Pages - Menu

Minggu, 23 April 2017

KELUARGA SUKINAH DARI PERFEKTIF AGAMA HIINDU


Prajanartha striyah srstah
Samtanartham ca manawah
Tasmat sadharano dharmah
ςrutau patnya sahaditah
Vedasmrti. IX.96

Untuk menjadi ibu, wanita itu diciptakan dan
untuk menjadi ayah , laki-laki itu diciptakan
Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda
Untuk dilakukan oleh suami beserta dengan istrinya.

Sejak awal kehidupan manusia, ternyata bersatunya antara seorang wanita dengan seorang laki-laki yang disimbulkan akasa dan pertiwi sebagai cakal bakal sebuah kehidupan baru yang diawali dengan lembaga perkawinan. Hendaknya laki-laki dan perempuan yang telah terikat dalam ikatan perkawinan selalu berusaha agar tidak bercerai dan selalu menyintai dan setia sampai hayat hidupnya, jadikanlah hal ini sebagi hukum yang tertinggi dalam ikatan suami-istri (G.Pudja MA, 2002 :561). Keluarga yang dibentuk hanya berlangsung sekali dalam hidup manusia, keluarga atau rumah tangga bukanlah semata-mata tempat berkumpulnya laki dan wanita sebagai pasangan suami istri dalam satu rumah, makan-minum bersama. Namun mengupayakan terbinanya kepribadian dan ketenangan lahir dan bathin, hidup rukun dan damai, tentram, bahagia dalam upaya menurunkan tunas muda yang suputra (Jaman, 195 :3).
Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Bab I

Pasal 1:
Menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir dan bhatin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa.

Pasal 2 :
Menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Perkawinan menurut pandangan Hindu bukanlah sekedar legalitas hubungan bilologis semata tetapi merupakan suatu peningkatan nilai berdasarkan hukum Agama, karena Wiwaha samkara adalah merupakan upacara sakral atau sakralisasi peristiwa kemanusiaan yang bersifat wajib ( G. Pudja, MA, 2002 :80). Keluarga bahagia yang menjadi tujuan wiwaha samkara dalam terminologi Hindu disebut keluarga Sukhinah merupakan unsur yang sangat menentukan terbentuknya masyarakat sehat (sane society).

Tujuan Grhasta
Beranjak dari Veda Smrthi Bab. IX Sloka 45 menegaskan bahwa ia yang merupakan orang sempurna yang terdiri atas tiga orang menjadi satu : istrinya, ia sendiri dan keturunannya .Begitu pula dikatakan tidak ada bedanya sama sekali antara Dewi Sri (Dewi Kemakmuran ) dengan istri dirumah, yang dikawinkan dengan tujuan untuk mempunyai keturunan membawa kebahagiaan dan layak dipuja sebagai pelita rumah tangga (Veda Smrthi. XI.26). Kata anak dalam bahasa sankerta “Putra” kata putra berarti kecil, yang disayang, kata putra menjadi penting dalam berkeluarga, hal secara tegas seperti sloka berikut :

Pumnamo narakadyas
Mattraya te pitaram sutah,
Tasmat putra iti proktah
Swayamewaswayambhuwa

Artinya

Oleh karena seorang anak yang akan menyeberangkan orang tuanya dari neraka yang disebut Put (neraka lantaran tidak punya keturuanan ), oleh karenanya ia disebut putra.

Sehingga arti dan maksud kata Putra pada hakekatnya adalah ia yang menyelamatkan atau menyebrangkan roh orang tua/leluhurnya dari neraka mencapai sorga.
Apakah semua anak dapat membahagiakan keluarganya, tentu tidak karena kita sering melihat dan mendengar istilah anak durhaka, anak penghacur keluarga. Namun anak yang dimaksudkan dalam tujuan perkawinan Hindu adalah anak yang suputra yang senantiasa membahagiakan keluarganya ( PGAHN, 1987:26).
Pentingnya berkeluarga untuk tujuan kebahagiaan dan penyelamatan dari neraka, juga dinyatakan bahwa Jaratkaru yang melihat orang tua yang tergantung di bambu petung pangkalnya digigit tikur di pinggir jurang. Karena tersentak hatinya barkatalah Jaratkaru :

Ling Sang Jaratkaru : aparan ta rahadyan sanghulun kabeh, ginatung ri petung sawulih, meh tikela deni panigit ing tikur, ikang jurang ri sornya tan kinawruhan jero nika. Ya tikangde larangeresi manah ninghuluh, moghawelas ahyun tumulunge kita.

Apakah sebabnya tuanku sekalian bergantung dibuluh yang hampir putus oleh gigitan tikus, sedang dibawahnya jurang yang tiada terduga dalamnya. Perbuatan itulah yang menyebabkan hamba, kasihan hamba melihat, dan hamba akan menolong
Menjawablah orang yang tergantung di buluh petung :

“kunang tapan pegat wangsa mami. Nahan ta mami n pegat sangkeng pitraloka, magantungan petungan sawulih, kangken tibeng narakaloka; tattwa nikang petung sawulih, hana wangsa mami sasiki, Jaratkaru ngaranya. Ndan moksa wih ta ya, mahyun luputeng sarwajanmabandhana, tatan pastry”

Karena keturunan kami terputus. Itulah sebabnya saja pisah dari dunia leluhur, bergantung dibuluh petung ini, seakan-akan sudah masuk neraka. Ada seorang keturunan saya bernama Jaratkaru, ia moksa (pergi ) untuk melepaskan ikatan kesengsaraan orang, ia tiada beristri ( Adiparwa 1938 :35)

Demikianlah pentingnya posisi spiritual dari seorang anak dalam keluarga Hindu, karena kelahiran anak yang suputra akan membahagiakan keluarganya dan membuka sorga setelah kematian leluhurnya. Namun untuk mendapatkan anak yang suputra sebagai sumber kebahagiaan keluarga ( yan ning putra suputra sadhu gunawan mamadangi ri kula wandawa), tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Untuk ini diperlukan serangkaian proses yang cukup panjang :

 Tahap 1. Menentukan Areal Rumah Tangga
Setelah seseorang melakukan samskara wiwaha, maka ada tempat tinggal pasangan suami-istri tersebut yang dinamakan rumah tempat tinggal yang lazim kita sebut sebagai Rumah Tangga yang didalamnya lengkap dengan kehidupan suami-istri dalam areal rumah tempat tinggalnya. Massyarakat Hindu selalu berusaha bersikap hidup dalam keseimbangan alam semesta. Keseimbangan tatanan hidup dengan alam semesta berporos pada konsep hulu-teben, sakral-profan, yang akhirnya areal rumah tinggal dibagi menjadi tiga zone, sesuai dengan nilai sakral (utama), nilai sedang (madya), dan nilai profan (kanista) yang disebut Tri Mandala.
Dari konsep Tri Mandala ini lahirlah konsep sanga mandala dengan menempat arah airsanya (kaja kangin) yang dinyatakan areal yang paling sakral sebagai pengejawantahan konsep niskala ke skala konsep Dewata nawa sanga. Kesembilan dewa yang menguasai penjuru mata angin ini sangat berpengaruh terhadap tata letak bangunan berdasarkan fungsinya ( Sulistyawati, 1998 :46). Penempatan tiap-tiap bangunan yang mempunyai fungsi religi selalu mengikuti arah dewa yang menguasainya. Misalnya letak dapur diletakkan di arah selatan, disesuaikan dengan arah yang dikuasai oleh Dewa Brahma (Dewa panas/api) dalam kosmologi Hindu. Sumur di sebelah utara berseberangan dengan dapur, disesuaikan dengan arah Dewa Wisnu ( Sulistyawati,1998 :48).
Bila kita akan membangun tempat tinggal hendaknya areal pekarangan di bagi 9 lebih dahulu dan dalam kaitan dengan Tri Mandala, maka arah perpaduan Timur dengan Utara (Airsanya) memiliki nilai yang paling sakral sehingga dipakai tempat yang diposisikan sebagai Utama mandala untuk letak pendirian tempat Ibadah.
Hal ini jelas disuratkan bagi setiap umat Hindu yang telah berkeluarga hendaknya memiliki tempat pemujaan berupa Pemerajan (sanggah) dalam lontar Siwagama disebutkan sebagai berikut :

… wwang kamulan pamanggalanya sowang.

Artinya :

… dan Kamulan palinggih pada masing-masing pakarangan rumah.

Pemerajan ini berfungsi sebagai tempat pemujaan roha suci leluhur atau atma yang telah Sidha Dewata/Dewa Pitara (I Ketut Wiana, 1992 :22), sesuai dengan lontar Usana dewa menyebutkan sebagai berikut :

Ring kamulan ngaran Ida Sanghyang Atma, ring Kamulan Tengan bapa ngaran sang Paratma, ring Kamulan Kiwa ibu ngaran sang Siwatma, ring kamulan Tengah ngaran raganya, tu Brahma dadi meme bapa maraga Sang Hyang Tuduh.

Artinya :

Pada Kamulan nama Beliau adalah Sang Hyang Atma, di Kamulan sebelah kanan adalah linggih Paratma adalah Bapak, di kamulan ruang sebelah kiri adalah linggih Siwatma adalah Ibu, di Kamulan tengah ada wujudnya Brahma menjadi Ibu Bapak yang berujud Sang Hyang Tuduh.

Keluarga yang memiliki tempat tinggal (rumah), memiliki Tempat Pemujaan (mrajan) minimal pada bangunan mrajan itu adanya pelinggih Rong Tiga, pelinggih Sedahan Penglurah dan Gedong linggih Taksu ( Gde Soeka, BA, 1986 :13).
Lingkungan kedua tempat tadi menuju keseimbangan Bhuana Agung dan Bhuana Alit harus selaras untuk mencari kesejahteraan jasmani dan kebahagiaan rohani, keselarasan antara Bhuana Agung dengan kehidupan manusia menjadi tujuan pokok mengikuti tata aturan perumahan seperti ini. Hal ini dilandasi oleh kesadaran bahwa Bhuana Agung /alam semesta adalah kompleksitas unsur-unsur yang satu sama lain terkait dan membentuk satu sisitim kesemestaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai dasar dari kehidupan masyarakat Hindu adalah nilai keseimbangan. Nilai keseimbangan ini tertuang dalam perilaku :
a.  Selalu ingin menyesuikan diri dan berusaha menjalin hubungan dengan elemen-elemen alam dan kehidupan yang mengitari.
b.  Ingin menciptakan suasana kedamaian dan ketentraman antara sesama makhluk dan juga terhadap alam dimana manusia hidup sebagai salah satu elemen dari alam semesta raya.
Kedua unsur tersebut oleh masyarakat Hindu dianggap sebagai azas yang harus dipakai pedoman atau tuntunan dalam kehidupan berumah tangga. Karena rumah tangga dianggap sebagai dunia yang hidup dengan konsep Tri Hita Karana. Adanya parahyanganuntuk mencapai sasaran Satyam (kebenaran), adanya Palemahan untuk mencapai sasaran Sundaram (kebahagiaan) dan adanya Tempat tinggal/rumah (pawongan ) sasaran untuk mencapai Kebijakan (Siwam). Kesemuanya itu menuju tujuannya Jagadhita (secara sekala/nyata) dan Moksa secara Niskalanya (I Made Suasthawa,199136)
Kehidupan rumah tangga tata letak keluar masuk menuju rumah (pemedal) juga mengikuti asta kosala-kosali dengan tolok ukur yang empunya rumah itu sendiri. Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya.
Menurut Ida Pandita Dukuh Samyaga, perkembangan arsitektur bangunan Bali, tak lepas dari peran beberapa tokoh sejarah Bali Aga berikut zaman Majapahit. Tokoh Kebo Iwa dan Mpu Kuturan yang hidup pada abad ke 11, atau zaman pemerintahan Raja Anak Wungsu di Bali banyak mewarisi landasan pembanguna arsitektur Bali.
Danghyang Nirartha yang hidup pada zaman Raja Dalem Waturenggong setelah ekspidisi Gajah Mada ke Bali abad 14, juga ikut mewarnai khasanah arsitektur tersebut ditulis dalam lontar Asta Bhumi dan Asta kosala-kosali yang menganggap Bhagawan Wiswakarma sebagai dewa para arsitektur.
Penjelasan dikatakan oleh Ida Pandita Dukuh Samyaga. Lebih jauh dikemukakan, Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewa Arsitektur, sebetulnya merupakan tokoh dalam cerita Mahabharata yang dimintai bantuan oleh Krisna untuk membangun kerjaan barunya. Dalam kisah tersebut, hanya Wismakarma yang bersatu sebagai dewa kahyangan yang bisa menyulap laut menjadi sebuah kerajaan untuk Krisna. Kemudian secara turun-temurun oleh umat Hindu diangap sebagai dewa arsitektur. Karenanya, tiap bangunan di bali selalu disertai dengan upacara pemujaan terhadap Bhagawan Wiswakarma. Upacara demikian dilakukan mulai dari pemilihan lokasi, membuat dasar bagunan sampai bangunan selesai. Hal ini bertujuan minta restu kepada Bhagawan Wiswakarma agar bangunan itu hidup dan memancarkan vibrasi positif bagi penghuninya. Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Bali, bangunan memiliki jiwa bhuana agung (alam makrokosmos) sedangkan manusia yang menepati bangunan adalah bagian dari buana alit (mikrokosmos). Antara manusia (mikrokosmos) dan bangunan yang ditempati harus harmonis, agar bisa mendapatkan keseimbangan anatara kedua alam tersebut. Karena itu membuat bagunan harus sesuai dengan tatacara yang ditulis dalam sastra Asta Bhumi dan Atas Kosala-kosali sebagai fengsui Hindu Bali.
  
Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya. Pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari Tubuh yang empunya rumah. Mereka tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti:
§  Musti (ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas),
§  Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka)
§  Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan)
Secara hirarki, kosmologi Bali dapat digambarkan sebagai berikut :
1.    Bhur alam semesta, tempat bersemayamnya para dewa.
2.  Bwah, alam manusia dan kehidupan keseharian yang penuh dengan godaan duniawi, yang berhubungan dengan materialisme
3. Swah, alam nista yang menjadi simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu menggoda manusia untuk berbuat menyimpang dari dharma.
Selain itu juga Konsep ini berpegang juga kepada mata angin, 9 mata angin (Nawa Sanga). Setiap bangunan itu memiliki tempat sendiri. seperti misalnya:
§      Dapur, karena berhubungan dengan Api maka Dapur ditempatkan di Selatan,
§  Tempat Sembahyang karena berhubungan dengan menyembah akan di tempatkan di Timur tempat matahari Terbit.
§    Karena Sumur menjadi sumber Air maka ditempatkan di Utara dimana Gunung berada begitu seterusnya.
Di konsep ini juga disebutkan tentang teknik konstruksi dan materialnya. ada namanya Tri Angga, yang terdiri dari:
§   Nista menggambarkan hirarki paling bawah dari sebuah bangunan, diwujudkan dengan pondasi rumah atau bawah rumah sebagai penyangga rumah. bahannya pun biasanya terbuat dari Batu bata atau Batu gunung.
§  Madya adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela dan pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia
§  Utama adalah symbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada bagian atap ini bahan yang digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang.

Bangunan-bangunan yang terdapat dalam tempat tinggal orang bali:
1. Pamerajan adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Dan pada perkampungan tradisional biasanya setiap keluarga mempunyai pamerajan yang letaknya di Timur Laut pada sembilan petak pola ruang
2. Umah Meten yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kapala keluarga sehingga posisinya harus cukup terhormat
3.   Bale Sakepat, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anak anak atau anggota keluarga lain yang masih junior.
4.    Bale tiang sanga biasanya digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu
5. Bale Dangin biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat benda benda seni atau merajut pakaian bagi anak dan suaminya.
6.    Lumbung sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan hasil kebun lainnya.
7.    Paon (Dapur) yaitu tempat memasak bagi keluarga.
8. Aling-aling adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga jalan masuk tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam.
9. Angkul-angkul yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura yaitu sebagai gapura jalan masuk.

Landasan filosofis ASTA KOSALA KOSALI
§  Hubungan Bhuwana Alit dengan Bhuwana Agung. Pembangunan perumahan adalah berlandaskan filosofis bhuwana alit bhuwana agung. Bhuwana Alit yang berasal dari Panca Maha Bhuta adalah badan manusia itu sendiri dihidupkan oleh jiwatman. Segala sesuatu dalam Bhuwana Alit ada kesamaan dengan Bhuwana Agung yang dijiwai oleh Hyang Widhi. Kemanunggalan antara Bhuwana Agung dengan Bhuwana Alit merupakan landasan filosofis pembangunan perumahan umat Hindu yang sekaligus juga menjadi tujuan hidup manusia di dunia ini.
§  Unsur- unsur pembentuk. Unsur pembentuk membangun perumahan adalah dilandasi oleh Tri Hit a Karana dan pengider- ideran (Dewata Nawasanga). Tri Hita Karana yaitu unsur Tuhan/ jiwa adalah Parhyangan/ Pemerajan. Unsur Pawongan adalah manusianya dan Palemahan adalah unsur alam/ tanah. Sedangkan Dewata Nawasanga (Pangider- ideran) adalah sembilan kekuatan Tuhan yaitu para Dewa yang menjaga semua penjuru mata angin demi keseimbangan alam semesta ini.
Landasan Etis
§  Tata nilai dari bangunan adalah berlandaskan etis dengan menempatkan bangunan pemujaan ada di arah hulu dan bangunan- bangunan lainnya ditempatkan ke arah teben (hilir). Untuk lebih pastinya pengaturan tata nilai diberikanlah petunjuk yaitu Tri Angga adalah Utama Angga, Madya Angga dan Kanista Angga dan Tri Mandala yaitu Utama, Madya dan Kanista Mandala.
§  Pembinaan hubungan dengan lingkungan. Dalam membina hubungan baik dengan lingkungan didasari ajaran Tat Twam Asi yang perwujudannya berbentuk Tri Kaya Parisudha
Landasan Ritual
Dalam mendirikan perumahan hendaknya selalu dilandaskan dengan upacara dan upakara agama yang mengandung makna mohon ijin, memastikan status tanah serta menyucikan, menjiwai, memohon perlindungan Ida Sang Hyang Widhi sehingga terjadilah keseimbangan antara kehidupan lahir dan batin.

Konsepsi perwujudan
Konsepsi perwujudan perumahan umat Hindu merupakan perwujudan landasan dan tata ruang, tata letak dan tata bangunan yang dapat dibagi dalam :
1.    Keseimbangan Alam: Wujud perumahan umat Hindu menunjukkan bentuk keseimbangan antara alam Dewa, alam manusia dan alam Bhuta (lingkungan) yang diwujudkan dalam satu perumahan terdapat tempat pemujaan tempat tinggal dan pekarangan dengan penunggun karangnya yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana.
2.    Rwa Bhineda, Hulu Teben, Purusa Pradhana. Rwa Bhineda diwujudkan dalam bentuk hulu teben (hilir). Yang dimaksud dengan hulu adalah arah/ terbit matahari, arah gunung dan arah jalan raya (margi agung) atau kombinasi dari padanya. Perwujudan purusa pradana adalah dalam bentuk penyediaan natar. sebagai ruang yang merupakan pertemuan antara Akasa dan Pertiwi.
3.    Tri Angga dan Tri Mandala. Pekarangan Rumah Umat Hindu secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian (Tri Mandala) yaitu Utama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai utama (seperti tempat pemujaan). Madhyama Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai madya (tempat tinggal penghuni) dan Kanista Mandala untuk penempatan bangunan yang bernilai kanista (misalnya: kandang). Secara vertikal masing- masing bangunan dibagi menjadi 3 bagian (Tri Angga) yaitu Utama Angga adalah atap, Madhyama angga adalah badan bangunan yang terdiri dari tiang dan dinding, serta Kanista Angga adalah batur (pondasi).
4.    Harmonisasi dengan potensi lingkungan. Harmonisasi dengan lingkungan diwujudkan dengan memanfaatkan potensi setempat seperti bahan bangunan dan prinsip- prinsip bangunan Hindu.
Pekarangan Sempit.
Dengan sempitnya pekarangan, penataan pekarangan sesuai dengan ketentuan Asta Bumi sulit dilakukan. Untuk itu jiwa konsepsi Tri Mandala sejauh mungkin hendaknya tercermin (tempat pemujaan, bangunan perumahan, tempat pembuangan (alam bhuta).
Karena keterbatasan pekarangan tempat pemujaan diatur sesuai konsep tersebut di atas dengan membuat tempat pemujaan minimal Kemulan/ Rong Tiga atau Padma, Penunggun Karang dan Natar.

Rumah Bertingkat.
Untuk rumah bertingkat bila tidak memungkinkan membangun tempat pemujaan di hulu halaman bawah boleh membuat tempat pemujaan di bagian hulu lantai teratas.

Rumah Susun.
Untuk rumah Susun tinggi langit- langit setidak- tidaknya setinggi orang ditambah 12 jari. Tempat pemujaan berbentuk pelangkiran ditempatkan di bagian hulu ruangan.

Dewasa Membangun Rumah.
§  Dewasa Ngeruwak. Wewaran : Beteng, Soma, Buda, Wraspati, Sukra, Tulus, Dadi.Sasih: Kasa, Ketiga, Kapat, Kedasa.
§  Nasarin. Watek: Watu. Wewaran: Beteng, soma, Budha, Wraspati, Sukra, was, tulus, dadi. Sasih: Kasa, Katiga, Kapat, Kalima. Kanem.
§  Nguwangun. Wewaran: Beteng, Soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.
§  Mengatapi. Wewaran : Beteng, was, soma, Budha, Wraspati, Sukra, tulus, dadi.Dewasa ala : geni Rawana, Lebur awu, geni murub, dan lain- lainnya.
§  Memakuh/ Melaspas. Wewaran : Beteng, soma, Budha. Wraspati, Sukra, tulus, dadi.Sasih : Kasa, Katiga, Kapat, Kadasa.
Upacara Membangun Rumah.
§  Upacara Nyapuh sawah dan tegal. Apabila ada tanah sawah atau tegal dipakai untuk tempat tinggal. Jenis upakara : paling kecil adalah tipat dampulan, sanggah cucuk, daksina l, ketupat kelanan, nasi ireng, mabe bawang jae. Setelah “Angrubah sawah” dilaksanakan asakap- sakap dengan upakara Sanggar Tutuan, suci asoroh genep, guling itik, sesayut pengambeyan, pengulapan, peras panyeneng, sodan penebasan, gelar sanga sega agung l, taluh 3, kelapa 3, benang + pipis.
§  Upacara pangruwak bhuwana dan nyukat karang, nanem dasar wewangunan. Upakaranya ngeruwak bhuwana adalah sata/ ayam berumbun, penek sega manca warna. Upakara Nanem dasar: pabeakaonan, isuh- isuh, tepung tawar, lis, prayascita, tepung bang, tumpeng bang, tumpeng gede, ayam panggang tetebus, canang geti- geti.
§  Upakara Pemelaspas. Upakaranya : jerimpen l dulang, tumpeng putih kuning, ikan ayam putih siungan, ikan ayam putih tulus, pengambeyan l, sesayut, prayascita, sesayut durmengala, ikan ati, ikan bawang jae, sesayut Sidhakarya, telur itik, ayam sudhamala, peras lis, uang 225 kepeng, jerimpen, daksina l, ketupat l kelan, canang 2 tanding dengan uang II kepeng. Oleh karena situasi dan kondisi di suatu tempat berbeda, maka upacara upakara tersebut di atas disesuaikan dengan kondisi setempat.
Dalam melihat tata budaya dari berbagai suku di Indonesia, bentuk budaya Bali telah berkembang dengan ciri dan kepribadian tersendiri. Dari sudut arsitektur tradisional, peranan agama dan kebudayaan dipengaruhi kebudayaan Cina dan India yang melebur ke dalam ajaran agama mereka yaitu Hindu-Budha, sehingga peranannya sangat mendalam dan dijadikan pangkal untuk mencipta, petunjuk petunjuk ini dikenal dengan nama Hasta Bumi, Hasta Kosala Kosali, Hasta Patali, sikuting umah, dan lain-lain yang berisikan berbagai petunjuk, pantangan, tata cara perencanaan, pelaksanaan dan lain-lain dalam mendirikan suatu bangunan .
Pengaruhnya terlihat pada
Bentuk
Dari segi perbandingan ukuran setiap unsur bangunan dan pekarangan berpangkal kepada ukuran kepala dan badan manusia terutama ukuran tubuh kepala keluarga (yang punya rumah) secara fisik dan tingkat kastanya. Bentuk rumah Bali, pada dasarnya bukan merupakan suatu organisasi ruangan dibawah satu atap, tetapi beberapa bangunan yang masing-masing dengan fungsinya tertentu di dalam satu lingkungan atau satu tembok. Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah:
1.         Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga
2.         Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala
3.         Konsep keseimbangan kosmologi
4.         Konsep proporsi dan skala manusia
5.         Konsep court, Open air
6.         Konsep kejujuran bahan bangunan
Adapula beberapa ketentuan-ketentuan bangunan di Bali:
1.         Tempat/ denah berdasarkan Lontar Asta Bhumi.
2.         Bangunan/ konstruksinya berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala Kosali.
3.         Bahan- bahan/ ramuan berdasarkan lontar Asta Dewa dan lontar Asta Kosala Kosali, seperti : kayu, ijuk, alang- alang, batu alam, bata dan sebagainya
Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang punya rumah. Pengukurannya pun tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti

Mata Pencaharian dan Pengaruh Lingkungan

Lahirnya berbagai perwujudan fisik juga disebabkan oleh beberapa faktor yaitu keadaan geografis dan ekonomi masyarakat.
Ditinjau dari aspek geografi terdapatlah Arsitektur Tradisional Bali dataran tinggi (daerah pegunungan) dan Arsitektur Tradisional Bali dataran rendah. Untuk daerah dataran tinggi yang penduduknya berkebun, pada umunya bangunannya kecil-kecil dan tertutup untuk menyesuaikan keadaan lingkungannya yang cenderung dingin. Tinggi dinding relatif pendek untuk menghindari sirkulasi udara yang terlalu sering. Satu bangunan bisa digunakan untuk berbagai aktifitas mulai aktifitas sehari-hari seperti tidur, memasak dan untuk hari-hari tertentu juga digunakan untuk upacara. Luas dan bentuk pekarangan relatif sempit dan tidak beraturan disesuaikan dengan topografi tempat tinggalnya.

Untuk daerah dataran rendah,yang penduduknya bertani, pekarangannya relatif luas dan datar sehingga bisa menampung beberapa massa dengan pola komunikatif, umumnya berdinding terbuka, yang masing-masing mempunyai fungsi tersendiri. Seperti bale daja untuk ruang tidur dan menerima tamu penting, bale dauh untuk ruang tidur dan menerima tamu dari kalangan biasa, bale dangin untuk upacara, dapur untuk memasak, jineng untuk lumbung padi, dan tempat suci untuk pemujaan. Untuk keluarga raja dan brahmana pekarangnnya dibagi menjadi tiga bagian yaitu jaba sisi (pekarangan depan), jaba tengah (pekarangan tengah) dan jero (pekarangan untuk tempat tinggal) adapun pertimbangan dalam membangun tempat tinggal diantaranya;
Tanah
Membuat rumah yang dapt mendatangkan keberuntungan bagi penghuninya,bagi rohaniwan dari Banjar Semaga,Desa Penatih,Denpasar ini harus diawali dengan pemilihan lokasi (tanah) yang pas.Lokasi yang bagus dijadikan bagunan adalah tanah yang posisinya lebih rendah (miring) ke timur (sebelum direklamasi). Namun di luar lahan bukan milik kita,posisinya lebih tinggi.Demikian juga tanah bagian utaranya juga harus lebih tinggi.Bila tanah di pinggir jalan,usahakan posisinya tanah dipeluk jalan.Sangat baik bila ada air di arah selatan tetapi bukan dari sungai yang mengalir deras.Air harus berjalan pelan,tetapi posisi sungai juga harus memeluk tanah ,bukan sebaliknya menebas lokasi tanah.Diyakini,aliran air yang lambat membuat Dewa air sebagai pembawa kesuburan dan rejeki banyak terserap dalam deras.
Selain letak tanah,tekstur tanah juga harus dipastikan memiliki kualitas baik. Tanah berwarna kemerahan dan tidak berbau termasuk jenis tanah yang bagus untuk tempat tinggal.Untuk menguji tekstur tanah,cobalah genggam tanah tersebut.Jika setelah lepas dari genggaman tanah itu terurai lagi,berarti kualitas tanah tersebut cocok dipilih untuk lokasi perumahan.Cara lain untuk menguji tekstur tanah yang baik adalah dengan cara melubangi tanah tersebut sedalam 40 Cm persegi.Kemudian lubang itu diurug (ditimbun) lagi dengan tanah galian tadi.
Jika lubang penuh atau kalau bisa ada sisa oleh tanah urugan itu, berati tanah itu bagus untuk rumah.Sebaliknya jika tanah untuk menutup lubang tidak bisa memenuhi (jumlahnya kurang) berati tanah tersebut tidak bagus dan tidak cocok untuk rumah karena tergolong tanah anggker.Akan lebih baik memilih tanah yang terletak di utara jalan karena lebih mudah untuk melakukan penataan bangunan menurut konsep Asta kosala-kosali.Misalnya membuat pintu masuk rumah,letak bangunan,dan tempat suci keluarga (merajan/sanggah).Lokasi seperti ini memungkinkan untuk menangkap sinar baik untuk kesehatan.Tata letak pintu masuk yang sesuai,akan memudahkan menangkap Dewa Air mendatangkan rejeki.
Kurang Bagus
Jangan membangun rumah di bekas tempat-tempat umum seperti bekas balai banjar (balai masyarakat), bekas pura (tempat suci), tanah bekas tempat upacara ngaben massal(pengorong/peyadnyan)bekas gria (tempat tinggal pedande/pendeta) dan tanah bekas kuburan.Usahakan pula untuk tidak memilih lokasi (tanah)bersudut tiga atau lebih dari bersudut empat.Tanah di puncak ketinggian,di bawah tebing atau jalan juga kurang bagus untuk rumah karena membuat rejeki seret dan penghuninya akan sakit – sakitan.Demikian juga tanah yang terletak di pertigaan atau di perempatan jalan (simpang jalan) tidak bagus untuk tempat tinggal tetapi cocok untuk tempat usaha.Tanah jenis ini termasuk tanah angker karena merupakan tempat hunian Sang Hyang Durga Maya dan Sang Hyang Indra Balaka.
Tata Letak Bangunan
Setelah direklamasi (ditata) diusahkan bangunan yang terletak di timur,lantainya lebih tinggi sebab munurut masyarakat bali selatan umumnya,bagian timur dianggap sebagai hulu(kepala)yang disucikan.Sedangkan menurut fungsui,posisi bangunan seperti itu memberi efek positif.Sinar matahari tidak terlalu kencang,dan air tidak sampai ke bagian hulu.Bagunan yang cocok untuk ditempatkan diareal itu adalah tempat suci keluarga yg disebut merajan atau sanggah.Dapur diletakan di arah barat (barat daya) dihitung dari tempat yang di anggap sebagai hulu (tempat suci) atau di sebelah kiri pintu masuk areal rumah, karena menurut konsep lontar Asta Bumi,tempat ini sebagai letak Dewa Api.
Sumur dan lumbung tempat penyimpanan padi sedapat mungkin diletakan di sebelah timur atau utara dapur.Atau di sebelah kanan pintu gerbang masuk rumah karena melihat posisi Dewa Air.
Bangunan balai Bandung (tempat tidur) diletakan diarah utara,sedangkan balai adat atau balai gede ditempatkan disebelah timur dapur dan diselatan balai Bandung.Bangunan penunjang lainnya diletakkan di sebelah selatan balai adat.
Pintu Masuk
Selain menemukan posisinya yang tepat untuk menangkap dewa air sebagai sumber rejeki ukuran pintu masuk juga harus diatur. Jika membuat pintu masuk lebih dari satu,lebar pintu masuk utama dan lainya tidak boleh sama.Termasuk tinggi lantainya juga tidak boleh sama. Lantai pintu masuk utama (dibali berbentuk gapura/angkul – angkul) harus dibuat lebih tinggi dari pintu masuk mobil menuju garase.jika dibuat sama akan memberi efek kurang menguntungkan bagi penghuninya bisa boros atau sakit-sakitan.Akan sangat bagus bila di sebelah kiri (sebelah timur jika rumah mengadap selatan) diatur jambangan air (pot air) yang disi ikan.
Ini sebagai pengundang Dewa Bumi untuk memberi kesuburan seisi rumah.Tak menempatkan benda – benda runcing dan tajam yang mengarah ke pintu masuk rumah seperti penempatan meriam kuno,tiang bendera,listrik dan tiang telepon atau tataman yang berbatang tinggi seperti pohon palm,karena membuat penghuninya sakit sakitan akibat tertusuk.Got dan tempat pembungan kotoran sedapat mungkin di buat di posisi hilir dan lebih rendah dari pintu masuk.Kalau menempatkan kolam di pekarangan rumah hendaknya dibuat di atas permukaan tanah(bukan lobang).Kolam di buat di sebelah kanan pintu masuk dengan posisi memelu rumah,bukan berlawanan.Karena keberadaan kolam yang tidak sesuai akan mempengaruhi kesehatan penghuni rumah.
Bila rumah menghadap :
1)        Timur : diukur dari arah utara/kadya, lalu dibagi sembilan pintu masuk ambil pada bagian 3 ( wredi guna) dan atau 4 (dana teke).Wredi artinya subur, banyak.
2)        Selatan : diukur dari arah Timur ke Barat, lalu dibagi 9 pintu masuk ambil pada hitungan 4 (udan mas), 6 (dana wredi) atau 8 (teka wredi)
3)        Barat : diukur dari arah Selatan menuju Utara, lalu dibagi 9 pintu masuk ambil pada hitungan 3 (wredi mas ), 4 (wredi guna) da atau 5 (danawan).
4)        Utara : diukur dari Barat ke Timur dibagi 9 pintu masuk ambil pada hitungan 7 (suka agung).
Dengan memperhatikan hitungan-hitungan tersebut diatas sesuai dengan arah banguan kita maka niscaya kehidupan yang sejahtera dapat kita dekati dan penderitaan dapat kita hindari (I Made Suandra, 1991 :22). Disamping tata letak yang kita tentukan seperti diatas memilih areal pekarangan juga harus berhati hati dan hendaknya hindari pekarangan seperti :
a.         Karang karubuhan yaitu areal pekaranga yang berpapasan dengan perempatan jalan, menyebabkan sakit-sakitan yang menempati.
b.         Karang Sandanglawe yaitu pekaranga yang memiliki pintu masuk berpapasan dengan tetangga.
c.         Karang Kutabanda yaitu pekarangan yang diapit oleh jalan raya..
d.        Karang Gerah yaitu pekarangan yang terletak di hulu Pura atau parahyangan.
e.         Karang Suduk Angga yaitu pekarangan yang dibatasi oleh pagar hidup, terdapat dua tempat pemujaan dari keluarga yang berbeda..
Pekarangan yang dilarang seperti diatas perlu hendaknya dibuatkan upacara pemahayu karang atau bangunkan palinggih tertentu (Drs. I Nyoman Singgih W, 1999 :15)
Secara kodrati bahwa setiap orang yang dilahirkan berlawanan jenis untuk bersatu dalam kehidupan rumah tangga yang diawali dengan samskara wiwaha yang terwadahi dalam areal /kawasan rumah tangga dengan system keseimbangannya. Mengingat berumah tangga tidak untuk sesaat maka berhati-hatilah dengan mempersiapkan fisik dan spiritual secara matang (K.H.M. RusliAmin, M.A, 2002 :18).
Tahap 2. Menentukan Calon Pasangan yang baik
Untuk mendapatkan calon pasangan yang baik harus diamati bibit, bebet dan bobot calon pasangan.
Yang dimaksudkan pengamatan bibit meliputi asal-usul calon pasangan. Hendaknya diusahakan calon pasangan berasal dari keluaga baik-baik artinya bukan dari keluarga yang gemar mabuk-mabukan, penjudi, pemarah/emosional, pembohong, pencuri, gemar memerkosa, gemar memerkosa, gemar memfitnah, penggemar black magic dan lain-lainya yang merupakan perwujudan dari sifat-sifat sadripu dan sadatatayi. Bila memungkinkan supaya diusahakan mendapatkan calon yang bisa diajak membangun keluarga Sukhinah dari kelahiran Suwargacyuta yaitu orang-orang yang berbahagia turun lahir dari sorga dengan cirri-ciri : tidak sakit-sakitan ( Arogya), disayangi oleh sesamanya (Rati), berssifat ksatrya( Curatwa), berbhakti kepada Ida Sanghyang Widhi(Dewasubhaktih), murah rejeki (kanakalabha) dikasihi oleh orang besar (Rajapriyatwa), Pembrani (Cura), bijaksana dalam segalailmu pengetahuan (Krtawidya), peramah (Pryamwada). Kesemuanya ini adlah cirri kelahiran sorga dan penjelmaan dari orang melakukan dharma yang suci dahulunya (I Gusti Agung Oka, 1994 :24-25)
Yang dimaksud dengan pengamatan tentang bebet atau penampilan. Hendaknya menghindari orang kelahiran Neraka cyuta dengan cirri-ciri sebagai berikut :Mandul (Anapatya), wandu (Akamarasa), mempunyai penyakit asma ( Pitti), bisu (kujiwa) berbicara tidak jelas (Clesma) dan orang berambut kemerah-merahan dan badannya cacat. Tetapi yang pantas dinikahi mempunyai nama yang pantas dan badannya tidak cacat, jalannya seperti seekor angsa, giginya kecil-kecil berbadan lembut ( I Gede Pudhja, M.A, 2002 :132-133)
Yang dimaksudkan dengan pengamatan tentang bobot , ini banyak diatur dalam Canakya Nitisastra maupun dalam Weda Smrti III.7 yang menyatakan: Keluarga yang tidak hirau pada upacara suci, tidak mengerti ajaran weda /agama hendaknya dihindari untuk dijadikan calon pasangan. Salah satu susatra Veda menegaskan bahwa :

Akara iringngita irgatya cesta bhasitena ca;
Natrawaktrawikarena jayate ca pariksitah

Maksudnya seseorang harus diuji dengan melihat tampilan luarnya berupa caranya berjalan, gerakgeriknya, perbuatannya, tutur katanya ( I Gusti Agung Oka, 1993 :169) Dalam menejemen modern hendaknya mempertimbangan pengetahuan (knowledge), ketrampilan yang dimiliki (Skill) dan tata laku kesahariannya (Attitude) nya
Kelahiran Neraka cyuta yang dihindari dalam memilih pasangan, juga dilarang adalah masih hubungan sepupu dari keluarga Purusha, Arudaka namanya, saling ambil (Pasikuh-paha), suami istri pernah keponakan (Angemban Ari), kawin dengan tumin ngarep (Anglangkahi sanggar), mengawini janda beranak bila sudah punya anak laki-laki ,Ekajanma namanya (Suwidja,1992 :101).

Tahap 3. Menyiapkan Perkawinan yang Baik
Meyiapkan perkawinan yang baik perlu diperhatikan : perjodohan atau patemon, hari dan bulan perkawinan yang di nilai baik serta bentuk perkawinan yang harus diusahaka. Untuk itu perlu konsultasi kepada pakar yang terkait.
1. Perjodohan
Perjodohan atau patemon laki-perempuan (lanang-istri) dalam dunia primbon ada beberapa cara, antara lain misalnya perjodohan berdasarkan sapta wara dan panca wara kelahiran calon laki-pempuan lalu masing-masing dibagi 9 atau disebutkan dalam prembon sebagai berikut wetone panganten lanang lan wadon, Neptune dina lan pasaran digunggung, banjur kabage 9, lanag turah pira wadon turah pira, yen turah : 3 lan 9 sugih rejeki; 2 lan 7 anake akeh mati, 3 lan 5 gelis pegat . dari hari kelahiran lanang-wadon ; Selasa lan Rabo = sugih, Rabo lan Saptu = becik, Akada lana senen = Sugih lara.( R. Soemodidjojo, 1993 : 12-13).
Untuk mengetahui pertemuan laki-peempuan itu baik atau buruk maka Urip/neptu sapta dan Panca wara harus dipahami dengan baik. Urip Panca wara berturut-turut Umanis =5, pahing= 9, Pon = 7, Wage = 4 , dan Kliwon = 8 sedangkan Urip SaptawaraRedite = 5, Soma= 4, Anggara = 3, Budha = 7, Wrehaspati = 8, Sukra = 6 , dan saniscara = 9 ( I Ketut Guweng, --- :2).
Untuk memperoleh pasangan yang ideal, terlebih dahulu harus mengetahui hari lahir (weton) pasangan kita masing-masing, kemudian digabung menjadi satu dan dibagi 5 bila sisa :
1)           Sri = Selalu sejahtera dan bahagia
2)           Gedong = Tidak kurang sandang pangan
3)           Pete = Selalu bertengkar dan ribut
4)           Lara = Mlarat dan banyak maslah
5)           Pati = Salah satu mendahului meninggal belum waktunya.
Yang berlaku secara berkala 5 tahun secara bergantian, sehingga dengan mudah mengetahui masa berkumpulnya dalam rumah tangga dan suasana yang dilaluinya.
Hitungan detailnya adalah Urip lahir lanang-istri (panca dan sapta wara) digabung kemudian dibagi 5 sisanya menunjukkan keadaan selama 5 tahun berjalan, kemudian lima tahun berikutnya hasil pembagian dipakai mengurangi urip gabungan awal, hasilnya kemudian dibagi 5 sisanya keadaan selama 5 tahun berikutnya. Hasil pembagian selalu dipakai pengurang hasil terakhirnya dan selalu dibagi 5 menyatakan keadaannya, bila hasilnya 0 (nol) sama keadaanya dengan sebelumnya.
Contoh : Minggu Wage dengan Senin Keliwon nilai gabungannya (5 + 4) + ( 4+8) = 21 ( hasil gabungan urip lanang-istri)
21 : 5 adalah 4 sisa 2 keadaannya Gedong = Murah rejeki
21- 4 = 17 : 5 adalah 3 sisa 2 keadaannya Gedong = Murah rejeki
17- 3 = 14 : 5 adalah 2 sisa 4 keadaannya Lara = Mlarat
14 – 2 = 12 : 5 adalah 2 sisa 2 keadaannya Gedong = Murah rejeki
12 – 2 = 10 : 5 adalah 2 sisa 0 keadaannya sama sebelumnya = Murah rejeki
10 – 2 = 8 : 5 adalah 1 sisa 3 keadaannya Peta = Suka ribut
8 – 1 = 7 : 5 adalah 1 sisa 2 keadaannya Gedong = Murah rejeki
7 – 1 = 6 : 5 adalah 1 sisa 1 keadaannya Sri = sejahtera
dstnya.

2. Hari dan bulan perkawinan
Karma wasana yang kita bawa sejak kelahiran kita akan memberikan warna pada kehidupannya, sehingga para akhli astronomi/wariga hari kelahiran seseorang dapat dterka/diramal maslah rejeki, suka-duhka hidup yang diraihnya melalui urip kelahirannya. Biasanya dibaca hari kelahirannya menunjukkan masa yang dalami masa anak-anak, dicari gabungan urip berikutnya masa remaja dan masa tua adalah urip gabungan berikutnya dapat diketahui.
Namun yang dipakai patokan pertemuan suami istri adalah urip gabungan kelahirannya saja. Atas dasar itulah maka seseorang dapat meningkatkan status dan kualitas kehidupannya yang akan dibangun melalui berumah tangga.
Dari Wuku yang berjumlah 30 maka wuku yang dihindari untuk melakukan upacara Pawiwahan yaitu yang disebut Rangda Tiga yang menyebabkan sering janda atau Duda, adapun wuku yang dimaksud adalah Wariga, Pujut, Menail, Waregadian, pahang, Prangbakat ( Ketut Guweng, --- : 5).
Dalam perjalanan sasih juga seseorang mencari waktu perkawinannya menuju sasih Kasa, Kedasa, Ketiga, Kapat dan Kalima, karena pada sasih-sasih tersebut sebagai sasih Dewa. Maka pada sasih itu dilakukan kegiatan dewa yadnya. Jadi maksudnya untuk memperoleh restu dan berkah dalam masa berumah tangganya.
Mencari hari untuk perkawinan orang harus terlebih dahulu mengetahui jumlah Urip/Neptu hari kelahiran kedua calon mempelai (temantin), kemudian dicarikan hari dan pasaran yang Uripnya/Neptunya bilamana dijumlahkan dengan jumlah Neptu kedua mempelai tadi dan dibagi 3 bisa habis.
Hitungan itu merupakan tiga kata-kata sebagai berikut :
·      Wali , berarti bahwa dalam perkawinan itu kurang cinta kasih atau mudah bosen satu sama lain.
·      Penghulu, berarti dalam perkawinan ini bakal banyak cedera antara satu sama lain.
·      Temantin, berarti bahwa dalam perkawinan itu bakal beruntung.
3. Cara Perkawinan.
Cara atau bentuk perkawinan penting sekali diperhatikan. Weda Smrti III.42 menyatakan; Dari perkawinan yang terpuji akan lahir putra yang terpuji, dari perkawinan yang tercela akan lahir putra yang tercela. Karena itu hendaknya dihindari bentuk perkawinan yang tercela. Dalam Weda Smrti III.20 disebutkan bahwa diantara delapan bentuk perkawinan, ada yang memberi pahala, ada pula yang menimbulkan derita, baik ketika masih hidup maupun setelah mati.
Kedelapan bentuk perkawinan yang disebutkan dalam Weda Smrti adalah Brahma wiwaha, Daiwa wiwaha, Arsa wiwaha, Prajapati wiwaha, Asura wiwaha, Gandharwa wiwaha, Raksasa wiwaha,dan Pisaca wiwaha. Empat yang terakhir hendaknya dihindari oleh kaum brahmana. Gandharwa wiwaha masih bisa ditolerir bila dilakukan oleh kaum ksatria, sedangkan raksasa wiwaha masih bisa dimengerti bila dilakukan oleh golongan sudra (Weda Smrti ).

Tahap 4. Proses Reproduksi yang baik dan terkendali
Dalam proses reproduksi atau pembuatan anak perlu diperhatikan waktu yang dibenarkan dan yang dilarang oleh ajaran agama Hindu atau yang pas untuk mewujudkan keinginan punya anak laki atau perempuan. Posisi tubuh atau gaya bermain kadang kala penting diperhatikan terutama untuk pasangan yang mengalami kesulitan punya anak. Namun sejauh itu Weda belum mengatur.
Memahami waktu yang dilarang dan dibenarkan sangat diperlkan bila ingin mendapatkan anak suputra sadhu gunawan, karena lontar Pamedasamara menyatakan sbb:
Yan asanggama ring istri wenang pilihan rahinane sane kinucapayu, riwekasan yan adue anak lanang istri pahalanya dirgayusa tur saidep warah yukti,tan angambekaken dursile, tan langgana, tuhu ring karya, bhakti ring guru. Mangkana kapanggih de sang aniti brata yukti.
Artinya:
Bila meggauli istri pada hari yang baik, maka bila nanti punya anak akan diperoleh anak yang panjang umur, penurut, tidak nakal, tekun bekerja, hormat pada guru atau orang tua. Itulah yang didapat oleh orang yang mampu mengendalikan diri dalam menggauli istrinya.
Dibandingkan dengan Kitab suci Sarasamuccaya dan Pamedasamara, Veda Smrti tidak banyak menetapkan hari – hari terlarang. Misalnya Dalam Weda Smrti III. 45-47 hanya menetapkan larangan menggauli istri pada saat menstruasi yang lamanya lebih kurang empat hari dan purwani yaitu sehari sebelum purnama atau sehari sebelum tilem. Khusus untuk kaum brahmana, agar tetap terjaga kesuciannya dilarang menggauli istri pada bulan purnama (poornima) dan pada hari pertama, kedelapan dan keempat belas setelah bulan mati ( tilem/amavasya). Demikian dalam Weda Smrti IV. 128.
Buku Suci Sarasamuccaya Sloka 225 menetapkan hari terlarang untuk kaum brahmana lebih banyak yaitu pada bulan purnama, tilem, hari kedelapan dan keempat belas setelah tilem maupun setelah pernama.
Rontal Pamedasmara menetapkan hari terlarang lebih banyak lagi dan berlaku untuk umum kepada siapa saja yaitu; purnama, tilem, purwani, hari wetonan, kala ngruda, kala mrtyu, minggu wage, selasa paing, selasa wage, rabu kliwon, kemis pahing dan sabtu kliwon.
Begitu juga cara mendapatkan anak itu laki dan atau perempuan Veda menandaskan beberapa hal seperti dalam Veda Smrti III.48 memberikan petunjuk: Bila ingin mendapatkan anak laki campurlah pada hari genap, bila ingin anak perempuan campurlah pada hari ganjil ( yugmasu putra jayante, striyo yugmasu ratrisu, tasmad yugmasu putrathi samwice dartawe striyam). Catatan: Tanggal satu ganjil dihitung saat mulai menstruasi.
Dalam kedokteran modern, seleksi jenis kelamin melalui teknik rekayasa genetic adalah cara yang paling tepat dan akurat, namun cara ini relatif mahal. Berikut ini disampaikan tip cara murah yang bisa membantu mendapatkan anak laki atau perempuan.
a. Bila ingin mendapatkan anak laki-laki
·           Bilaslah kemaluan sesaat sebelum berhubungan intim dengan larutan alkalis yang dibuat dari 2 sendok teh baking soda yang dicampurkan kedalam segayung aqua
·           Lakukan hubungan intim pada saat atau menjelang ovulasi.
·           Usahakan supaya istri lebih dulu orgasme bila mungkin orgasme beberapa kali, sebelum pihak laki ejakulasi.
·           Arahkan sperma sedekat mungkin dengan dengan mulut rahim
·           Perbanyak makan makanan yang mengandung kalium, natrium misalnya daging, jeruk,pisang,air kelapa, kentang, garam .
b. Bila ingin anak perempuan
·           Bilaslah kemaluan sesaat sebelum berhubungan intim dengan larutan bersifat asam yang dibuat dari 1 sendok cuka putih dicampurkan kedalam segayung aqua hangat.
·           Lakukan hubungan intim pada kira-kira 4 pertama setelah ovulasi.
·           Usahakan supaya istri menunda orgasme ketika pihak laki sudah ejakulasi.
·           Semprotkan airmani dekat pintu vagina jauh dari mulut rahim.
·           Pasangan suami istri harus banyak makan makanan yang mengandung kalsium, magnesium misalnya: susu, yogurt, kacang-kacangan, dan sayur, serta mengurangi makan garam.
Tahap 5. Perawatan dan pendidikan anak yang benar.
Perawatan anak dalam Hindu berarti perawatan badan anak seutuhnya yang meliputi Trisarira dan Triguna. Trisarira terdiri dari Anggasarira atau Stula sarira yaitu badan kasar, sukma sarira yaitu badan halus yang memberi kesadaran kepada manusia, terdiri dari cita, budhi dan ahamkara. Sedangkan anantakarana sarira adalah atman. Triguna adalah sattwam, rajas, tamas. Satwam adalah watak yang menyebabkan perilaku sabar,hormat,penuh cinta kasih,rela berkorban, penolong, pemaaf. Rajas adalah watak yang menyebabkan perilaku serba cepat,energetic dan mudah marah. Tamas adalah watak yang menyebabkan perilaku yang serba lambat, malas ..
Antara badan dan jiwa terdapat kaitan yang sangat erat. Pepatah Yunani kuno mengatakan mensana in corpore sano. Artinya jiwa sehat terdapat dalam badan yang sehat. Bila dikaji dari filsafat Samkya kaitan erat ini bila dimengerti karena jiwa dan badan keduanya berasal dari Purusa dan Prakerti yang membentuk 25 unsur yang sama- sama menjadi unsure pembentuk jiwa maupun badan. Menurut filsafat Samkya pula, dalam Prakerti- yang merupakan unsure kosmik pembentukan manusia-terdapat triguna yang merupakan unsure perwatakan yang memberi warna tingkah laku manusia.
Berdasarkan pemahaman unsure-unsur yang membentuk manusia seutuhnya maka bila berbicara mengenai perawatan anak tidak cukup hanya perawatan kesehatan fisik dan mental/jiwa tetapi juga perawatan atman untuk mewujudkan atma hita. Perawatan kesehatan fisik meliputi pemberian makanan bersih, suci,bukan sisa orang, bergisi dan seimbang, cukup olahraga, dan lingkungan yang aman, nyaman dan memungkinkan tumbuh dan berkembang secara optimal. Atmahita karana meliputi kegiatan :
o    Garbhadhana, yaitu upacara ketika mulai diketahui sudah ada konsepsi pembuahan yaitu bertemu dan bersatunya kama bang dankama petak atau telur (ovum) yang merupakan bibit dari pihak perempuan dan bibit dari pihak laki (sperma ).
o    Punsavana, upacara 3 bulan kandungan
o    Simantonnayana, upacara 6 bulan kandungan , di Bali disebut magedong-gedongan.
o    Upacara Jatakarma ketika lahir. Untuk anak laki dilakukan sebelum talipusar dipotong (Weda Smrti II,29)
o    Namakarana atau namadheya: Menurut Weda Smrti II.30 upacara pemberian nama dilakukan pada usia 10-12 hari atau pada hari lain yang dianggap baik. Nama harus disesuaikan dengan wangsa.Untuk wanita namanya harus mengandung arti penghormatan, sederhana dan tidak menakutkan. Semuanya ini diatur dalam Veda Smrti II.31-33.
o    Niskramana: upacara pada usia empat bulan dimana bayi sudah boleh dibawa kelur rumah atau menyentuh (Weda Smrti II.34)
o    Annprasana: upacara 6-7 bulan dimana bayi pertama kali diajarkan makan (Weda Smrti II. 3-4).
o    Cundakarma : upacara potong rambut pertama, dilakukan untuk memperoleh kebajikan spiritual. Dilakukan pada usia 1-3 tahun (3 tahun bagi orang-orang dwijati, Smrti II.35)
o    Upanayana : upacara mengawali belajar secara formal. Menurut Weda Smrti II. 36,upacara ini dilakukan pada tahun kedelapan setelah pembuahan bagi kaumbrahmana, tahun kesebelas bagi kaum Ksatriya, tahun kedua belas bagi Waisya.
o    Samawartana ; upacara setelah menyelesaikan pendidikan.
o    Wiwaha: upacara perkawinan .
Di India selain upacara tersebut diatas masih ada lagi upacara tambahan yaitu upacara tindik kuping (Karnawedha) pada usia 3 tahun dan upacara Weda ramba : upacara mulai belajar weda pada usia 5 tahun bagi kaum brahmana. Di Bali ada upacara mepandes atau upacara potong gigi.
Semua upacara tersebut di atas dilakukan sebagai rangkaian pensucian untuk membersihkan kotoran yang melekat pada diri anak yang diperoleh dari orang tua ketika dalam kandungan sekaligus mohon bimbingan dan perlindungan dari Ida Sanghyang Widhi, serta sebagai media untuk mengumpulkan sanak keluarga untuk memberikan doa restu.

Dalam rangka perawatan fisik, perlu juga mengadopsi ilmu kedokteran modern yaitu dengan memberikan upaya pencegahan penyakit lewat program imunisasi.  Misalnya; BCG untuk mencegah TBC, Hepatitis A maupun B untuk mencegah infeksi virus Hepatitis pada Hati, DPT untuk mencegah tetanus, batuk rejan dan infeksi menyumbat tenggorokan, Polio untuk mencegah lumpuh polio, Campak untuk mencegah radang paru basah dan radang otak, MMR untuk mencegah bengok, campak Jerman dan campak bias, HIB untuk mencegah radang selaput otak, Varicella untuk menegah cacar air, Typhim atau Typa untuk mencegah tipus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar