar, sukma sarira yaitu badan halus yang memberi kesadaran kepada manusia,
terdiri dari cita, budhi dan ahamkara. Sedangkan anantakarana sarira adalah
atman. Triguna adalah sattwam, rajas, tamas. Satwam adalah watak yang
menyebabkan perilaku sabar,hormat,penuh cinta kasih,rela berkorban, penolong, pemaaf.
Rajas adalah watak yang menyebabkan perilaku serba cepat,energetic dan mudah
marah. Tamas adalah watak yang menyebabkan perilaku yang serba lambat, malas ..
Antara
badan dan jiwa terdapat kaitan yang sangat erat. Pepatah Yunani kuno mengatakan
mensana in corpore sano. Artinya jiwa sehat terdapat dalam badan yang sehat.
Bila dikaji dari filsafat Samkya kaitan erat ini bila dimengerti karena jiwa
dan badan keduanya berasal dari Purusa dan Prakerti yang membentuk 25 unsur
yang sama- sama menjadi unsure pembentuk jiwa maupun badan. Menurut filsafat
Samkya pula, dalam Prakerti- yang merupakan unsure kosmik pembentukan
manusia-terdapat triguna yang merupakan unsure perwatakan yang memberi warna
tingkah laku manusia.
Berdasarkan
pemahaman unsure-unsur yang membentuk manusia seutuhnya maka bila berbicara
mengenai perawatan anak tidak cukup hanya perawatan kesehatan fisik dan
mental/jiwa tetapi juga perawatan atman untuk mewujudkan atma hita. Perawatan
kesehatan fisik meliputi pemberian makanan bersih, suci,bukan sisa orang,
bergisi dan seimbang, cukup olahraga, dan lingkungan yang aman, nyaman dan
memungkinkan tumbuh dan berkembang secara optimal. Atmahita karana meliputi
kegiatan :
o
Garbhadhana, yaitu upacara ketika mulai
diketahui sudah ada konsepsi pembuahan yaitu bertemu dan bersatunya kama bang
dankama petak atau telur (ovum) yang merupakan bibit dari pihak perempuan dan
bibit dari pihak laki (sperma ).
o
Punsavana, upacara 3 bulan kandungan
o
Simantonnayana, upacara 6 bulan
kandungan , di Bali disebut magedong-gedongan.
o
Upacara Jatakarma ketika lahir. Untuk
anak laki dilakukan sebelum talipusar dipotong (Weda Smrti II,29)
o
Namakarana atau namadheya: Menurut Weda
Smrti II.30 upacara pemberian nama dilakukan pada usia 10-12 hari atau pada
hari lain yang dianggap baik. Nama harus disesuaikan dengan wangsa.Untuk wanita
namanya harus mengandung arti penghormatan, sederhana dan tidak menakutkan.
Semuanya ini diatur dalam Veda Smrti II.31-33.
o
Niskramana: upacara pada usia empat
bulan dimana bayi sudah boleh dibawa kelur rumah atau menyentuh (Weda Smrti
II.34)
o
Annprasana: upacara 6-7 bulan dimana
bayi pertama kali diajarkan makan (Weda Smrti II. 3-4).
o
Cundakarma : upacara potong rambut
pertama, dilakukan untuk memperoleh kebajikan spiritual. Dilakukan pada usia
1-3 tahun (3 tahun bagi orang-orang dwijati, Smrti II.35)
o
Upanayana : upacara mengawali belajar
secara formal. Menurut Weda Smrti II. 36,upacara ini dilakukan pada tahun
kedelapan setelah pembuahan bagi kaumbrahmana, tahun kesebelas bagi kaum
Ksatriya, tahun kedua belas bagi Waisya.
o
Samawartana ; upacara setelah
menyelesaikan pendidikan.
o
Wiwaha: upacara perkawinan .
Di
India selain upacara tersebut diatas masih ada lagi upacara tambahan yaitu
upacara tindik kuping (Karnawedha) pada usia 3 tahun dan upacara Weda ramba :
upacara mulai belajar weda pada usia 5 tahun bagi kaum brahmana. Di Bali ada
upacara mepandes atau upacara potong gigi.
Semua
upacara tersebut di atas dilakukan sebagai rangkaian pensucian untuk
membersihkan kotoran yang melekat pada diri anak yang diperoleh dari orang tua
ketika dalam kandungan sekaligus mohon bimbingan dan perlindungan dari Ida
Sanghyang Widhi, serta sebagai media untuk mengumpulkan sanak keluarga untuk
memberikan doa restu.
Dalam
rangka perawatan fisik, perlu juga mengadopsi ilmu kedokteran modern yaitu
dengan memberikan upaya pencegahan penyakit lewat program imunisasi. Misalnya; BCG untuk mencegah TBC, Hepatitis A
maupun B untuk mencegah infeksi virus Hepatitis pada Hati, DPT untuk mencegah
tetanus, batuk rejan dan infeksi menyumbat tenggorokan, Polio untuk mencegah
lumpuh polio, Campak untuk mencegah radang paru basah dan radang otak, MMR
untuk mencegah bengok, campak Jerman dan campak bias, HIB untuk mencegah radang
selaput otak, Varicella untuk menegah cacar air, Typhim atau Typa untuk
mencegah tipus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar